Telah banyak publikasi, baik di media cetak, elektronik maupun media online dan media sosial, terkait dengan peristiwa erupsi gunung Sinabung.Â
Sejak erupsi pertamanya pada tahun 2010, yang mengagetkan pengenalan dan kesadaran kolektif warga desa di lingkar Sinabung khususnya, maupun warga Tanah Karo pada umumnya.Â
Sinabung yang dianggap simbol kesuburan dan simbol kesatuan kultural masyarakat Tanah Karo, ternyata dapat juga menebarkan ancaman bahaya.
Kenyataan erupsi sebagai bencana alam, serta masalah sosial yang datang mengiringinya, turut berbaur dengan berbagai hal lainnya yang terkait dengan keseharian masyarakat. Tidak kurang, dampaknya turut berpengaruh, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, dan hal-hal yang metafisik dan religius.
Banyak perspektif yang muncul di masyarakat dalam menanggapi fenomena erupsi gunung Sinabnung. Satu hal yang mempersamakan semuanya, dalam hal memandang fenomena itu sebagai sebuah masalah.Â
Meskipun, ada juga segelintir pandangan yang melihat hal ini sebagai sebuah jalan panjang proses rejuvenasi dan revitalisasi ketangguhan diri untuk hidup berdampingan dengan sumber berkat sekaligus bahaya. Sinabung adalah berkat alam yang bisa marah, demikian kira-kira.
lingkungan instansi pemerintah, dalam bentuk aktivitas fisik jalan santai ke Siosar, kami rekan kerja satu kantor, mencoba meresapi bersama berbagai fakta dari berbagai sudut pandang dalam memandang dampak erupsi Sinabung yang terhampar dalam bentang alam Siosar sepanjang jalan yang kami lalui.
Dalam sebuah kesempatan pewujudan program kebijakan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) diSiosar adalah kawasan relokasi bagi tiga desa yang berada dalam radius terdekat dengan Gunung Sinabung, yang menurut penilaian otoritas lembaga pemerintah dalam bidang bahaya bencana kegunungapian harus ditutup secara permanen sebagai kawasan hunian.Â
Ketiga desa itu adalah Bekerah, Simacem dan Sukameriah. Rekomendasi relokasi ketiga desa ini tercetus pada tahun 2014.
Kebijakan relokasi dieksekusi menjadi sebuah tindakan konkret setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk memberikan izin pembebasan kawasan hutan produksi Siosar, yang termasuk wilayah Desa Kacinambun Kecamatan Tigapanah. Dijadikan lahan permukiman dan lahan pertanian bagi seribuan lebih warga dari ketiga desa tersebut.
Apa yang kami rasakan bersama dalam pemandangan bentang alam sepanjang jalan aspal hotmix yang terbilang keren ini adalah, bahwa Siosar adalah kepingan alam, karya Sang Pencipta yang menjanjikan secercah harapan yang akan berkembang bersama.
Harapan warga relokasi apabila dikelola dengan ramah lingkungan dan memperhatikan kesinambungan aspek-aspek sosial, budaya, dan religiusitas masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu hidup di sekitar Siosar.
Hamparan ladang pertanian warga yang ditanami kopi dan palawijaya, kebanyakan jagung, kebun jeruk, dan dukungan jalan tani yang telah dikeraskan adalah sebagian hal yang menunjukkan harapan itu.Â
Disamping itu, ada juga ternak-ternak yang merumput tenang di hamparan berlatar alam pegunungan dan hutan pinus dengan udara yang segar.
Selain itu juga, telah terlihat geliat potensi pariwisata dengan potensi unggulan sebagai kawasan resort yang menjual view cantik menyerupai pegunungan Alpen di Swiss, tentu saja tanpa salju.Â
Karena, kalau sekiranya ada salju, itu adalah alarm bahaya sebagai sebuah anomali di tengah berbagai keanehan gejala alam dewasa ini, sebagai akibat perilaku manusia yang tamak memenuhi kerongkongannya yang tak pernah terpuaskan.
Memasuki kawasan pemukiman Siosar, setelah menempuh jalan aspal berliku dan turun naik, kami disambut oleh simbol toleransi kerukunan masyarakat ketiga desa.Â
Pada hari itu, di balai pertemuan desa sedang berlangsung upacara adat pemakaman seorang warga yang meninggal dunia. Di samping balai itu didirikan sebuah masjid.
Istirahat sejenak di warung kopi di belakang balai desa, kami menikmati kopi tubruk. Entah, ini adalah kopi hasil tanaman warga, enak sekali. Melanjutkan perjalanan kembali pulang, kami memutari desa dan menemukan gereja oikumene, simbol kesatuan gereja.Â
Kami kembali menyusuri jalan saat kami pertama datang tadi pagi. Kali ini lebih banyak menurun, dan kami terdiam dalam lamunan pikiran masing-masing setelah sekitar dua jam berada di sana, dan tentu saja ditambah sedikit keletihan.
Rangkuman perasaan yang kami rajut dari pikiran masing-masing dalam kebisuan dan keletihan, barangkali bisa diuraikan dalam refleksi emosi sebagai berikut:
"Kualitas ketekunan, kesungguhan dan keyakinan justru teruji di saat ada masalah dan persolan, bukan di saat semua hal berjalan aman.
Masalah dan persolan yang membawa pertentangan lebih sering muncul justru dari lingkungan terdekat kita, antara anak dengan ibu bapa, menantu dengan mertua, bawahan dengan majikan, dan sebagainya.
Di saat itu datang, kita mungkin akan memilih diam sebagai jalan aman. Tetapi suara kebenaran yang membara di dalam nurani dan nalar akan selalu mencari jalan keluarnya untuk disuarakan. Ia menyingkapkan semua yang terselubung di dalam kegelapan dengan cahayanya yang terang.
Untuk itulah kita dipersiapkan. Dalam situasi tergelap sekalipun, terang akan tetap menemukan jalan pada waktunya.
Kata-kata yang dipilih dengan bijak sangat besar kuasanya, memberikan jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan."
Rumah Kabanjahe,Â
Minggu, 23 Juni 2019
Referensi:
Sahat P. Siburian & Deonal Sinaga, Kabar dari Tanah Karo Simalem, Kiprah GBKP Melayani Korban Bencana Letusan Gunung Sinabung, Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H