Kalau pada masa memburu dan mengumpul, manusia purba mencukupi kebutuhannya dengan berburu binatang-binatang liar atau memetik buah-buahan dan dedaunan yang bisa dimakan di padang rumput atau hutan belantara, maka setelahnya pada masa agrikultur, manusia telah mampu bercocok tanam dan memelihara hewan-hewan ternak.
Manusia yang bercocok tanam dan memelihara ternak itu, turut pula membentuk suatu budaya baru dalam kepercayaan dan keyakinannya. Kalau dulu sewaktu berburu, manusia menyandarkan peruntungan dan nasib perburuannya melalui doa-doa kepada roh-roh leluhurnya, kepada simbol-simbol alam; batu-batu besar, pohon-pohon besar, gunung, sungai dan sebagainya, maka pada masa agrikultur manusia telah mulai mengenal keyakinan kepada dewa-dewa. Ada dewa air, dewa api, dewa angin, dewi kesuburan, dewa perang, dan sebagainya sesuai kebudayaannya.
Apa yang menjadi budaya manusia itu merupakan respons alamiah akal manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang beragam mengikuti perkembangan lingkungan tempat tinggalnya. Namun, pada saat yang sama, respons alamiah manusia itu adalah sesuatu yang bersifat buatan bagi alam, oleh karenanya seringkali respons yang berlebihan dan terjadi berulang-ulang bahkan menyebabkan kerusakan bagi alam. Respons manusia terhadap alam sering kali hadir dalam bentuk tindakan-tindakan yang tidak diinginkan oleh alam, sadar atau tanpa disadari manusia.
Salah satu kebutuhan yang mendasar bagi manusia dari segala zaman adalah kebutuhan untuk makan. Oleh sebab itu, pada masa agrikultur manusia memelihara ternak-ternak dan bercocok tanam adalah untuk memastikan tersedianya makanan secara berkesinambungan. Untuk ternak mereka, manusia berdoa kepada dewa-dewa supaya tidak datang penyakit sampar yang bisa membunuhnya. Untuk tanamannya, manusia berdoa kepada dewa-dewa meminta turun hujan dan tanah yang subur.Â
Demikianlah manusia agrikultur beranak pinak dan bertambah banyak di sela-sela kesibukannya memelihara ternak dan mengolah lahan untuk bercocok tanam. Terkadang alam tidak terlalu bersahabat, baik kepada manusia, kepada ternak-ternak maupun kepada tanam-tanaman. Manusia berusaha mencukupi keperluannya dengan penuh cucuran keringat.
Manusia budaya agrikultur sepertinya memahami prinsip dalil deuteronomi, bahwa mereka mendapatkan berkat bila mereka hidup selaras dengan alam mengikuti panduan hidup dari dewa-dewa, karenanya mereka mengucap syukur. Sebaliknya, mereka akan mendapat bencana bila mereka merusak alam dan menentang panduan hidup yang turun dari langit, karenanya mereka menderita.
Kalau dulu manusia mengucap syukur kepada roh-roh nenek moyang, kepada batu-batu besar, pohon-pohon besar, gunung, sungai, dan kepada dewa-dewa, maka kini mereka mengucap syukur kepada Sang Pencipta Kehidupan yang transenden, yang bagi sebagian mereka sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Kebiasaan yang dulu sudah pernah ada tidak hilang. Manusia tetap mencari hubungan antara realisme dengan emosi dalam seni kehidupan.
Bagi masyarakat Karo, yang merupakan entitas etnik yang baik secara teritorial, historikal, sosial dan kultural sebagian besar hidup mendiami wilayah pegunungan di dataran tinggi Sumatera Utara, yang dalam pengertian geografis administratif kewilayahan dikenal dengan Kabupaten Karo, budaya mengucap syukur atas hasil panen ini dikenal dalam sebuah tradisi pesta tahunan yang dinamalan "Kerja Tahun."
Kerja Tahun adalah sebuah perayaan dimana masyarakat Karo menandainya dengan membuat berbagai penganan dari hasil olahan ternak-ternak peliharaan dan hasil-hasil pertanian yang mereka tanam, utamanya adalah padi.Â