"Kalau seng yang berbentuk plat malah tidak laku sekarang," katanya.
"Kalau seng yang berlekuk-lekuk itu masih laku, Bang," tambahnya. Barangkali maksudnya adalah seng model multi roof yang umum dipakai orang membangun rumah saat ini. Barangkali bisnis barang bekas mengikuti trend selera zaman juga. Apa yang sudah ditinggalkan oleh zaman sama artinya dengan tidak akan menghasilkan pendapatan di pasaran, mungkin begitulah kira-kira maksud pak Ari.
Pak Ari menimbang barang-barang bekas yang sudah selesai dikemasnya ke dalam goni besar dengan timbangan gantung. "Tiga puluh dua kilo semua, Bang," katanya.
"Ini semua, uangnya cuma 65.000 rupiah," katanya lagi.
"Oke, Pak," kataku.
Aku cukup terkesan dengan cara dia mengemas, menimbang dan mengkalikan harga barang-barang yang sebenarnya sudah cukup terlantar itu. Tidak heran, karena pak Ari ini adalah seorang lulusan Diploma 1 Akuntansi dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Begitulah menurut pengakuannya. Jadi, hal-hal yang menyangkut pencatatan, pembukuan, neraca, pastilah sudah biasa buatnya.
Ari anaknya, memang hanya sampai tamat sekolah menengah kejuruan. "Dia yang tidak mau melanjutkan, Bang. Aku sebenarnya mau berusaha dan berjuang. Dia mau langsung kerja saja," kata pak Ari menjelaskan mengenai pilihan karir anaknya.
"Jadi, mau dibuat apa ini semua, Pak?" tanyaku.
"Oh, nanti kertas-kertas ini dilebur menjadi bubur kertas, yang plastik dilebur menjadi biji plastik, termasuk bahan-bahan ini juga akan diolah menjadi serbuk-serbuk yang menjadi bahan softboard dan partikel board, yang kalau sudah jadi akan dijual menjadi perabot-perabot yang cantik itu Bang," jawabnya.
"Oya, di mana itu diproses, Pak?" tanyaku.
"Di Belawan, Bang," jawabnya.
Begitulah dalam struktur hirarki kehidupan, termasuk dalam hirarki ekonomi. Siapa yang di atas mungkin akan selalu menikmati manfaat ekonomi terbesar. Tapi apakah yang di atas akan menjadi yang paling santai dalam hidup? Belum tentu.
Setidaknya saya menemukannya dalam sosok pak Ari. Entah karena ia telah kebal terhadap kerasnya hidup, sehingga merespons ironi kehidupan dengan begitu ringannya, atau ia tidak sadar bahwa sebenarnya ia telah berhasil mensyukuri kehidupan sebagai sebuah kenyataan yang terus mengalir dan karenanya harus dinikmati. Mungkin baginya cukup untuk menjalani saja, apa yang menanti di depan adalah sebuah misteri ilahi bagi semua orang.