Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengawali Hari dengan Ironi Harmoni Melalui Sarapan Pagi

30 Juli 2019   09:27 Diperbarui: 30 Juli 2019   10:34 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi Lemak Medan (sumber: www.reseptina.com)

Berbagai-bagai hal yang dilakukan oleh orang-orang dalam mengawali hari. Tidak setiap orang senantiasa mengawali hari dengan sarapan pagi. Namun, setidaknya menurut anjuran kesehatan, sarapan pagi yang sehat sangat dianjurkan untuk dikonsumsi demi kesehatan tubuh dan stamina yang prima dalam menjalani rutinitas setiap hari.

Orang-orang yang terbiasa menyantap sarapan pagi, juga memiliki pilihan menu yang beragam. Kalau di kampung-kampung di Tanah Karo, sangat umum para kaum bapa memilih memulai hari dari warung kopi dengan segelas teh susu (untuk menyebut teh manis yang dicampur dengan susu kental manis), ditemani roti-roti, atau kopi dengan roti. 

Sebagian lainnya memilih sepiring mie goreng atau mie kuah ditemani teh atau kopi. Itu semua terserah dan tergantung selera setiap orang.

Itu di warung kopi. Bagaimana dengan di rumah tangga, kalau di kampung kami, rumah tangga lebih merujuk kepada ibu dan anak-anaknya. 

Hal ini disebabkan bapak-bapak lebih banyak di luar rumah, bahkan makan pun lebih sering di luar. Di rumah pun tidak jauh beda, bahkan anak-anak sangat umum malas sarapan pagi. Menu sarapan pagi setiap keluarga juga tidak sama.

Namun, barangkali bukan nusantara namanya kalau tidak penuh dengan ironi dan kontradiksi. Entah di tempat lain, kalau di beberapa tempat yang pernah saya singgahi di negeri ini, sudah sangat biasa saya jumpai sarapan pagi dengan menu sepiring nasi dan lauk sejumput mie. 

Nasi dan mie adalah bahan makanan yang sama-sama mengandung unsur karbon. Dengan kata lain, saya makan sepiring karbon dengan lauk karbon.

Baik di rumah-rumah tangga, di warung-warung kopi, bahkan di hotel-hotel, sangat umum kami memakan nasi dengan lauk mie. Maka, bukan tidak mungkin, sebagian rakyat negeri ini sadar atau tidak adalah bagian dari masyarakat besar yang tergesa-gesa tapi tidak produktif.

Kebanyakan karbon, rakyat menjadi mudah mengantuk. Badan besar, untuk tidak menyinggung soal perut besar, tapi kurang vitamin dan protein, ia mudah tumbang. 

Biasa juga orang mati mendadak, biasanya karena sakit. Tapi bukan karena sakit kurang makan, sebaliknya karena kebanyakan makan, makan karbon.

Itupun adalah sebuah kebebasan, sarapan pagi itu. Kita boleh sarapan, boleh tidak, terserah kita. Tidak ada juga yang membatasi dan melarang kita memakan apa yang kita mau makan. Larangan dan batasan adalah sejauh selera, daya beli dan batas toleransi tubuh masing-masing orang, yang tentu saja berbeda-beda.

Namun, ada yang jauh lebih menarik dalam tradisi sarapan pagi di negeri ini selain menu makanannya. Walaupun larangan dan batasan sejauh selera, daya tahan dan batas toleransi tubuh, masyarakat kita juga sangat bebas dalam tata cara menyantap sarapan pagi.

Kalau secara fungsi, bila dikatakan melihat pasti dengan mata dan mendengar pasti dengan telinga, maka tidak dengan mulut. Bukan tanpa alasan mulut punya beragam fungsi, ia terkait dengan aktivitas komunikasi, baik verbal maupun non verbal, aktivitas seni romantisisme dan percintaan, juga termasuk makan-memakan.

Pada faktanya, kita mungkin pernah melihat orang-orang melakukan beragam aktivitas ini secara bersamaan sembari berbagai makanan memenuhi rongga mulutnya. 

Maka, tidak heran dalam setiap hari sarapan pagi kita, entah dimana pun itu, berlangsung dalam sebuah orkestrasi harmoni yang riuh. 

Orang-orang memakan berbagai hal, biasa sekali bersama dengan nasi dan mie, dengan diiringi derai gelak tawa dan bermacam obrolan tentang berbagai hal dengan mulut berbusa-busa, dan tak jarang dengan makanan yang penuh mengisi rongga mulutnya.

Itu adalah segelintir hal yang menjadi kebiasaan kita dalam mengawali hari, di negeri dimana hampir semua hal saat ini berlangsung dalam ketergesa-gesaan, dengan badan yang besar tapi limbung. 

Semuanya tampak dalam suasana sarapan pagi, melalui sepiring nasi dengan lauk mie. Sebuah gambaran orkestrasi harmoni di tengah kontradiksi dan ironi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun