Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ikut Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Berarti Mencukupkan Diri dengan Apa yang Ada

24 Juli 2019   17:21 Diperbarui: 24 Juli 2019   17:25 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Blogcomp Stabilitas Keuangan (Kompasiana)

Ada dua peristiwa penting dalam perjalanan hidupku yang terjadinya berdekatan dengan dua peristiwa penting terkait dengan krisis moneter dan perekonomian di Indonesia. Pertama, saat akan melanjutkan pendidikan ke bangku SMU pada Juni 1998. Saat itu Indonesia sedang dilanda krisis moneter, yang sebenarnya sudah mulai memperlihatkan tanda-tandanya sejak tahun 1997, saat terjadi gonjang-ganjing politik dan keamanan terkait suksesi kepemimpinan nasional. Pada saat itu nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar jatuh tidak karu-karuan.

Kedua, tidak lama setelah menikah pada September 2007, Indonesia juga dilanda krisis ekonomi pada tahun 2008. Krisis ekonomi ini adalah imbas dari krisis finansial yang diawali pada tahun 2007 di Amerika Serikat, saat persediaan rumah bagi masyarakat menengah ke bawah membludak, tapi pada saat yang sama banyak dari nasabah perumahan kelas menengah ke bawah yang tidak mampu membayar utangnya. Pada saat itu nilai tukar US Dollar semakin menguat terhadap mata uang negara-negara di dunia, termasuk terhadap Rupiah.

Kedua pengalaman tersebut memberikan pembelajaran tersendiri akan pentingnya kebijakan "fiskal dan moneter" di rumah tangga, karena krisis moneter dan perekonomian negara berimbas langsung kepada rumah tangga. Dalam contoh di atas adalah terkait dengan kebutuhan menyekolahkan anak dan dalam membangun mahligai rumah tangga sebagai bagian kebutuhan manusia.

Apalagi saat ini, hampir semua kebutuhan manusia akan bisa dicukupkan bila memiliki cukup uang. Gangguan terhadap nilai tukar mata uang berarti gangguan langsung terhadap daya beli dan ketahanan keluarga. Oleh karenanya, rumah tangga perlu mengatur sumber-sumber penerimaan dan pengeluarannya, dengan demikian ia menjalankan kebijakan fiskal. Selain itu, rumah tangga juga perlu mengatur peredaran uang yang diperlukan, tabungan dan pinjaman kredit dari lembaga-lembaga keuangan, semisal koperasi atau bank, dalam hal ini ia menjalankan fungsi moneter.

Bedanya, kalau dalam kehidupan negara, kebijakan fiskal dijalankan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan moneter dijalankan oleh bank sentral atau Bank Indonesia, maka dalam rumah tangga tidak ada pembedaan yang jelas terkait pelaksanaan fungsi-fungsi itu di antara suami dan istri. 

"Uangku uangmu, uangmu uangku," segala yang ada adalah milik bersama untuk kesejahteraan semua anggota keluarga, dan masing-masing bertanggung jawab untuk memakai segala sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya demi tujuan yang terpenting dan terutama. Semuanya dijalankan dengan kesepakatan bersama, harus senang sama senang. Setidaknya demikianlah yang saya alami di rumah tangga kecil ini. Barangkali itu adalah salah satu potret realitas kebijakan fiskal dan moneter dalam skala rumah tangga.

Baca Juga: Tantangan Stabilitas Keuangan, Globalisasi Masuk Desa

Bagaimana cara suami dan istri mengatur bersama sumber-sumber penerimaan dan pengeluarannya, mengatur tabungan dan pinjaman ke lembaga-lembaga keuangan, atau dengan kata lain bagaimana kebijakan "fiskal dan moneter" itu dijalankan oleh suami dan istri? Mungkin jawabannya berbeda bagi setiap orang, sebagaimana tingkat penghasilan, pengeluaran, tabungan dan pinjaman setiap orang juga berbeda-beda. Termasuk apa yang menjadi batasan kurang, cukup atau lebih bagi setiap orang juga tidak sama.

Namun, seperti pengalaman krisis moneter dan perekonomian Indonesia pada tahun 1998 dan 2008 di atas, prasyarat terjadinya suatu krisis pada dasarnya sama, baik di rumah tangga maupun di negara, skalanya saja yang berbeda. Apa misalnya?

  • Krisis didahului adanya suatu rasa saling curiga dan tidak saling percaya;
  • Terjadi defisit neraca yang melampaui ambang batas aman, dimana pengeluaran jauh lebih besar dari pada pendapatan, lebih besar pasak daripada tiang;
  • Bahwa harta adalah utang tambah modal, tapi utang yang sudah melampaui rasio aman produktivitas mata pencaharian selama setahun tentu pada akhirnya hanya akan menghasilkan kredit macet atau non performing loan di rumah tangga.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kalau saya pribadi, terlepas dari dalil perdebatan sikap antara ayah yang kaya dan ayah yang miskin, sebagaimana Rich Dad Poor Dad yang dituliskan oleh Robert Kiyosaki dan Sharon Lechter, juga pada tahun 1997, saya akan lebih memilih bertindak seperti judul tulisan ini, "Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu."

Pada awal-awal pernikahan kami, saat masih tinggal bersama dengan orang tua karena belum memiliki rumah sendiri, saya ingat sekali sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil dengan golongan III/a dan masa kerja 2 tahun hanya bergaji Rp. 1.064.600. Memang saat itu, biaya makan, listrik dan air kami tidak bayar, tapi tidak enak juga kalau kerja cuma makan tidur. Maka sesekali pastilah kami juga belanja kebutuhan dapur, sekali-sekali. Kami juga tidak bisa selamanya tinggal di rumah orang tua, kami juga mau mandiri.

Biaya sosial dan keagamaan bagi sebuah keluarga baru juga ada. Bagaimana mau menghadiri kondangan atau pesta adat atau kegiatan keagamaan kalau tidak bisa mencukupkan diri dengan penghasilan yang tidak sampai 2 juta sebulan demi kebutuhan 2 orang itu, saya sudah beristri. Belum lagi biaya operasional pulang pergi ke tempat kerja selama 5 hari dalam seminggu, dan biaya operasional di tempat bekerja, uang rokok istilahnya. 

Kalau di sini masih umum terjadi, di kantor-kantor tempat kita bekerja jarang ada laki-laki dewasa yang tidak merokok. Dan nyatanya, ada survey yang mengatakan bahwa salah satu penyebab Indonesia masih sukar bergerak menurunkan angka kemiskinan secara sifnifikan adalah karena tingginya jumlah perokok di Indonesia. Entahlah benar demikian atau tidak.

Apa yang terjadi dengan semua pengeluaran itu dengan penghasilan seperti itu? Saya ingat sekali, istri saya membuat semacam folder dari kertas yang dipotong kecil-kecil dengan judul folder yang ditulis di salah satu sisi setiap folder, ada uang susu, uang beli popok bayi (itu setelah istri saya hamil), uang jajan bapak, uang minyak bapak, persembahan, biaya pesta adat, belanja dapur, dan sebagainya yang saya tidak ingat semuanya. 

Justru yang saya ingat lagi adalah, istri saya tidak menyiapkan folder untuk uang bedak atau uang beli baju. Tentu saja istri saya masih berbedak dan sesekali beli baju. Ketiadaan folder dengan judul seperti itu mungkin maksudnya hanya menegaskan bahwa itu bukan jenis belanja yang prioritas saat itu. Tidak prioritas bukan serta merta  berarti diabaikan sama sekali.

Setiap saya gajian saya akan langsung menyerahkan semua uang gaji itu untuk dia bagi habis sesuai dengan judul folder yang sudah dia siapkan sesuai kegunaannya itu. Pada masa itu belumlah seperti sekarang, hampir semua sudah menggunakan transaksi non tunai, bahkan di kampung kami ini.

Dua tahun melakoni sistem bagi habis gaji yang "banyaknya" seperti itu di rumah tangga kami, pada tahun 2009 kami mengambil kredit multi guna di bank sebesar setengah dari batas atas plafon pinjaman yang bisa diambil dengan tingkat gaji sebagaimana saya miliki itu untuk keperluan membeli sebuah rumah kecil nan sederhana. Kehidupan berlanjut dengan gaji tinggal separuh.

Setelah anak pertama lahir, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan penghasilan, atau meningkatkan produktivitas istilahnya. Supaya rasio utang pinjaman kami terhadap kemampuan penghasilan kami semakin kecil. Dengan begitu daya dukung kehidupan rumah tangga kami secara teori dari sisi finansial bisa lebih aman. Begitulah, maka istri saya ikut bekerja sebagai seorang apoteker di instalasi farmasi sebuah rumah sakit swasta.

Itu hanyalah sebuah proses yang terjadi terus menerus dan berulang-ulang dalam kehidupan kami. Utang bertambah, modal pun bertambah, maka harta pun semestinya bertambah. Tentu tidak selalu hari-hari hanya bekerja, sesekali kami liburan dan sakit juga. Libur dan sakit berarti mengurangi produktivitas, tapi libur dibutuhkan juga agar bisa kembali lebih produktif. Sama halnya, sakitpun bukan berarti tidak berguna. Sakit adalah kondisi supaya kita tahu apa artinya sehat dan berusaha menjaganya, karena itu kita tahu bahwa kesehatan sangat penting dan sangat mahal, dan tidak ada orang yang mau jatuh sakit.

Proses bekerja, terkait utang, modal dan harta dalam bahasan ini tidak bersangkut paut juga dengan perdebatan terkait sosialisme dan kapitalisme dalam teori ekonomi. Karena baik prinsip sosialis dan prinsip kapitalis sama-sama teriris dalam pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter rumah tangga ini. Kerja keras individu dan sikap berhemat untuk reinvestasi, yang ditengarai kaum sosialis sebagai ciri etos kerja yang berperan membesarkan kapitalisme, tentu saja juga sangat dibutuhkan di saat beban pemenuhan kebutuhan keluarga ikut bertambah seiring bertambahnya jumlah anggota keluarga maupun usianya. 

Sikap guyub rukun antar anggota keluarga, maupun antar keluarga dengan keluarga lain dalam paguyuban yang sering dicurigai sebagai benih laten sosialisme dengan slogan persatuannya juga terkadang harus diterapkan di saat-saat kita ataupun keluarga yang lain sedang membutuhkan. Karena kalau tidak, mungkin akan lebih buruk lagi kondisinya, tidak saja bagi keluarga yang membutuhkan, tapi juga bagi seluruh keluarga besar bila keluarga yang lemah itu jatuh ke dalam cengkeraman tengkulak. Mungkin lebih baik berpikir bahwa tidak ada sebuah kompi yang lebih kuat dari salah satu anggotanya yang paling lemah.

Dan di atas semuanya, hal yang terutama kalau menurut pengalaman saya di rumah tangga ini adalah, perlunya ada rasa saling percaya antar anggota keluarga. Dengan adanya rasa saling percaya, kita menjadi lebih yakin dalam memberikan segala upaya terbaik yang kita punya dan kita bisa bagi hadirnya kesejahteraan bersama. 

Dan untuk bisa bersama, para anggota keluarga tentu harus punya komitmen untuk tidak korupsi. Karena Korupsi atau rasuah sesuai dengan asal katanya dari bahasa Latin, corruptio bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, menyogok, sebagai tindakan yang tidak wajar dan tidak legal, dengan menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan anggota keluarga kepadanya untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Menciderai rasa percaya anggota keluarga, baik keluarga dalam artian sebenarnya maupun dalam lingkup arti negara, terbukti mampu memicu terciptanya kerapuhan yang berujung krisis pada masa lalu.

Itu adalah sedikit hal sebagai bentuk peran aktif saya dalam mewujudkan sistem keuangan yang stabil melalui kontribusi nyata, mulai dari rumah tangga dan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun