Kami mendapatkan pelajaran pertama, ini benar adalah era data dan informasi. Maka, pakailah data dan informasi hasil pengolahan data sebagai acuan dalam bekerja, dan yang mendasari kita dalam membuat pilihan-pilihan dan keputusan. Di era ini, harusnya semangatnya adalah "rasanya tidak mungkin untuk bekerja tanpa data."
Seandainya pada pukul 17.30 wib yang lalu kami terlebih dahulu mencari data dan informasi lalu lintas sebelum menginjak penuh pedal gas mobil matik itu, barangkali kami akan tepat memilih jalan kembali pulang. Walaupun begitu, kami masih ngotot akan tetap melanjutkan perjalanan pulang apa pun yang terjadi dan akan tiba jam berapa pun nantinya.
Tidak menunggu lama, masalah yang sebenarnya memang segera tiba. Kalau kita memakai prinsip silogisme dalam memutuskan apa sebenarnya penyebab kemacetan yang "parah" itu, maka barangkali bukan truk kontainer berbadan panjang yang mengalami patah as, mogok di tikungan "Amoi" itu yang menjadi penyebabnya.
Bahwa truk patah as yang mogok itu menyebabkan kemacetan, ya, benar. Namun, yang menjadi penyebab kemacetan yang "parah" itu adalah perilaku para pengendara yang sangat buas, banal, bar-bar, tidak beradab dan entah apa lagi istilah yang paling cocok untuk menggambarkan kebrutalan para pengendara dalam berlalu lintas. Aturan tidak ada. Benar-benar hukum rimba, sebagaimana jalan ini memang membelah rimba raya Taman Nasional Bukit Barisan, yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1892, 127 tahun yang lalu. Siapa yang paling buas dialah yang menang.
Mengapa tidak parah? Badan jalan yang harusnya hanya dua jalur, masing-masing satu arah untuk menampung kendaraan yang naik ke pegunungan dan kendaraan yang turun ke Medan, kini telah nyaris menjadi 6 jalur. Tiga jalur dari atas, dan tiga jalur dari bawah. Sehingga, untuk memutuskan memutar kembali haluan dan menginap di Sibolangit menjadi tidak mungkin lagi. Kendaraan nyaris tidak bisa bergerak. Selama waktu tempuh dua jam sejak berangkat dari Sembahe pada pukul 19.30 hingga tiba di Bandar Baru pada pukul 21.30 wib, kami hanya bisa menempuh jarak sekitar 10 km.
Fenomena kemacetan di jalur jalan buatan Belanda berumur 127 tahun ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru. Namun, isu tentang hal ini menjadi hangat dan dingin secara bergantian seiring dengan momentum yang mengiringinya. Setiap ada even, setiap musim pemilihan kepala daerah atau legislatif, biasanya isu tentang urgensi solusi permanen mengatasi kemacetan lalu lintas di jalur romantik sekaligus psikosomatik ini menjadi hangat, demikian sebaliknya.
Lalu apa ciri-ciri gejala psikosomatik yang terlihat dalam fenomena kemacetan parah di seputaran tikungan Amoi hingga Senin, 8/7/2019 itu?
Dari https://www.alodokter.com dijelaskan bagaimana pikiran memengaruhi penyakit. Pikiran dapat menyebabkan munculnya gejala atau perubahan pada fisik seseorang. Contohnya, ketika merasa takut atau cemas, bisa memunculkan tanda-tanda seperti denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar, mual atau ingin muntah, gemetaran, berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut, napas menjadi cepat, nyeri otot, atau nyeri punggung.
Ketika faktor mental memunculkan gejala penyakit, tetapi penyakit itu sendiri tidak bisa ditemukan atau dideteksi secara fisik, atau mengeluh sakit yang tidak sesuai gejalanya, berbagai kondisi ini dikelompokkan dalam gangguan psikosomatis. Keluhan psikosomatis terkadang sulit untuk dikenali, baik oleh penderitanya sendiri ataupun oleh dokter, karena tidak menunjukkan tanda dan gejala yang spesifik. Namun satu hal yang pasti, gangguan ini dapat menyebabkan permasalahan nyata bagi penderita dan orang di sekitarnya.
Beberapa penyakit tertentu memang terbukti dapat diperberat oleh kondisi mental seseorang. Misalnya pada penyakit psoriasis, tukak lambung, tekanan darah tinggi, diabetes, dan eksim. Kondisi penyakit tersebut tak jarang akan kambuh atau semakin berat ketika penderitanya mengalami stres atau cemas. Namun secara fisik kondisi tersebut terlihat nyata dan dalam pemeriksaan fisik akan terdeteksi oleh dokter.