Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebenaran dari Sudut Pandang Sejarah: Pola Dialektis dari Sudut Pandang Negatif

12 Maret 2019   12:22 Diperbarui: 12 Maret 2019   13:02 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Membaca novel filsafat Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, kita bisa mengetahui bahwa seluruh sistem filsafat sebelum Hegel mempunyai satu kesamaan, yaitu usaha untuk menetapkan kriteria abadi yang dapat diketahui manusia tentang dunia. Ini berlaku bagi Descartes, Spinoza, Hume dan Kant. Setiap orang berusaha untuk menyelidiki dasar kesadaran manusia. Tapi mereka semua telah membuat pernyataan tentang faktor pengetahuan manusia yang kekal tentang dunia.

Hegel tidak percaya hal itu mungkin. Dia yakin bahwa dasar kesadaran manusia berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada "kebenaran abadi," tidak ada akal yang kekal. Menurut Hegel, satu-satunya titik pasti yang dapat dijadikan pegangan bagi filsafat adalah sejarah itu sendiri.

Sejarah itu selalu dalam keadaan berubah, bagaimana ia dapat dijadikan sebagai titik tolak yang pasti? Sejarah ibarat sebuah aliran sungai yang selalu berubah. Itu bukan berarti bahwa kita tidak dapat membicarakannya. Tapi kita tidak dapat menyatakan dengan pasti di tempat mana di sebuah lembah, sungai tersebut merupakan sungai yang paling benar, sebab banyak sungai yang mengalir.

Demikian pula soal sejarah bagi Hegel, sejarah itu seperti sungai yang mengalir. Setiap gerakan sekecil apapun dalam aliran air di suatu tempat tertentu, ditentukan oleh jatuh dan berpusarnya air di hulu. Tapi gerakan-gerakan inipun ditentukan oleh bebatuan dan liku-liku sungai pada titik dimana kita mengamatinya.

Sejarah pemikiran atau akal pun sama seperti sungai. Pemikiran yang dicuci sepanjang aliran tradisi yang telah lewat, serta kondisi-kondisi material yang ada pada waktu itu, ikut berpengaruh menentukan cara manusia berpikir. Kita tidak dapat menyatakan bahwa pemikiran tertentu benar selama-lamanya. Tapi pemikiran itu bisa menjadi benar saat dipandang dari tempat kita berdiri. Seperti misalnya, mendukung perbudakan pada masa sekarang akan dipandang tolol, tapi tidak pada 2.500 tahun yang lalu, meskipun pada masa itu sudah ada suara-suara progresif yang mendukung dihapuskannya perbudakan.

Contoh lain, tidak lebih dari 100 tahun yang lalu tidak dianggap sebagai tindakan keterlaluan jika kita membakar habis sebidang hutan untuk diolah tanahnya, tapi itu benar-benar dianggap keterlaluan sekarang.

Hal-hal sebagaimana disebutkan di atas bisa terjadi karena dasar pemikiran dan sudut pandang yang sama sekali berbeda. Filsafat tertentu, pemikiran tertentu tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah sang fiilosof atau pemikiran itu.

Akal menjadi progresif karena selalu ada sesuatu yang baru ditambahkan, sehingga pengetahuan manusia selalu berkembang dan semakin maju. Sama seperti sungai, semakin mendekati laut, maka sungai menjadi semakin lebar.

Menurut Hegel, sejarah adalah kisah tentang roh dunia yang lambat laun semakin mendekati kesadaran itu sendiri. Realitas sejarah mencatatkan bahwa siapapun yang mempelajari sejarah, akan mengetahui bahwa umat manusia telah melangkah lebih maju menuju "pengetahuan diri" dan "perkembangan diri" yang semakin meningkat.

Sudut pandang yang negatif dalam memandang sejarah bisa juga mengungkapkan lahirnya sebuah pola dialektis. Suatu ketegangan yang muncul di antara dua cara berpikir yang saling bertentangan, dan dicairkan oleh pemikiran ketiga yang dapat menunjukkan hal-hal terbaik dari kedua sudut pandang.

Berdasarkan itu, kita tidak dapat menyatakan bahwa Plato itu salah, Aristoteles benar, atau Hume salah, Kant dan Schelling benar. Itu adalah cara berpikir yang anti sejarah. Gagasan setiap orang mengalami proses, dan akalnya menjadi subjek kritik generasi-generasi masa depan.

Negasi atas negasi dua konsep yang bertentangan yang dikompromikan oleh pemikiran ketiga menjadi sintesis. Sintesis pemikiran ketiga belum berakhir, karena ia menjadi titik tolak bagi rangkaian perenungan lain. Suatu sintesis juga akan dihadang oleh suatu antitesis yang baru.

Menurut Hegel, kita berusaha menemukan kelemahan-kelemahan dalam sebuah argumen, tetapi ketika kita menemukan kelemahan-kelemahan dalam suatu argumen, kitapun akan menyimpan yang terbaik darinya.

Ketika seorang sosialis dan seorang konservatif berdebat dalam pemecahan masalah sosial, ketegangan akan muncul dari kedua cara berpikir yang bertentangan. Ada kemungkinan dua-duanya separuh benar dan separuh salah.

Tidak mudah untuk memutuskan pendapat mana yang lebih rasional, sejarah yang akan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, sesuai konteks sejarah.

Dalam tataran aplikatif, sekalipun ada ungkapan bahwa "rambut sama hitam, isi hati siapa yang tahu," tapi tetap saja bahwa salah satu kelebihan manusia dari spesies lainnya adalah kenyataan bahwa ia makhluk sosial, sehingga tetap saja harus hidup bersama sekalipun diiringi rasa curiga.
Memang ada spesies lain, baik dari genus aves, mamalia, atau bahkan reptil yang hidup dalam koloni, tapi belum ada yang bisa menandingi manusia dalam hal menjalin kesepakatan bersama dalam jumlah besar sehingga oleh karenanya menempatkan manusia lebih unggul bahkan cenderung menjajah spesies yang lain. Bahkan menjajah sapiens lain yang mungkin relatif lebih lemah dalam berdialektika.

Namun, menurut Hegel, manusia tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat. Oleh karena itu, siapapun yang tidak mempedulikan masyarakat tempatnya tinggal dan ingin menemukan jiwa mereka, akan ditertawakan.

Tidak selamanya sudut pandang negatif sebagai seburuk-buruknya sudut pandang bila dilihat dari sisi yang berbeda. Kalau tidak, mungkin tidak akan lahir sebuah klausul sakti dalam sebuah keputusan hasil warisan dari zaman Belanda, "Demikian keputusan ini ditetapkan dan akan diperbaiki kembali apabila ditemukan kekeliruan di dalamnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun