Pada suatu kesempatan dalam perjalanan menuju ke sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Payung Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara, dalam rangka pembinaan desa percontohan pada tahun 2006 yang lalu, saya yang bertugas mengemudikan mobil berpapasan dengan sebuah mobil minibus bermesin diesel yang menuju arah sebaliknya ke Kabanjahe, ibu kota kabupaten. Tidak ada yang istimewa dengan kejadian itu. Satu hal yang bagi saya terasa tidak biasa adalah bahwa yang berada di balik kemudi mobil diesel itu adalah seorang bule, orang barat.
Ia memegang kemudi dengan sebatang rokok kretek terselip di antara bibirnya. Kami berpapasan persis di tikungan, dengan demikian saya mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bisa setengah memutar melihat sekilas sosoknya dengan lengkap. Ia mendongakkan kepalanya keluar jendela untuk mengamati kendaraan lain yang menuju kearahnya dari arah berlawanan.
Itu adalah perilaku khas sebagian besar warga lokal yang berkendara di kampung kami, khususnya para supir angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang sering melaju dalam kecepatan tinggi dengan kesulitan geografis tertentu sehingga dibutuhkan semacam kemampuan teknis berkendara yang khas. Fenomena ini sering terlihat pada bus-bus angkutan umum yang melintasi jalan raya sehari-harinya pada rute Medan-Kabanjahe, atau sebaliknya.
Selepas papasan itu, saya bertanya kepada bos saya yang duduk di sebelah, siapa gerangan pria bule paruh baya yang terlihat tidak biasa untuk ukuran seorang pelancong itu. Tidak lain, dia adalah Pater Leo Joosten OFMCap. Kebetulan bos saya ini adalah seorang Katolik, jadi dia mengenal beliau dengan cukup baik.
Pada blog Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara (IKKSU), yang diposting oleh Swandy Sihotang pada 25 November 2008, dengan judul artikel "Leo Joosten, Pembuat Kamus Batak," saya mendapatkan penjelasan tentang profil Romo Leo. Ini adalah artikel yang telah saya simpan selama lima tahun terakhir ini.
Di sana dijelaskan bahwa begitulah Eindhovens Dagblad, sebuah media Belanda, Â pada tahun 1995 mengungkapan kesan atas Pater Leo Joosten OFMCap, rohaniwan Katolik asal Belanda yang kini menetap di Berastagi, Karo-Sumatera Utara. Dijelaskan juga, bahwa sehubungan dengan peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, Pater Leo mengimbau warga Belanda untuk mengembalikan lagi berbagai tulisan, artefak, dan beragam benda lain yang berkaitan dengan Batak yang telah pernah dibawa pergi oleh penguasa Belanda ketika menguasai Indonesia.
Tak disangka, banyak sekali warga Belanda yang menanggapi imbauan itu. Bahkan, seorang kolektor di Belanda mau menyerahkan sebuah buku "Lak-lak" yang sangat tua. Buku Lak-lak merupakan manuskrip Batak zaman dulu yang berisi kisah-kisah dan legenda Batak, tulisan sastra, serta berbagai mantra dan ramuan obat-obatan asli Batak, yang diperkirakan dibuat pada abad ke-16.
Namun, saat itu buku yang sangat tua itu belum dapat dibawa ke Indonesia. "Dibutuhkan ruangan khusus dengan standar tertentu agar buku itu tidak rusak. Selain itu, tenaga ahli dan petugas yang memiliki kompetensi tentang itu belum ada di sini. Museum di Pangururuan, Samosir, pun masih perlu dipersiapkan lagi," kata Pater Leo.
Dia juga menambahkan bahwa diperkirakan, sekitar 1.000 Lak-lak dari berbagai era kini tersebar di seluruh dunia. Ada 200 buah di Belanda, 100 buah di London, 100 buah di Paris, dan beberapa di tempat lain seperti Jerman bahkan di Moskwa. Ia berharap Lak-lak itu semua dapat kembali ke Indonesia.
Kalau bisa dicontohkan, barangkali dari figur pater Leo kita bisa mendapatkan contoh gambaran bagaimana cara kerja seorang etnograf lapangan dan antropolog dalam menjalankan tugas etnografi dan antropologi secara partisipatif. Sebagaimana antropolog Polandia, Bronislaw Malinowski.
seperti hasil riset lapangan Malinowski, bahwa untuk merumuskan suatu kebijakan pembangunan tidak bisa memakai perspektif tungggal, atau bahkan mengadopsi bulat-bulat dimensi berpikir yang dianggap sudah mapan, seperti cara berpikir peradaban Eropa Barat yang mempertentangkan hal-hal secara oposisi kontras, beradab-tidak beradab, maju dan terbelakang, terkait sistem hidup tradisionil yang dicap tertinggal dengan segala tradisi, adat istiadat dan keyakinan lokalnya dibandingkan peradaban modern di Eropa Barat yang dipandang lebih maju. Bahwa apa yang dicap tradisional sebenarnya sama kompleksnya dengan yang hal-hal yang dipandang modern.
Masyarakat tradisionil pun dalam merumuskan nilai-nilai falsafah hidupnya tetap melalui suatu proses pendalaman berpikir dan pengkajian hingga menemukan sistem hidup ideal yang dianggap paling akomodatif untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota komunitasnya.
Bersama para koleganya, Pater Leo merintis liturgi inkulturatif yang memasukkan nuansa Karo dalam liturgi gereja. Selain itu, mereka juga mengadakan berbagai lokakarya tentang budaya Karo. Inisiatif itupun mendapat sambutan baik dari Pemerintah Kabupaten Karo.
Pater Leo berharap agar budaya Karo tetap hidup dalam arus dunia, karena akan sangat disayangkan  jika ornamen dan simbol budaya baru seperti keyboard (sebutan untuk jenis alat musik elektris organ tunggal) mengikis akar budaya asli masyarakat Karo.
Ungakapan "Leo Joosten, Pembuat Kamus Batak," bukan tanpa alasan. Ia memang menggarap kamus bahasa Batak Karo-Indonesia selama dua tahun, yang pada waktu itu menurut perkiraannya, akan rampung dan bisa dipublikasikan pada tahun 2010.
Saya sangat terkesan dengan segala tindakan Pater Leo yang terasa melebihi kebanyakan orang Karo sendiri dalam menyelamatkan budaya Karo, sangat layak dengan marga Ginting yang disandangnya. Pada tahun 2016 juga, Pastor Leo Joosten OFM Cap, tercatat sebagai Ketua Lembaga Museum Pusaka Karo dimana ia juga termasuk penggagas pendiriannya. Museum ini berlokasi di kota Berastagi.
Jejak warisan itu pastilah didukung oleh olah pikir dan olah rasa yang tinggi. Maka, sebagaimana pandangan Malinowski, sang antropolog, jejak intelektualitas nenek moyang orang Karo termasuk dalam hal kesusasteraan, mungkin tidak kalah dengan Trivium dan Quadrivium-nya Socrates dan Plato pada masa Yunani Kuno. Kita terkadang mendapatkan kesadaran dan pengenalan tentang diri kita sendiri justru dari orang lain.
Atas dedikasinya melestarikan budaya Karo khususnya, maka pada 25 September 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memberikan penghargaan Kategori Pelestari dalam acara Anugerah Kebudayaan 2018 kepada Pater Leo. "Saya kumpulkan barang-barang milik Indonesia di Belanda. Tidak ada yang bayar," katanya saat ditemui seusai acara. Kegiatan memulangkan barang yang hampir seluruhnya dari Batak itu dimulai Pater Leo belasan tahun lalu. Dia tak begitu ingat kapan mulai mengumpulkannya.
Pater Leo juga memberikan inspirasi awal pembangunan gereja-gereja Katolik di beberapa kota di Sumatera Utara, dengan memadukan budaya setempat secara inkulturatif yang tampak melalui ornamen-ornamennya. Antara lain adalah Gereja Katolik St. Fransiskus Asisi di Berastagi dengan ornamen khas budaya Karo, Gereja St. Pio Purba Hinalang di bawah naungan Paroki St. Fransiskus Asissi di Saribudolok, dengan ornamen khas budaya Simalungun, dan Gereja St. Mikhael di Pangururan Tapanuli Utara dengan ornamen khas Batak Toba.
Darinya kita bisa belajar mencintai budaya kita sendiri seraya menekuni iman kita. Bagi Pater Leo Joosten, kecintaan pada budaya apa pun telah menjadi bagian dari seluruh panggilan hidupnya. Dia percaya, jika sebuah budaya mulai luntur, sifat dan cara bertindak seseorang pada budaya itu dapat berubah.
Pax et Bonum! "Peace and all good be with you"
Ref:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H