Penjelasan saya ini bukan penjelasan ilmiah. Ini hanyalah deskripsi utuh atas memori yang tersisa di benak saya tentang lampu petromaks ini, karena benda itu memang benar-benar menjadi benda idaman kami satu keluarga pada masa itu.Â
Saya ingat sekali, kami bersama ibu membeli lampu itu dengan uang logam recehan yang kami bawa ke kota dengan bungkusan plastik. Bungkusan itu lumayan besar dan agak berat.
Sebelum adanya petromaks ini, sumber penerangan di rumah hanya dari dua atau tiga lampu teplok. Lampu ini berbahan bakar minyak tanah, dengan sumbu yang terbuat dari kain yang menyerap minyak dan dibakar di ujungnya.Â
Dibakar langsung seperti itu membuat cahayanya datang sekaligus bersama asap pekat yang menghasilkan jelaga. Maka, tak jarang saat bangun pagi, lubang hidung kami menjadi hitam karenanya.Â
Itu karena kami belajar sambil tengkurap di tikar dengan lampu teplok di antara kepala kami yang terangguk-angguk di atas kertas.
Benda lain yang juga menjadi barang mewah pada waktu itu adalah sebuah radio transistor kecil. Saya tidak ingat, berapa lama setelah lampu petromaks ada di rumah, baru kami membeli radio transistor itu.Â
Pada masa itu belum ada gelombang FM di panel frekwensinya. Tapi, suara radio yang berkerisik itupun sungguh sangat menghibur di kala malam menjelang tidur.
Padahal belajar atau mengerjakan PR pun baru selesai 30 menit yang lalu. "Psssss..... ," begitulah lampu petromaks itu berbunyi apabila dipadamkan, dengan membuka perlahan penutup tabung udaranya.
Kenangan ini adalah pengantar yang panjang dari artikel yang sebenarnya saya tujukan untuk mengenangkan bagaimana sebuah toko buku pada masanya dulu adalah sebuah tujuan penting kami yang lain, mana kala kami menemani ibu kami ke kota, entah sekadar berbelanja ke pasar atau karena ada barang berharga yang penting sekali untuk kami beli, seperti lampu petromaks atau radio transistor kecil, misalnya.