Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pertikaian Sesama Saudara adalah Lakon Sandiwara yang Tidak Lucu

12 Mei 2019   15:15 Diperbarui: 12 Mei 2019   15:26 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://i.pinimg.com

Hidup pada sebuah periode masa di mana satu kaki menjejak pada zaman Renaisans dan satu kaki lagi pada zaman Barok, Shakespeare menulis cerita penuh dengan kalimat mengenai kehidupan sebagai panggung sandiwara.

Dalam Macbeth, dia mengatakan, "Hidup ini hanyalah bayangan yang berjalan. Seorang aktor yang gagal melagak, merepet di atas panggung. Kemudian tidak terdengar lagi. Hidup adalah kisah yang dituturkan oleh seorang bodoh, penuh bising dan kemarahan."

Dalam berbagai pengertian, periode Barok ditandai oleh kepalsuan, sikap yang dibuat-buat. Tapi juga pada saat yang sama banyak orang yang sangat gandrung dengan sisi lain zaman itu, yakni hakikat kesementaraan dari segala sesuatu. Kenyataannya, bahwa seluruh keindahan yang mengelilingi hidup suatu hari akan musnah. Shakespeare juga menuliskan sesuatu yang diucapkan oleh Hamlet, "Suatu hari kita berjalan-jalan di atas bumi, lalu pada hari berikutnya kita mati dan hilang."

Sandiwara yang berlangsung dalam hakikat kesementaraan segala sesuatu yang ada di dunia, secara bergantian menunjukkan dua sisi manusia yang datang dan pergi silih berganti. Di satu sisi, manusia optimis dengan semangat meluap-luap. Ia merasa bahwa kesempatan harus selalu direbut, hari ini atau tidak sama sekali, carpe diem. Di sisi yang lain, manusia pesimis dalam kemurungan. Ia merasa bahwa semua yang ada hanyalah sia-sia mengingat hari kematiannya, memento mori. Manusia menjalani kehidupannya yang sementara dalam rentang rasa optimis merebut hari ini dan pesimisme mengingat hari kematian.

Tidak ada yang salah dengan menjadi optimis atau pesimis. Kedua-duanya adalah realitas sisi-sisi humanis manusia. Tapi hal inipun bukan tanpa potensi menimbulkan kesalahan dalam sebuah dunia yang menjadi panggung sandiwara.

Manusia sering merasa bahwa perjalanan hidup seharusnya cukup memberikan kepadanya pemahaman akan sebuah makna hidup, tapi sebaliknya dunia yang adalah panggung sandiwara membutuhkan manusia yang merasa terpanggil untuk bertanggung jawab memberikan makna bagi dunia. Itu adalah ayat utama humanisme sebagaimana tulisan Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, "menciptakan makna bagi sebuah dunia yang tidak bermakna," atau moto humanisme, "hanya ada satu puncak dalam kehidupan, mengukur dalamnya perasaan atas segala sesuatu yang manusiawi." Dalam pandangan ini, tujuan dari eksistensi manusia adalah penyulingan seluas mungkin pengalaman kehidupan menjadi kebijaksanaan.

Barangkali ini adalah penjelasan logis mengapa ada orang yang dipandang sepatutnya menjadi sumber kebijaksanaan, tapi dengan cara yang tidak masuk akal menggarami pikiran orang-orang yang mempercayainya dengan makna yang salah atau bahkan tidak bermakna. Karena secara salah, kesempatan yang hilang atau gagal direbut, bisa saja membuat yang merasa kalah menjadi pesimis dan beranggapan apa saja asalkan tidak hanya saya yang menjadi sia-sia. Semua yang ada hanyalah sia-sia, maka tidak penting lagi sesuatu bermakna atau tidak, kebenarannya disuarakan selantang yang ia bisa. Ia menyadari, paling tidak bagi yang bersikap sama, ia akan tetap mendapatkan pendukungnya.

Pada saat yang sama, orang yang sepatutnya juga menjadi sumber kebijaksanaan, dengan cara yang tidak masuk akal menghakimi pikiran orang-orang dengan seenaknya. Karena secara salah, ia yang larut dalam euforia memenangkan kesempatan, membuat yang merasa menang menjadi terlalu optimis dan beranggapan bahwa setiap yang diyakininya adalah suatu kebenaran dan karenanya adalah yang paling layak untuk diterima. Ia mungkin lupa, tetap saja yang suka kepadanya tidak membutuhkan diyakinkan dan yang tidak suka akan tetap tidak percaya.

Baik pesimisme dan optimisme, bergantian mengajarkan bahwa kita hidup dalam kesementaraan. Bila demikian halnya, mengapa kita tidak lebih memilih menjadi orang yang optimis toh hidup ini memang sementara? Adakah alasan yang lebih baik untuk memilih tidak memberikan yang terbaik dari dalam diri untuk hidup? Memilih untuk tidak melakukan segala sesuatu seolah-olah ini adalah hari terakhir dalam hidup? Memilih untuk tidak memberi makna bagi diri sendiri, bagi orang lain di tengah dunia yang tidak bermakna? Sebagaimana Horatius berkata, "Carpe diem, quam minimum credula postero," petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok.

Tidak penting menjadi orang yang paling sering dan paling lantang menyuarakan kebenaran, bila kita ternyata bisa saja menjadi penjahat yang pandai menjaga rahasia. Dia yang paling berani dan paling lantang mengucapkan sumpah serapah dan menghujat orang lain sebagai pengecut dan yang paling bersalah, mungkin hanya sekadar pengamat dan komentator, yang tidak melakukan apa-apa selain membagikan sumpah serapah dan caci maki.

Dalam sebuah buku renungan harian berjudul Our Daily Bread, edisi 5-6 Juni 2017, ada sebuah dialog antara seorang kakek dengan cucunya yang bercakap-cakap tentang pandangan mereka soal hidup. Sang kakek berkata kepada cucunya, "Aku telah hidup dari zaman kereta kuda sampai zaman manusia berjalan di bulan. Namun, aku tak pernah mengira hidup begitu singkat." Mungkin kita juga sering bertanya dalam hati, "Kemana saja waktu telah berlalu, dan apa sebenarnya yang kita inginkan?"

Hidup terlalu singkat dan menjadi sia-sia bila hanya dihabiskan untuk saling curiga, saling membenci, saling menghujat dan saling mencaci-maki. Bukan hanya baru-baru ini manusia diberi tahu bahwa dunia adalah panggung sandiwara. Mereka yang sering mengatakan kebenaran belum tentu benar.

Suka atau tidak suka, kita hidup dalam kenyataan yang terkadang lebih dramatis dari sandiwara. Sangat disayangkan, bila orang yang sadar dan memahami situasi sebagaimana adanya, tapi masih saja memilih menjadi aktor mabuk yang gagal melagak dan merepet di atas panggung dan membawa orang-orang yang kebingungan yang lebih tampak sebagai orang bodoh yang penuh bising dan kemarahan turut serta berjalan-jalan bersamanya, kemudian hilang dan mati pada hari berikutnya. Entah apa sebenarnya yang diinginkannya, padahal sudah sekian waktu hidup ini dijalaninya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun