Pak Pendetapun bertanya satu hal kepadaku: "Kamu sudah membaca buku-buku soal beternak ikan?" tanyanya singkat.
"Belum Pak Pendeta. Aku lebih suka membaca buku-buku soal teologia dan filsafat" kataku.
Entah apa maksudnya menanyakan itu kepadaku, tapi sudah pasti ada hubungannya dengan hal yang kami bahasa dalam perjalanan lebih kurang selama satu jam belakangan ini. Hanya faktanya adalah, bahwa dia yang seorang pendeta mendorong saya yang seorang PNS untuk berpikir soal ternak ikan, sementara saya yang PNS mendesak dia membahas soal teologia dan filsafat. Kalau topik-topik pembicaraan ini dihubungkan dengan simbolisasi makanan, jangan-jangan dia mau memberi nasihat, jangan-jangan saya salah makanan.
Lalu setelah sampai di simpang rumahnya, katanya: "Kamu sudah membaca John Locke?"
"Sudah Pak Pendeta, sedikit-sedikit. Sedikit juga Hegel, Nietzsche, Marx, Engels, dan lain-lain," kataku.
Lalu sampailah kami di rumahnya. Saat akan turun dari mobil, dia berkata: "Kalau seperti itu, harusnya kamu cocoknya berkhotbah saja" katanya, lalu kami berpisah.
Dalam sisa perjalanan dari rumah pak Pendeta ini ke rumah saya di Kabanjahe, aku tersenyum sendiri membayangkan pak Pendeta ini dengan semua hal yang kami bincangkan, atau lebih tepatnya dengan hal-hal yang aku ocehkan, sementara ia lebih banyak mendengar saja. Sekilas, ia memang mirip dengan Zeno dari Citium, seorang filsuf stoik yang berpengaruh besar terhadap stoikisme pada awal abad ke-3 SM di Yunani.
Dari penampilanna yang bagai Filsuf, bukan saja dari pakaian yang sudah agak kumal yang dia kenakan, atau jenggot, kumis dan cambangnya yang berewok tidak dicukur sudah cukup lama, tapi juga dari sikap tenangnya. Bagaimana seseorang yang terlihat sangat bersahaja atau bahkan miskin dalam penampilannya bisa juga sekaligus terlihat sebagai orang bijaksana, mungkin bukan saja karena reaksinya yang sangat irit dalam gumaman "Hmhmhm" saja, tapi itu adalah reaksi sebagaimana terminologi stoikisme dalam sejarahnya di Athena, Yunani, dengan menyebutnya sebagai etika filsafat penderitaan dalam kesunyian.
Dia bisa saja merasa selama lebih kurang 1 jam percakapan yang lebih terasa sebagai monolog itu, ini anak muda yang banyak bicara, "Hmhmhm"Â katanya. Kenapa saya katakan seperti itu? Bukan tanpa alasan kenapa ia bertanya apakah saya sudah membaca tentang John Locke.
John Locke adalah seorang filsuf rasionalis yang termasuk penganjur mula-mula, yang mengatakan bahwa "Pengalaman adalah guru yang utama."Â Dalam banyak fakta, memang orang yang berpengalaman seringkali justru terlihat sebagai yang sedikit sekali berbicara. Bahkan ia terlihat mederita dalam kesunyiannya. Sebaliknya, tong kosong nyaring bunyinya. Maka, belum tentu orang yang banyak berbicara berarti sudah lebih banyak tahu, atau malah sebaliknya.