Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seisi Dunia Tampak Berjalan Seperti Biasa, Meskipun Aku Merana

7 Oktober 2019   12:31 Diperbarui: 10 Oktober 2019   19:22 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondektur cilik (dokpri)

"Medan...Medan...," seorang kondektur bus angkutan umum antar kota dalam provinsi (AKDP) berteriak memanggil dari balik jendela dengan suara yang tidak terlalu nyaring untuk ukuran seorang kondektur bus. Pagi itu aku ada keperluan menuju Medan. Berdiri di pinggir jalan, menunggu angkutan umum lewat.

Kondektur itu seorang anak kecil, bermata sayu dan cukup kurus untuk anak seumurannya. Dia terlihat seperti tidak mandi sudah beberapa hari. Umurnya mungkin sebaya anak yang duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama.

Duduk di barisan kursi yang dekat dengan pintu, aku hanya terpisah lorong dengan bangku yang diduduki si anak kondektur yang sesekali berteriak lirih, "Medan...Medan...," memanggil calon penumpang dari jendela kecil yang menjadi jalan masuk bagi angin dingin pagi hari menyeruak ke dalam bus. Selebihnya, selama sisa perjalanan ia lebih banyak tertunduk lemah di kursinya, mengantuk mungkin.

Dalam bus yang juga sudah terlihat kumal itu, perjalanan yang akan menempuh waktu selama lebih kurang dua jam tiga puluh menit berjalan seolah sangat lambat. Itu adalah kesan bagi segala sesuatu yang sudah lapuk di makan usia. Di masa jayanya, bus ini mungkin terlihat gagah, kini terlihat merambat tertatih, hampir menyerupai si anak kondektur yang kurang tenaga.

Dua jam menempuh perjalanan, naiklah sepasang kakek dan nenek yang berpakaian cukup rapi. Karena jalannya yang tidak lagi cekatan, kugeser posisi dudukku lebih merapat ke jendela, supaya kakek itu bisa duduk segera di sebelahku. Istrinya duduk di bangku yang ada tepat di depanku.

Setelah cukup nyaman duduknya, kutegur kakek itu, "Mau ke mana kek?", Ia sedikit terkejut, karena kebiasaan saling tegur antar orang asing yang menumpang bus bukan lagi kebiasaan yang sering ditemui di masa kini.

Kalau dulu, jalur perjalanan dari kampung kami ke Medan, ibu kota provinsi adalah jalur yang cocok dalam membangun sebuah percakapan antara sesama penumpang yang kebetulan duduk bersebelahan. 

Ada percakapan antara orang tua dan anak muda, sesama orang tua, ada juga antar muda-mudi. Yah, itu adalah bagian romansa nostalgia dengan bermacam kenangan serta makna.

Maka tak jarang, kalau dulu anak-anak sekolah atau anak kuliah yang sudah harus merantau ke kota Medan dengan berbagai tujuan dan alasan menemukan kepingan kenangan atau bahkan cinta di dalam bus yang membawa mereka pulang pergi ke sana kemari, dalam perjalanan lebih kurang dua jam.

Tapi itu dulu. Kini, dengan waktu tempuh yang sudah semakin lama, bukan karena jarak yang bertambah, tapi karena kendaraan yang sudah semakin membanjir jumlahnya, manusia-manusia yang semakin sering berpindah-pindah itu kini justru semakin irit berbicara.

Yang paling umum terlihat saat ini, setiap orang sudah sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang asyik dengan gadget yang tehubung dengan headset ke telinganya, menganggung-angguk sepanjang jalan seperti kerasukan roh apa, atau yang terkulai dengan mata terpejam dengan headset yang menyajikan entah apa ke lubang telinganya. Atau ada juga yang ayik bermain game sepanjang jalan.

Maka yang tersisa, orang-orang renta yang mungkin tidak pernah menamatkan SMA pada masa mudanya, hanya terpana, diam membisu menatap ke depan, ke kiri ke kanan sesekali, sebelum akhirnya mendengkur dalam tidur di kursinya.

Maka, dengan sedikit kaget, kakek itu menjawab pertanyaanku. Katanya dia mau ke Medan untuk berobat ke seorang dokter spesialis penyakit dalam yang namanya sudah kesohor hingga ke kampung kami di pegunungan. Nama kakek itu Bapa Bunga (nama samaran), ia bermarga Sembiring, sementara istrinya dari klan marga Barus. Mereka tinggal di Desa B, Kecamatan S, Sumatera Utara.

Kakek ini berumur 75 tahun, ia menderita sakit asam lambung. Mungkin sebelum lanjut usia ia sering terlambat makan. Ada masuk akalnya, karena kakek ini kerjanya membuat gula merah dari bahan air aren.

Itu adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan nyali dan tenaga yang tidak sedikit. Mulai dari mengambil air aren dari tandan pohon aren yang tumbuh kadang di lereng-lereng jurang di tengah hutan, memasaknya selama berjam-jam di kuali dengan api kayu bakar yang mesti banyak dikumpulkan, hingga mencetak dan mengemasnya dengan kemasan pelepah daun.

Pekerjaan itu dilakoninya demi menghidupi istri dan keempat anaknya. Anaknya ada 4 orang, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Dia yang hanya tamatan sekolah rendah, dengan pekerjaan membuat gula aren, mampu menyekolahkan anaknya-anaknya tamat SMA, bahkan ada yang sudah sarjana. Seorang lagi masih duduk di bangku SMA dan tinggal di kampung bersamanya.

Kini, ia mengaku sudah tidak mungkin lagi memanjat bambu yang dilubangi menjadi tangga tunggal memanjat pohon aren yang terkadang bisa puluhan meter tingginya. Ia hanya bercocok tanam seadanya di ladangnya, demi mencukupi keperluannya dengan istrinya yang juga sudah renta dan tentu saja kebutuhan biaya sekolah anak bungsunya.

Kami asyik bercerita tentang masa lalu sejak kolonialisme Belanda hingga masa-masa awal ia berumah tangga. Melihat kami asyik bercerita, istrinya menoleh ke belakang, tertarik ikut nimbrung bercerita. 

Katanya ia pernah tahu soal adanya kereta api pada waktu Pancur Batu masih bernama Arnhemia. Pancur Batu kala itu adalah kota satelit yang mendukung perkembangan dan segala kebutuhan kota Medan dan pintu masuk ke daerah pegunungan sebelah Utara.

Baca juga: Ketika Kereta Api Pernah Ada di Pancur Batu

Ia mengingat jelas kata Arnhemia, karena pada masa kecilnya, orangtuanya suka memasak penganan yang mereka namakan "Sukat Arnhemia." Itu adalah sejenis ubi talas, yang jika diartikan bebas mungkin berarti "Ubi Talas dari Arnhemia," Pancur Batu sekarang. 

Kata Ibu Rosa, umbi talas ini bisa dimasak langsung dicampur dengan tomat menjadi sayur untuk teman makan. Itu tidak menyebabkan rasa gatal, sebagaimana umumnya umbi liar yang menyebabkan gatal pada kulit dengan getahnya.

Ia sangat antusias menceritakan soal salah seorang pamannya dulu, yang pulang pergi ke sekolah di Medan dari P. Batu menggunakan Kereta Api maskapai perkebunan tembakau Deli milik Belanda.

Hampir sampai di tujuan, si anak kondektur itu memecah keseruan kami yang larut dalam obrolan di antara suara dengkuran sekitar lima orang penumpang lainnya, yang sejak satu jam yang lalu sudah ketiduran.

"Ongkos-ongkos," kata si kondektur. Aku kembali tersadar, kalau dari tadi si anak ini sesekali melirik ke arah kami di antara obrolan kami yang tiada putus. Mungkinkah ia menyimak bagian-bagian cerita ketika si kakek bercerita tentang upayanya menyekolahkan anak-anaknya meskipun harus membanting tulang di bawah siraman matahari yang membakar kulit dan bahunya? Atau mungkin ia teringat dengan ibu dan bapaknya yang entah di mana, atau bahkan tidak pernah dikenalnya?

Anak itu memang seharusnya masih duduk di bangku sekolah, bukan di bangku bus sebagai kondekturnya. Sesekali ia dihardik oleh pak supir, karena kurang cekatan meladeni uang kembalian dari ongkos penumpang-penumpang yang turun di tujuannya. 

Si anak cuek saja, dengan suara kecil dan lemahnya, ia kadang menimpali sungut-sungut penumpang yang menggumamkan hal-hal yang tidak jelas, tapi rasanya itu umpatan kesal.

Bagitulah barangkali si anak kondektur setiap hari mengarungi jalanan dengan bus yang mungkin sudah terasa menjadi ganti bagi rumah dan sekolahnya setiap hari. Sementara para penumpang itu semua adalah teman-teman sekolah, atau sebagian mungkin guru-guru yang sepertinya tidak menyadari kehadirannya di sana.

Ia yang tidak mampu mengungkapkannya, mungkin bergumam dalam hatinya, "Apa yang salah, sehingga dari sekian banyak orang dengan sekian banyak jenis kehidupan yang kutemui, semuanya seolah tidak menyadari kalau aku sedang merasakan sesuatu yang tidak beres dengan diriku? Mengapa seisi dunia sepertinya terlihat baik-baik saja, saat aku sendiri merasakan hidupku ada di ambang bahaya?"

Sampai pada tujuannya, semua penumpang itu turun satu persatu, seperti di awalnya ketika mereka juga naik satu per satu dengan tujuannya sendiri-sendiri. Si anak itu, masih tetap ada di sana melanjutkan perjalanannya yang entah kapan berhentinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun