Hanya 30% oplah korannya ada di kota. Katanya, khususnya kalangan mengangah ke atas di kota ini sudah malas membaca koran sejak internet memungkinkan orang-orang membaca berbagai media online.
Maka, ketika saya bertanya tentang buku, kata abang ini, paling-paling yang ada hanya tinggal buku pendukung untuk pelajaran anak sekolah. Tidak banyak lagi novel atau majalah apapun di sini. Ada satu novel dia tunjukkan, hanya satu, Laskar Pelangi, dan beberapa eksemplar majalah tergantung di kosen pintu kiosnya.Â
Barangkali, S.Pelawi adalah salah satu ujung tombak penjaga tradisi mengopi sambil membaca koran yang masih bertahan di antara gempuran media digital yang menghantarkan media-media cetak menuju senja kalanya.Â
Kalau toko buku memang ada beberapa. Tapi kalau agen koran, setahu saya hanya dia yang ada di kampung ini. Entah sampai kapan ia akan bertahan.
Cerita lengkap tentang Medan Prijaji ini, dalam versi novel roman sejarah dituliskan dengan sangat menarik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah.
Bedanya, kalau Medan Prijaji tertatih dalam pendiriannya karena lahir di tengah cengkraman kolonial Belanda dan keterbatasan rakyat pribumi yang miskin dan tidak terdidik, maka koran-koran yang dijual S.Pelawi kini tertatih karena gempuran media digital.Â
Bila ada yang bertanya apa pentingnya koran sementara saat ini sudah ada media digital, barangkali sama halnya dengan pertanyaan apa pentingnya lampu petromaks sementara saat ini sudah banyak lampu LED yang bahkan sudah bisa bertahan berjam-jam dengan listrik bersumber dari baterai ion Lithium.Â
Itu hanya soal rasa, dan rasa setiap orang tentu berbeda-beda. Kalau tidak, maka tidak akan ada memori yang melekat sebegitu kuatnya atas sesuatu hal bagi seseorang, sementara bagi sebagian orang lain terpikirpun tidak tentang hal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H