Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Miskin Bersama Orang Miskin dalam Kepulan Asap Rokok

29 Agustus 2019   12:18 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:27 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu sore yang dingin berangin, saya ke warung membeli sebungkus rokok. Ada dua orang bapak yang sedang duduk-duduk di dipan yang ada di teras warung. Mereka berbincang sambil berdiang menghangatkan diri, mengitari perapian kecil di depannya.

Salah seorang bapa berkata: "Saya suntuk juga di rumah aja, minggu depan kita pergi memancing ke danau yok?" Lalu temannya menimpali: "Ah, rokok saja tidak terbeli, ngapain juga mancing" katanya. "Kenapa rupanya, kalaupun tak ada rokok apa hubungannya dengan memancing?" tanya bapa yang tadi.

Lalu jawab temannya itu: "Kalau nggak ada rokok kau memancing, apa nggak takut kau nanti melamun dan terjatuh ke danau itu?" katanya.
Percakapan realisme sosial itu menunjukkan betapa kemiskinan menghadirkan kontradiksi dan ironi dalam hidup. Bahkan dalam kemiskinan pun, bapa dari sebagian ras manusia masih menempatkan rokok sebagai kebutuhan pokoknya.

Ada sebuah cerita, pada suatu waktu menjelang akhir tahun 1947. Sitor Situmorang yang bercita-cita menjadi seorang jurnalis, mencoba menjejak kariernya mulai dari Yogakarta.

Suatu ketika, ia mengikuti ibadah perayaan hari natal di Gereja Batak Gondolayu, Yogya. Pada saat acara kebaktian itu, berkhotbahlah Amir Syarifuddin, seorang Muslim keturunan Batak-Angkola asal Tapanuli Selatan, yang menjabat Menteri Pertahanan dalam periode pemerintahan pada masa perjuangan, pasca ditaklukkannya Belanda oleh Jepang.

Khotbahnya memukau, dengan suara lantang ia berkata: "Akan tiba masanya kita sebagai manusia, sebagai orang yang mengaku beragama, hanya akan bisa merasa 'bahagia' apabila kita mampu meneladani Kristus, menjadi miskin bersama orang miskin!"

Lalu kembali ke warung, "Ini rokoknya bang" kata pemilik warung. Lalu saya pun ikut duduk bersama mereka berdiang. Tanpa ada seorang pun dari mereka yang menertawakan percakapan soal rokok dan memancing yang baru saja terjadi, merekapun larut dalam lamunan masing-masing, di antara kepulan asap rokok dan asap tempurung kelapa yang membara.

Mungkin tidak kurang horor, apa yang merupakan lelucon ironis dalam kenyataan bahwa orang-orang miskin ternyata adalah juga orang-orang yang seringkali membuat keputusan-keputusan yang tidak masuk akal, untuk tidak mengatakannya sebagai keputusan yang salah. Entah, karena rela ataukah karena terpaksa, kami melamun di antara kepulan asap rokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun