Untuk mengatakan, bahwa ia sangat menikmati pekerjaannya aku tidak berani memastikannya, dengan tingkat gaji seperti yang ia terima. Mungkin lebih tepat kalau aku mengatakan bahwa ia sangat mampu mensyukurinya.
Dalam perjalanan pulang saat menuju bandara Adisutjipto, supir taksi online yang saya tumpangi mengatakan bahwa Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memang cukup rendah bila dibandingkan dengan kota-kota besar dan kota-kota wisata lainnya di Indonesia. "UMR di sini hanya Rp. 1.700.000 bang, tapi untungnya biaya hidup juga cukup murah di sini," katanya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. UMR itu mungkin rendah menurut Mas Leo, supir Grab. Namun, jelas itu lebih tinggi 61 kali lipat dibandingkan gaji Mas Suhardi setiap bulannya.
Kubandingkan dengan diriku dan kenyataan masyarakat di kampung halamanku, apa yang kami lakukan dan bagaimana kami hidup di sana. Lalu kuingat Pak Suhardi yang tadi pagi kujumpai di museum kereta. Ia dan keluarganya mungkin tinggal pada rumah di atas tanah yang diberikan Sultan dengan hak pakai secara cuma-cuma.
Namun, pasti juga ia punya keluarga dan anak-anak dengan beragam impian dan cita-cita yang ingin dia wujudkan. Ia dan keluarganya juga bisa sakit dan menghadapi persoalan hidup. Di sisa perjalanan, aku hanya terdiam hingga tiba di bandara.
Baca juga: Sultan HB IX, PNS Pertama Indonesia, Sosok Pelopor Reformasi Birokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H