Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Eskalasi Produksi Sampah Memaksa Lahirnya Gaya Hidup yang Lebih Fungsional

16 Juni 2019   13:57 Diperbarui: 20 Juni 2019   18:41 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mengubur sampah organik di antara tanaman bunga, menjadikannya pupuk untuk tanaman (dok.pri)

Saya masih sangat ingat, pepatah yang diajarkan Bapak/ Ibu guru di sekolah sejak Sekolah Dasar hampir 30 tahun yang lalu, kata mereka, "Kebersihan adalah sebagian dari iman." 

Hari ini, setelah 30 tahun berlalu sejak saat itu, aku medapatkan kenyataan bahwa mungkin tidak kurang dari jutaan atau mungkin belasan juta murid-murid sekolah dasar seangkatanku, yang kini juga sudah memiliki anak-anak yang sebagian besar sedang duduk di bangku sekolah dasar, bahkan ada teman yang anaknya sudah SMA karena langsung menikah setelah tamat SMA dulu. Namun, apa yang terjadi.

Mungkinkah kami tidak beriman? Atau pepatah yang diajarkan Bapak/ Ibu guru dulu hanya pepesan kosong, yang mereka sendiri sebenarnya tidak terlalu serius menyampaikannya sebagai sebuah pengajaran? Kalau ternyata jutaan atau bahkan belasan juta muridnya belum mampu mewarnai budaya menyampah yang kelihatannya adalah jenis iman yang lebih banyak pemeluknya? Mari kita gali sebagian faktanya.

Tuhan Sudah Berhenti Menciptakan Ruang Hidup (Lahan) 
Orang-orang tua kami di kampung ini (Kabanjahe) sering mengajarkan kepada anak-anaknya, "Tuhan nggo ngadi nepa taneh, tapi jelma lalap reh teremna." Kalau di-Bahasa Indonesia-kan kira-kira maknanya bahwa Tuhan sudah berhenti menciptakan tanah (daratan), tapi manusia sedang dan akan selalu bertambah banyak.

Sederhana memang, tapi dari pengajaran ini para orang tua sebenarnya hendak menyadarkan anaknya bahwa tantangan hidup saat ini dan kedepannya akan semakin bertambah kompleks, oleh karena itu anak-anaknya harus memiliki kesadaran dan kesiapan untuk mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang akan mengiringinya.

Bukan sebuah hal yang baru, bahwa banyak konflik di berbagai tempat di dunia dipicu oleh masalah teritorial, masalah agraria, masalah keterbatasan spasial. Sementara itu, di saat yang sama, tingkat pertumbuhan penduduk di dunia secara agregat menunjukkan tren yang masih akan selalu meningkat.

Selain membutuhkan tempat, manusia juga membutuhkan makanan untuk hidup. Manusia yang makan, sudah pasti juga akan menghasilkan sampah dalam hidupnya. 

Manusia dan kemanusiaan yang membutuhkan ruang hidup, sudah pasti juga membutuhkan ruang untuk sampah-sampah yang dihasilkannya. Padahal faktanya, Tuhan sudah berhenti menciptakan ruang hidup (lahan). Maka patut dikhawatirkan, bahwa manusia dan sampah yang tidak berhenti bertumbuh adalah salah satu potensi pemicu konflik kehidupan dewasa ini.

Sudah sangat sering kita dengar, sesama tetangga di sebuah kompleks perumahan berkelahi hanya gara-gara sampah masing-masing. Hewan-hewan peliharaan ikut terlibat dalam hal ini. 

Misalnya saja anjing peliharaan yang kurang dididik dan diperhatikan hingga mencari makan ke tempat sampah tetangga, dan karenanya ikut menyeret diapers atau pampers anak bayi tetangga karena anjing mengira itu adalah jenis makanan cepat saji, sebagaimana tuannya juga sangat menyukai makanan jenis ini. Atau warga dua daerah yang menjadi bermusuhan, karena satu tidak terima karena daerah tempat tinggalnya dijadikan tujuan ekspor sampah, dimana lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah ada di kotanya.

Tak jarang ada kabar bahwa truk-truk pengangkut sampah ke TPA dihadang oleh massa warga yang marah bersenjata kayu, batu-batu dan benda lainnya dan mengancam supir-supir yang mengangkutnya. Belum lagi warga sebuah negara yang mengajukan petisi mendorong pemerintah negaranya bertindak tegas atau kalau perlu menghentikan hubungan diplomatik karena negaranya dijadikan tujuan pemasaran sampah dari negara lain.

(Baca: Menteri LHK Tegaskan Indonesia Akan Kirim Balik Sampah Plastik Impor, news.detik.com (Senin, 10/06/2019), Indonesia kirim balik sampah impor negara maju, (Kamis, 13/06/2019).

Atau kabar berita tentang hewan-hewan di laut yang didapatkan mati terdampar dan di perutnya ditemukan berkilo-kilo sampah secara tidak masuk akal, dan berpotensi membawanya ke ambang kepunahan oleh karena sampah-sampah tak bertuan yang terombang-ambing di lautan dan menjadi jenis bahan makanan baru yang tidak pernah mereka (hewan-hewan itu) minta.

Atau berita yang paling sering muncul di televisi atau surat kabar pada musim hujan, dimana terjadi banjir dan ditengarai salah satu penyebabnya adalah saluran drainase yang buruk dan tertutup oleh sampah-sampah.

Warga negara asing yang juga pemerhati lingkungan memungut sampah dalam gerakan bersih pantai dan laut memperingati International Coastal Cleanup 2019 di Pantai Mertasari, Denpasar, Bali, Jumat (10/5/2019). | Nyoman Hendra Wibowo /AntaraFoto
Warga negara asing yang juga pemerhati lingkungan memungut sampah dalam gerakan bersih pantai dan laut memperingati International Coastal Cleanup 2019 di Pantai Mertasari, Denpasar, Bali, Jumat (10/5/2019). | Nyoman Hendra Wibowo /AntaraFoto
Semua hal itu tidak terlepas dari telah berhentinya Tuhan mencipta daratan, sementara manusia dan sampahnya masih terus bertumbuh. Kalaupun manusia modern mampu menciptakan daratan baru, katakanlah dengan teknologi reklamasi, itupun tidak terlepas dari permasalahan lingkungan yang turut mendampinginya.

Tidak mungkin sebuah ekosistem alami tidak terganggu, manakala ada unsur buatan hadir di sebuah tempat bukan atas kehendak alam. Atau ada juga sampah-sampah yang disuplai oleh aliran-aliran sungai yang bermuara ke laut, terombang-ambing dan akhirnya membentuk sebuah pulau plastik di sebuah tempat entah di mana di tengah lautan. Itu sudah pasti akan menimbulkan sebuah masalah baru.

Semua itu, apakah pantas disandingkan dengan fakta tentang ukuran tingkat keimanan manusia? Barangkali, meminta ampun dan maaf saja tidak akan cukup, tanpa sebuah kesadaran dan tindakan untuk mengatasinya, masalah sampah ini. Manusia agamis tidak akan berarti apa-apa bila ia masih suka membuang sampah sembarangan.

Kapitalisme dan Gaya Hidup Leisure Class yang Mengancam Kesinambungan Alam
Dalam komunitas global masyarakat ekonomi, dimana hampir semua hal bisa dibeli dengan uang, memang ada satu hal yang "positif" di dalamnya. Manusia modern menjadi lebih rajin, ekonomis tapi juga praktis.

Termasuk dengan perasaan dan pikirannya. Padahal, bukankah ekonomis dalam perasaan dan pikiran adalah musuh kemanusiaan yang hakiki? Ekonomis dalam artian irit atau hemat merasa dan berpikir membuat manusia modern sebagian besarnya menjadi lebih memilih jalan pintas dalam memudahkan hidupnya, di sebuah lingkungan yang bergerak serba cepat dan serba tidak pasti.

Kata manusia-manusia modern, "Jangankan uang halal, uang harampun sekarang susah untuk dicari." Atau di kesempatan lainnya, ada juga yang mengatakan, "Tidak zamannya lagi berpikir bahwa orang sabar dikasihani Tuhan. Sekarang orang sabar akan diinjak-injak." Dengan kata lain, persolan-persoalan praktis telah mengalahkan hal-hal yang etis di zaman ini.

Untuk semua hal, manusia modern saat ini sudah langsung mampu membuat kesimpulan konformis membela tindakannya. Ia mencuci tangan katanya "Apa boleh buat, saya harus begitu karena situasinya dilematis." Dan ajaibnya, mungkin akan didapatkan kenyataan bahwa lebih banyak orang yang bisa memaklumi pendapat yang demikian adanya.

Bukankah, ada juga diajarkan bahwa "Jangan membenarkan sebuah kebiasaan, tapi biasakanlah melakukan sesuatu yang benar?" Itu adalah sebuah kesadaran ras manusia yang paham betul bahwa sesuatu yang salah pun kalau sudah dilakukan berulang-ulang, akan menjadi kebiasaan, menjadi budaya dan karakter, diterima secara umum dan bisa saja akhirnya dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja atau jangan-jangan menjadi dibenarkan. Apa itu? Lagi-lagi soal kebiasaan membuang sampah sembarangan.

Tidak ada yang salah dengan kapitalisme. Apa yang membedakan kapitalisme dan sosialisme, kalau kata Ben Dupre, teoretikawan gagasan-gagasan besar umat manusia itu, bahwa bukan karena kebenaran dan dosa-dosa dalam ajaran itu yang membuat salah satu antara kapitalisme dan sosialisme menjadi lebih diterima oleh warga sebuah negara, atau yang membuat kapitalisme mampu mengalahkan sosialisme.

Karena pada dasarnya, prinsip yang ada di sosialisme pun ada juga di dalam kapitalisme. Yang menentukan lestari atau tidaknya kedua paham ini hanyalah sejauh mana ajarannya mampu beradaptasi dengan kecenderungan perkembangan tuntutan manusia dan menjawab kebutuhannya.

Manusia yang semakin bertambah banyak, menghadirkan tuntutan kebutuhan yang semakin banyak pula, dan oleh karenanya persaingan menjadi semakin tidak terelakkan, karena sumber-sumber daya menjadi semakin terbatas untuk diperebutkan. Tidak ada jalan lain bagi manusia untuk bertahan, apalagi untuk menjadi yang terdepan, selain berinovasi, mengasah diri, dan cermat melakukan kalkulasi-kalkulasi.

Oleh karena itu, dalam jenis masyarakat yang demikian, menjadi dapat dipahami kenapa kelihatannya apa pun bisa dibeli asalkan ada uang yang cukup. Bagi yang kaya dan kelebihan uang, hidup menjadi tinggal dinikmati, apa saja.

Bila ditelisik, sebenarnya gaya hidup yang serba mudah, serba nikmat, dan serba cepat itu, turut memproduksi sampah-sampah dengan demikian mudah dan cepatnya. Entahlah, apakah sampah-sampah itu bisa dikatakan menjadikan hidup nikmat. Karena kalau begitu adalah sangat ironis sekali.

Di permukaan, segala berkah kemajuan zaman melalui perkembangan teknologi mungkin akan menunjukkan halaman depan yang sangat hijau, rindang, indah dan sangat manusiawi. Tapi pernahkah kita dengan penuh rasa ingin tahu, untuk sesaat saja melongok ke halaman belakang, jangan-jangan untuk menghadirkan keindahan yang di depan, sampah-sampah telah menumpuk di belakang? Apa yang tidak mudah untuk diolah, cukup disembunyikan.

Begitulah kira-kira jalan berpikir praktis. Dengan uang yang cukup, apa yang tidak lagi berfungsi optimal cukup dibuang saja, karena untuk memperbaikinya mungkin lebih mahal, mahal segi harga, mahal segi waktu. Begitulah kira-kira jalan berpikir ekonomis. Apa yang buruk biarlah di mana saja tempatnya, asalkan jangan di halaman saya. Begitulah kira-kira jalan berpikir egois.

Apa yang praktis, yang ekonomis memang bisa menjadikan manusia menjadi egois. Mungkin kita ingat juga pepatah bijak yang mengatakan, "Bumi mampu mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan seorang manusia." Jadi, jelaslah patut diperhitungkan, bahwa sampah yang dibuang sembarangan bisa dikatakan sebagai salah satu penanda manusia modern yang egois. Sekalipun ia mengklaim diri sebagai orang yang serba praktis dan ekonomis.

Manusia Perlu Untuk Hidup Lebih Fungsional
Kita akan menghindari perdebatan soal hal-hal yang agamis, teori-teori menyangkut hal mana yang paling praktis dan ekonomis untuk menjauhkan pertikaian di antara kita. Setidaknya, kesinambungan kehidupan kita manusia bersama dengan alam lingkungan hidup sebagai sebuah kesatuan, adalah titik temu yang menjadi kepentingan kita bersama.

Mungkin tidak ada di antara kita yang tidak menginginkan hidup dengan umur yang panjang di tengah alam lingkungan hidup yang sehat dan lestari. Kalaupun ada, itu adalah sebuah pengecualian dan kekhususan. Manusia jenis itu adalah manusia dengan "kemampuan khusus," kemampuan dialektika khusus di mana otaknya penuh dengan ketegangan-ketegangan spontan, sehingga selalu menuntut adanya perubahan mendadak.

Tidak heran, jenis manusia yang ini sanggup membunuh makhluk hidup lainnya, atau membunuh manusia lainnya, atau bahkan membunuh dirinya sendiri dengan ketegangan spontan dan perubahan-perubahan mendadak dalam pikiran dan perasaannya. Tidak, kita tidak membincangkan jenis yang itu.

Jadi, apa saja yang bisa kita lakukan, kalau Tuhan sudah berhenti menciptakan ruang (tempat) hidup,  sementara manusia semakin berlomba menyenang-nyenangkan dirinya sekalipun oleh karena itu sampahpun semakin banyak dibuang sembarangan dan mengancam kehidupan kita?

Ya, saya dengan egois akan menyatakan pendapat pribadi untuk menghindari pertikaian pendapat dalam debat. Sudah terlalu banyak perdebatan tentang lingkungan, tapi minim tindakan. Dulu, 30 tahun yang lalu pun saya sudah diajarkan dan itu sudah menjadi bahan diskusi anak-anak sekolah dasar, nun jauh di sebuah kampung di kaki gunung, yang faktanya sekarang pekarangannya sudah penuh dengan sampah-sampah plastik.

(dok.pri) | Sampah-sampah yang berserakan dibuang secara sembarangan, sekalipun sudah disediakan tempat sampah. Kesadaran yang kurang di tengah kinerja pengelolaan sampah yang juga penuh keterbatasan
(dok.pri) | Sampah-sampah yang berserakan dibuang secara sembarangan, sekalipun sudah disediakan tempat sampah. Kesadaran yang kurang di tengah kinerja pengelolaan sampah yang juga penuh keterbatasan
Apa yang sudah, sedang dan akan saya lakukan adalah sesuatu yang terkait dengan kepentingan saya sendiri, karena saya masih mau hidup.

Hidup sambil menikmati kesegaran alam dengan istri, anak-anak, teman-teman dan handai taulan, jauh dari drainase yang tersumbat oleh sampah-sampah plastik, dan pertikaian karena sikap ingin mudah sendiri sekalipun menyusahkan bagi orang lain. Manusia perlu untuk hidup lebih fungsional terkait pengelolaan sampah. Apa yang bisa saya buat?

Saya tidak dalam kapasitas untuk menunjukkan gambaran tindakan terkait sampah itu dalam kaitannya dengan ukuran iman. Bagi saya cukup, orang-orang beriman seharusnya mampu membuang sampah tidak sembarangan.

Hari ini saya menggali drainase meskipun bukan jadwal gotong royong warga lingkungan. Kenapa? Karena saluran pembuangan di depan rumah saya mampet, dan saya tidak mungkin menunggu lebih lama jadwal gotong royong warga lingkungan untuk mengorek endapan di saluran air di depan rumah saya sendiri. 

Kalau perlu, karena saya memang sedang mengorek drainase, saya akan korek hingga drainase-drainase di depan rumah-rumah tetangga sepanjang terjangkau dan semampu saya. Kenapa? Sekalipun drainase saya bersih, bila dihilir tersumbat, air akan tetap tergenang di depan rumah saya.

mandiri membersihkan drainase (dok.pri)
mandiri membersihkan drainase (dok.pri)
Saya menyapu halaman samping rumah tetangga saya. Ya, saya bisa menjadi baik karena tetangga saya juga baik. Itu sudah biasa. Saya perlu menjadi tidak biasa karena saya keberatan bila saya harus bertikai dengan tetangga hanya karena sampah di halamannya terbawa oleh angin ke halaman saya. Dari pada saya menunggu dia sempat untuk menyapunya, lebih baik saya yang sedang ada waktu luang, memunguti sampah-sampah itu sekalian. Toh kalau angin datang, nanti pun sampah itu akan terbawa ke halaman saya yang sudah disapu.

Saya sering mengeluh karena truk pengangkut sampah tidak pasti kapan jadwalnya datang mengangkut sampah kemari. Mungkin mereka pun penuh keterbatasan.

Apa yang saya lakukan? Hari ini, saya memisahkan sampah-sampah organik dari sisa-sisa makanan dan kulit buah serta sayuran dari sampah-sampah non organik sebelum dibuang ke tempat penampungan sampah yang tidak tentu jadwalnya kapan akan diangkut itu. Kenapa? Apakah saya orang yang sangat rajin? Bukan. Karena sampah organik dan non organik yang bercampur akan menyebabkan bau tak sedap yang sangat mengganggu. Jangankan bagi saya yang dekat dengan tempat sampah itu, bagi orang-orang yang melintaspun saya sudah turut menyiksa mereka.

Bersama seorang petugas kebersihan pada suatu pagi di Jl. Boulevard-Manado (16/03/2019), (dok.pri)
Bersama seorang petugas kebersihan pada suatu pagi di Jl. Boulevard-Manado (16/03/2019), (dok.pri)
Petugas kebersihan sedang menyapu jalan pada suatu subuh di sekitar jalan menuju Pantai Kuta-Bali (03/2018), (dok.pri)
Petugas kebersihan sedang menyapu jalan pada suatu subuh di sekitar jalan menuju Pantai Kuta-Bali (03/2018), (dok.pri)
Petugas Kebersihan sedang memindahkan sampah untuk dibuang ke TPA di Depo Transfer DLH Kab. Karo (foto: A. Gurusinga)
Petugas Kebersihan sedang memindahkan sampah untuk dibuang ke TPA di Depo Transfer DLH Kab. Karo (foto: A. Gurusinga)
Sampah-sampah organik sisa makanan, kulit buah dan sayuran itu tinggal dikuburkan di halaman (kalau ada). Kalau tidak simpan diember tertutup, manakala ada orang yang butuh pakan ternak peliharaan atau tukang angkut sampah datang liwat di depan rumah, saya tinggal serahkan dengan aman. 

Kalau ada halaman yang cukup untuk menguburnya, itu adalah makanan bagi bumi menggangtikan hara yang telah disedot habis-habisan tanpa perlawanan. Makanan bagi bunga-bunga dan rumput yang tumbuh di halaman. Bahkan, sampah organik yang telah membusuk menjadi humus, adalah makanan yang cukup untuk memelihara sayur-sayuran, buah-buahan. Bukankah itu praktis dan ekonomis juga?

mengubur sampah organik di antara tanaman bunga, menjadikannya pupuk untuk tanaman (dok.pri)
mengubur sampah organik di antara tanaman bunga, menjadikannya pupuk untuk tanaman (dok.pri)
Kalau berbicara tentang iman, bukankah segala iman mengajarkan tentang hidup saling mengasihi? Bukankah orang yang sanggup menyapu halaman tetangga, mengorek drainase bukan di jadwal gotong royong, mengubur sampah organik sendiri tidak saja untuk menjadi pupuk bagi tanamannya, tapi juga supaya anjing-anjing tetangga tidak mengais-ngais kemudian menyeret-nyeretnya ke sana kemari hingga mengotori halaman sejauh perjalanan, adalah bentuk mengasihi orang lain selain diri sendiri?.

Saya tidak dalam kapasitas untuk menunjukkan gambaran tindakan terkait sampah itu dalam kaitannya dengan ukuran iman. Bagi saya cukup, orang-orang beriman seharusnya mampu membuang sampah tidak sembarangan. 

Semoga saja saya tidak egois, karena menuliskan artikel ini dengan harapan agar dibaca, dan setelahnya semakin banyak orang yang semakin peduli dengan bahaya membuang sampah sembarangan. Karena kalau masing-masing orang sudah mengendalikan sampahnya sendiri meskipun secara egois, pada akhirnya semua orang akan bersama-sama menikmati sebuah alam, ruang hidup dan lingkungan yang lestari berkelanjutan.

Sekalipun bila Tuhan mungkin sudah berhenti menciptakan ruang hidup. Apa yang ada, itu sajalah dimanfaatkan, yang penting semua berfungsi seoptimal mungkin, di tengah sumber daya yang semakin terbatas dan manusia yang bertambah banyak.

Salam sampah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun