Pada masa kanak-kanak, di era tahun 1980-an hingga 1990-an, sudah sangat umum diketahui di kalangan keluarga-keluarga di kampung ini, bila ada orang tua yang bertanya tentang cita-cita kepada anak-anak sekolah, maka si anak jarang sekali tidak menyebutkan cita-cita menjadi pilot di masa depannya. Selanjutnya, orang tua juga sudah sangat umum akan mendukung cita-cita itu sambil berpesan kepada si anak agar belajar giat, agar menjadi pintar seperti Habibie.
Habibie yang dimaksudkan oleh para orang tua di kampung-kampung kecil di Tanah Karo ini, yang berjarak ribuan kilo meter dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan, benar adalah Bacharuddin Jusuf Habibie yang lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Padahal pada masa itu, sumber-sumber informasi belumlah sebanjir seperti saat ini.Â
Mungkin itu adalah sisi positif pencarian role model pada masa lalu, sebagai rujukan pendidikan bagi anak-anak dari tokoh-tokoh nasional yang layak menjadi teladan. Bagaimanakah kenyataan itu di masa kini?
Masa kini tidak akan kita bahas panjang lebar di lembaran ini karena informasi tentang masa kini sangat aktual, real time, dan dapat diperoleh dari mana saja. Kita hanya akan fokus kepada sosok keteladanan seorang B.J. Habibie. Belajar dari masa lalunya, dari sikap dan keteladanannya, untuk menarik nilai manfaat bagi kita dan anak-anak kita yang masih hidup sampai masa ini.
Prof. Dr. Ing. H. B.J. Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1936 dan meninggal dunia pada Rabu, 11 September 2019, dalam usia 83 tahun setelah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.Â
Beliau adalah Presiden Republik Indonesia (RI) ke-3, yang menerima estafet kepemimpinan nasional dari Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998, pada saat situasi politik dan ekonomi Indonesia mengalami goncangan karena ketidakpercayaan publik terhadap kepemimpinan nasional yang ada pada saat itu. Tentu saja, menjadi Presiden Indonesia pada saat kondisi negara seperti pada masa itu bukanlah sebuah perkara mudah dan merupakan tantangan tersendiri.
Dua hal yang mungkin patut menjadi sorotan pada sosok Habibie pada masa kepemimpinannya adalah komitmen dirinya yang tidak mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu tahun 1999 dimana dia merupakan pimpinan kabinet yang mempersiapkan pelaksanaan Pemilu tersebut.Â
Selanjutnya, meskipun merupakan kenyataan pahit, di masa beliau menjadi Presidenlah terjadi arus deras tuntutan yang akhirnya memaksa dilakukannya referendum rakyat Timor Timur yang berujung pada lepasnya Timor Timur dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Itu adalah masa lalu yang lebih dekat terkait Habibie. Masa lalu dirinya yang agak lebih jauh, meninggalkan berbagai hal lainnya yang masih relevan dipakai sebagai pelajaran terutama untuk memotivasi generasi muda Indonesia.
Pada prosesi pemakamannya secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada Kamis, 12 September 2019, Presiden Jokowi yang bertindak sebagai inspektur upacara mengucapkan sambutan: "Selamat jalan Mr. Crack. Keteladananmu akan selalu kami kenang, untuk tidak mudah menyerah dan untuk tidak menjadi cengeng dalam menghadapi tantangan hidup," demikian kurang lebih.
Presiden ke-3 RI ini, merupakan Presiden RI pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, di samping makam mendiang istrinya, ibu Hj. Ainun Habibie. Itu adalah wasiat dirinya, yang bisa dimaknai sebagai tanda bukti kesetiaan sebagai seorang suami, seorang ayah, bagi keluarganya, hingga akhir hayatnya.
Sebagai informasi, bahwa presiden pertama RI, alm. Ir. Sukarno, dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Sementara itu, Presiden RI ke-2, alm. Jend. Besar Purn. H.M. Suharto, dimakamkan di Astana Giribangun, Solo, Jawa Tengah. Sedangkan, Presiden RI ke-3, alm. Dr. Abdurrahman Wahid, dimakamkan di Jombang, Jawa Timur.
Sebutan Mr. Crack datang dari kepakaran atau bahkan kegeniusan seorang B.J. Habibie dalam bidang kedirgantaraan. Ia menemukan sebuah teori tentang asal muasal keretakan pada sayap dan bagian badan pesawat terbang yang dinamakan Crack Progression Theory atau Habibie Theory.
Ia juga merupakan pelopor dalam penerapan teknologi fly by wire pertama di dunia dimulai pada tahun 1992, yang merupakan teknologi mutakhir dunia penerbangan yang digunakan pada masa itu. Indonesia dengan bangga pernah me-launching pesawat penerbangan sipil pertama buatan anak bangsa yang dinamakan N-250 Gatot Kaca, pada tahun 1995 yang lalu.
Selain itu, pak Habibie juga merupakan penggagas desain dari pesawat prototype DO-31 yang kemudian dibeli oleh NASA. Hak paten Habibie dipakai oleh perusahaan-perusahaan terkenal seperti Air Bus dan perusahaan roket lainnya. Habibie pernah meraih penghargaan Von Karman Award (1992), yang prestisenya disebut hampir-hampir menyamai penghargaan Nobel.
Meskipun PT. Dirgantara Indonesia, dulunya Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), yang merupakan BUMN bidang kedirgantaraan Indonesia, mengalami jatuh bangun, bahkan mengalami gejolak ditandai pemecatan ribuan karyawannya pada masa-masa krisis moneter Indonesia, tapi BUMN yang satu ini sebenarnya adalah sebuah investasi mahal dari kecerdasan intelektual anak bangsa Indonesia sendiri. Inilah salah satu hal yang memulangkan Habibie dari Jerman ke Indonesia pada masa-masa awal Suharto menjadi Presiden RI.
Maka, tidak bisa dipungkiri, bila kesan "penemu pesawat terbang" Indonesia dan segala hal yang berkaitan dengan kedirgantaraan di Indonesia melekat sangat kuat pada sosok seorang B.J. Habibie. Tidak ketinggalan juga, kesan local genius ber-outlook global turut melekat kuat dalam diri Habibie.Â
Setidaknya, orang-orang tua kelahiran 1940-an hingga 1980-an di kampung kami, masih sering memuji anak-anak mereka bila mereka mendapatkan nilai baik di sekolah, ataupun padahal sebenarnya tidak pintar tapi diniatkan menjadi anak pintar lewat ucapannya, dengan menyebut anaknya sebagai "otak Habibie." Habibie telah menjadi citra intelegensia tinggi dalam artian Indonesia.
Pernah suatu ketika, saya mendapati artikel tentang Habibie di majalah Kartini usang milik ibu pada tahun 1997 yang lalu, yang saya lupa judulnya. Di sana ada sebuah inzet foto, Habibie kecil dengan baju kaos dan celana pendeknya, mungkin waktu itu di rumahnya di Pare-Pare, sedang memegang secarik kertas yang agak usang.Â
Di sana dijelaskan juga, bahwa Habibie kecil memang suka sekali membaca. Katanya, tulisan apapun yang berguna akan dia baca, karena semua itu akan menambah pengetahuan kita, katanya. Maka entah potongan koran, lembaran majalah, atau buku-buku bekas, semuanya akan dia baca.
Zaman berubah, teknologi makin maju. Namun, seperti sambutan Ilham Habibie, yang mewakili keluarga dalam memberikan sambutan bagi para hadirin yang menghadiri upacara pemakanan Pak Habibie, Mr. Crack, katanya semangat Pak Habibie adalah semangat untuk belajar seumur hidup. Belajar dari segala hal, dan dari segala sumber.
Dalam deru tiupan angin yang kencang dan hujan yang sungguh sangat lebat pada Rabu, 11 September 2019 itu, kabar tentang berpulangnya sang citra intelegensia kebanggaan Indonesia itu, menjangkau kami, anak-anak yang kini menjadi orang tua dan orang-orang tua yang kini menjadi lanjut usia.
Selamat jalan Pak Habibie, duka cita kami sedalam-dalamnya, menjadi cukilan obituari dari sebagian catatan hidup Indonesia yang telah kami kenal dan akan tetap tinggal bersama kami.Â
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H