Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Apokaliptik Ibu Bumi dalam Sinabung, Bumi Mungkin Bertahan tapi Tanpa Kita

10 Juni 2019   00:03 Diperbarui: 10 Juni 2019   02:12 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelepasan Abu Vulkanik dalam bentuk menyerupai sosok yang berdoa pada peristiwa erupsi Gunung Sinabung, 18 November 2013 (foto dari Kabanjahe, lk 16 km dari Sinabung, dokpri)

Arti kata Erupsi menurut KBBI dalam bidang geologi adalah letusan gunung api, atau semburan sumber minyak dan uap panas. Sementara itu, dalam bidang kedokteran, erupsi diartikan kelainan pada kulit yang timbul secara cepat dan mendadak.

Dalam pemahaman keseharian kami, apa yang kami pahami sebagai erupsi, sejak pertama kali Gunung Sinabung dikatakan erupsi pada tahun 2010 yang lalu, sebagaimana yang tampak adalah peristiwa pelepasan magma, gas, abu (utamanya), dan material lainnya ke atmosfer atau ke permukaan bumi.

Dari laman wikipedia dijelaskan, bahwa Gunung Sinabung (bahasa Karo: Deleng Sinabung) adalah gunung api di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, Indonesia. Sinabung bersama Gunung Sibayak di dekatnya adalah dua gunung berapi aktif di Sumatera Utara dan menjadi puncak tertinggi ke 2 di provinsi ini. Ketinggian gunung ini adalah 2.451 meter.

Gunung ini tidak pernah tercatat meletus sejak tahun 1600, tetapi mendadak aktif kembali dengan meletus pada 27 Agustus 2010. Sejak itu gunung ini dinyatakan sebagai gunung berapi aktif tipe A dan berada dalam status awas (level IV), sebuah status yang menyatakan potensi ancaman kebahayaan level tertinggi.

Meskipun statusnya sempat dinyatakan turun menjadi siaga (level III) pada 2011 yang lalu, tapi karena adanya peningkatan aktivitas kendati fluktuatif, maka setidaknya sejak tanggal 24 November 2013 status awas Sinabung tidak pernah diturunkan lagi hingga bulan Mei 2019.

Kebijakan menetapkan status awas yang berkepanjangan ini mungkin tidak terlepas dari peristiwa pada Januari 2014, dimana 14 orang ditemukan tewas dan 3 orang luka-luka terkena luncuran awan panas, ketika sedang mendatangi Desa Suka Meriah, Kecamatan Payung yang berada dalam zona bahaya.

Sudah sekian lama hingga bulan Mei 2019, aktivitas Gunung Sinabung memang terlihat sangat normal dan aman bagi segala aktivitas di sekitarnya. Kami hanya merujuk ke penampakan visual bahwa memang sekian lama itu tidak ada tampak peristiwa pelepasan magma, gas, atau abu, dan material lainnya ke atmosfer atau ke permukaan bumi dalam skala yang besar dan membahayakan.

Pada tanggal 20 Mei 2019, pukul 10:00 wib, status Gunung Sinabung diturunkan dari Status Awas (level IV) jadi Siaga (Level III). Hal ini dijelaskan melalui surat Kepala Pusat Vulkanologi Nomor 948/45/BGL.V/2019 tanggal 20 Mei 2019.

Namun, pada sekitar pukul 16:28 wib, hari Minggu, 9 Juni 2019, Gunung Sinabung kembali erupsi dalam statusnya yang telah diturunkan, cukup besar. Kami menyaksikannya saat sedang nyekar, ziarah ke makam leluhur.

Gunung Sinabung kembali erupsi, Minggu, 9 Juni 2019 (foto dari Kuburan Umum Desa Rumah Kabanjahe saat ziarah, dokpri)
Gunung Sinabung kembali erupsi, Minggu, 9 Juni 2019 (foto dari Kuburan Umum Desa Rumah Kabanjahe saat ziarah, dokpri)
Psikosomatis dalam Bencana Erupsi

Erupsi Gunung Sinabung juga mengenalkan kami, masyarakat Kabupaten Karo pada umumnya, dan warga dari desa-desa sekitar ring of fire Gunung Sinabung pada khususnya, yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung, kepada satu istilah lainnya yakni, psikosomatis.

Dalam bidang psikologi, psikosomatis atau penyakit "fungsional," merupakan kondisi yang menyebabkan rasa sakit dan masalah pada fungsi tubuh, walaupun tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang seperti Rontgen atau tes darah.

Sudah lumrah diketahui, kalau orang yang dilanda stress, baik oleh karena menjadi korban, maupun sebagai pengurus para korban yang sudah kelimpungan, akan merasakan adanya pengaruh pikiran yang berat terhadap kondisi fisik hingga menjadi terasa kurang sehat. Padahal, pemeriksaan medis tidak menemukan adanya gangguan kesehatan fungsi fisik.

Dari www.alodokter.com, dijelaskan bahwa psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi bertambah parah. Istilah gangguan psikosomatis digunakan untuk menyatakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor psikis atau mental, seperti stres dan rasa cemas.

Sebagai pribadi, sadar atau tidak, saya sendiri sebagai penduduk daerah setempat, mungkin sudah dan sedang mengalaminya. Jejak digital perasaan yang terrekam dalam fungsi memori media sosial, memudahkan siapa saja yang punya kepentingan dengan itu untuk melakukan review atasnya. Segala hal yang terkait dengan peristiwa dan bencana alampun sudah tidak terlepas dari pengaruh pola pikir manusia yang serba foto, unggah, share.

Kalau erupsi pertamanya yang mulai tercatat adalah pada tanggal 27 Agustus 2010, merupakan bulan kemerdekaan Republik Indonesia, dan penurunan statusnya dari awas ke siaga pada 20 Mei 2019 yang lalu bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, maka erupsi pada 9 Juni 2019 hari ini bertepatan dengan hari raya pentakosta, hari turunnya roh kudus, masih dalam suasana lebaran idul fitri 1440 H.

Untuk saya pribadi, sejak erupsi pertama Gunung Sinabung hingga peristiwa erupsi hari ini, setidaknya telah tercatat melakukan sebanyak 9 kali posting-an maupun repost atas posting-an lainnya terkait dengan erupsi Gunung Sinabung di media sosial, yang ditemukan saat pencarian menggunakan kata kunci erupsi. Penyajian berikut hanya sebagai contoh bagaimana sebuah ungkapan di media sosial entah sadar atau tidak, tapi pasti dengan sengaja, merupakan ekspresi kondisi psikologis seseorang.

  1. Minggu, 10 November 2013: "Serpihan mozaik kejadian hidup bertebaran entah kemana saja, suasana lain kebaktian minggu hari ini di GBKP Payung bersama jemaat setempat dan pengungsi dari desa Sukameriah, biasa kebaktian diawali bunyi lonceng, kali ini sebelum votum dan introitus diawali gemuruh erupsi gunung sinabung tiga kali, khotbah dibawakan oleh vicaris asal tana toraja yg selama 1 thn 11 bln 5 hari sudah melayani tanah karo di kuta male"
  2. Minggu, 10 November 2013: "Erupsi sinabung yg ke-5 kali hari ini, pkl 15.58 wib, view dari puncak kacinambun"
  3. Kamis, 14 November 2013: "Breaking News, Siaga Sinabung, erupsi G. Sinabung, 13 November 2013, Pkl. 16:59 WIB, asap/material letusan tdk teramati tertutup kabut, lama erupsi 179 detik. Arah angin ke timur. Data: PVMBG . Hari ini erupsi
  4. Rabu, 4 Desember 2013: "Sisi lain hari ini: "perkede la megogo kapna si meriahna, si reh ku kede sibuk ncakapken interpelasi, politik transaksi, erupsi, pengungsi, ia terus ngelai kopi, la eteh tah pindo nge tah lang, rehen lalap kopi", can e nina" (Dalam bahasa Karo). Terjemahan dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih: "Sisi lain hari ini: "Pemilik kedai yang paling bersuka cita, orang-orang yang datang ke kedai sibuk membahas masalah interpelasi, politik transaksi, erupsi, pengungsi, ia terus saja melayani pemesan kopi, entah diminta atau tidak, kopi terus saja tersaji, uang masuk katanya"
  5. Kamis, 23 Januari 2014: "Kebaikan-kebaikan yg tidak disengaja yg terjadi setiap hari bisa mengubahkan dunia, tetapi ketidakpedulian terhadap sekitar kita adalah tsunami dan erupsi yg sebenarnya. Memakaikan hikmat dengan kerendahan hati, akan menjauhkan keegoisan dan niat saling membenarkan diri yg berujung perpecahan dan kekacau-balauan #We need to avoid Babylon's Tower Effect happend now adays, when human think their knowledge is everything"
  6. Minggu, 8 Juni 2014: "Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. ...Berdoalah terus untuk kami; sebab kami yakin, bahwa hati nurani kami adalah baik, karena di dalam segala hal kami menginginkan sesuatu hidup yang baik (Ibrani 13:17-18).
  7. Sabtu, 3 Januari 2015: "Erupsi yg ke 2 kali pagi ini"
  8. Senin, 19 Februari 2018: "Menurut Bronislaw Malinowski, seorang Antropolog dan etnograf lapangan berkebangsaan Polandia (1884-1942), bahwa keyakinan masyarakat memiliki nilai biologis yg memajukan perilaku mental praktis. Nampak dari adat istiadat, tradisi, ritual, seremoni dan praktek-praktek kehidupan dengan nilai keluaran yg terasa abstrak dan terkadang terasa tak masuk akal, sehingga pihak luar dengan konsepsi nilai hidup yang berbeda dengan pihak yg diamatinya menjadi bingung utk memilih antara tertawa atau menangis melihat kenyataannya. Namun demikian, konsepsi sistem masyarakat tersebut layak dipandang secara fungsional sbg suatu tradisi sesuai konteks nya secara lengkap menurut batasan tertentu yg dilaksanakan bagi kepentingan para anggota komunitas tsb. Abstraksi kemungkinan akan menjadi zona ambang, dimana berbagai bidang pemikiran, bidang keilmuan atau bahkan keyakinan-keyakinan saling berinteraksi satu sama lain, dan interaksi dari berbagai perbedaan itulah yg membuat berbagai pertanyaan dan topik-topik menarik dapat muncul. Kuncinya hanya satu, bila setiap pihak dapat memperluas cakrawalanya untuk dapat memberi tempat bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru sekalipun kadang bertentangan dengan sesuatu yg pernah diyakininya. Karena justru pertentangan dan ketegangan yg muncul sebagai suatu kondisi kritis yg mampu dikelola justru akan memperkuat dan memperkaya keyakinan awalnya....Hari ini, upacara hari kesadaran nasional.... sesuatu yg abstrak tapi bisa menjadi tempat interaksi dari berbagai hal, syukur kalau bisa melahirkan pertanyaan dan topik yg menarik untuk bisa semakin kritis menyikapi situasi.... #Sinabung menyapa dengan dahsyat hari ini, lebih besar dari yg pernah sebelumnya dengan sebuah konsepsi fenomenologis dan hermeneutis... mungkin maksud-Nya utk semakin menggeser pemikiran kita dari etik ke emik, tidak sekedar struktur tp beralih ke makna.... Selamat Pagi,,,"

Tulisan ini merupakan posting-an yang kesembilan kalinya. Kedelapan posting-an dan repost tulisan di atas disajikan sebagaimana adanya di wall akun facebook pribadi, baik tanda baca maupun ejaan tulisannya tidak diperbaiki sebagaimana adanya dan diberi tanda kutip awal dan akhir.

Barangkali, sesuai dengan waktu kejadian sebuah peristiwa, penulis juga mengkaitkan peristiwa lain yang terjadi di masa lalu pada tanggal yang sama, untuk memberi makna sesuai pikiran dan perasaannya sendiri dalam memandang apa yang terjadi.

Bumi Mungkin Bertahan, tapi Tanpa Kita (Apokaliptik dalam Gaia) 

Dalam dunia sastra, realisme sosial melukiskan peristiwa yang dilihat dan dirasakan apa adanya, tanpa ada upaya untuk memoles dan menafsirkan demi memberi makna sebuah peristiwa.

Namun, dalam memaknai bencana alam, manusia sering menggunakan bahasa lisan dan tulisannya, yang merupakan alat kesusastraan manusia untuk mengubah dan menggabungkan dua keadaan yang tampaknya kontradiktif dari mimpi dan realitas menjadi sebuah jenis realitas absolut, super realitas, atau surealitas.

Entahlah, apakah etis untuk mengatakan bahwa pemaknaan seperti itu cocok dikatakan sebagai sebuah seni kebencanaan. Barangkali, tidak menjadi masalah sepanjang tetap menjaga maksudnya untuk menghasilkan sebuah ungkapan perasaan yang indah dan baik isinya, sehingga dapat meningkatkan budi pekerti manusia, sekalipun itu adalah sebuah peristiwa bencana alam.

Yang jelas, semua kesenian, termasuk kalau bisa mengatakan bahwa penyajian peristiwa bencana alam sebagai sebuah seni kebencanaan, di media sosial telah mengambil tempat tersendiri di samping dampaknya di dunia nyata. Pembacalah yang berkepentingan untuk mengambil makna sebuah peristiwa sesuai maksud dan tujuannya sendiri.

Gambaran dari James Lovelock dalam publikasinya yang diterbitkan pada tahun 1979, berjudul Gaia: A New Look at Life on Earth, menjelaskan tentang sebuah Apocalypse segera.

Menurutnya suasana abad ke-21 telah berkembang secara menyolok menjadi lebih apokaliptik dari petualangan-petualangan dia sebelumnya. Dalam pers dia sering digambarkan sebagai nabi Yeremia masa kini atau nabi malapetaka.

Teori Gaia, dengan gagasan inti tentang pencarian akan Ibu Bumi, secara inheren bersifat holistik, menegaskan bahwa sistem sebagai suatu keseluruhan jauh lebih signifikan daripada bagian-bagian pokoknya.

Sehingga, bukan hal yang mengejutkan mendengar Lovelock mendeskripsikan manusia "hanya sebagai spesies yang lain, bukan sebagai pemilik ataupun pengurus planet ini."

Dalam karyanya yang paling baru, dia menganjurkan bahwa Homo sapiens telah menjadi infeksi bumi. Manusia telah membuat Gaia, Ibu Bumi, menderita demam dan segera kondisinya akan memburuk hingga keadaan seperti koma. Gaia sudah di sana sebelumnya dan sembuh, tapi itu membutuhkan lebih dari 100.000 tahun. Kita, manusia, bertanggung jawab dan akan menanggung konsekuensi-konsekuensinya. Implikasinya menurut Lovelock, adalah bahwa Bumi mungkin bertahan, betapapun buruk kita memperlakukannya, tetapi keberlangsungan itu tidak harus mencakup diri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun