Tepat pada perayaan Melasti pada tanggal 14 Maret 2018 yang lalu, adalah waktu 3 hari sebelum perayaan hari raya Nyepi tahun baru Saka 1940. Saat itu saya sedang berada di Pulau Dewata, Bali, untuk sebuah urusan rapat dinas tentang seleksi penerimaan calon taruna Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) dengan pola pembibitan bagi daerah yang telah membuat nota kesepahaman dengan kementerian perhubungan melalui sekolah kedinasan dimaksud.
Tepat pada tanggal itu juga, Stephen Hawking meninggal dunia dalam usia 76 tahun. Meninggalnya Hawking di Cambridge, United Kingdom, di mana pada saat bersamaan di belahan dunia lain di Bali berlangsung upacara Melasti yang bertujuan untuk penyucian diri dalam menyambut hari raya Nyepi oleh seluruh umat Hindu. Upacara Melasti ini digelar dengan menghanyutkan "kotoran alam" menggunakan air kehidupan.
Hawking adalah intelektual yang istimewa, dengan kecacatan fisik yang membuatnya tak bisa berbicara dan berdiri. Dia tercatat tidak percaya Tuhan dan surga. Entah kemana dia pergi setelah kematiannya hanya Tuhan yang tahu.
Namun, atas nama kemanusiaan, Hawking yang telah menyumbangkan banyak pemikiran untuk peradaban, lebih dari layak untuk dikenang dan mendapatkan istirahat panjang yang tenang, di tempat di manapun itu didefinisikan.
Dilansir dari laman CNN Indonesia, edisi tanggal 14 Maret 2018, tepat pada hari kematian Hawking, diceritakan bahwa semasa hidupnya, Stephen Hawking sudah mengantongi beragam penghargaan dari petinggi sejumlah negara di dunia. Namun, hingga menghembuskan nafas terakhir pada Rabu, 14 Maret 2018 dini hari, ahli fisika dan kosmologi ini justru belum pernah menerima Nobel.
Padahal, teori-teori hasil pemikirannya menyumbang kontribusi besar di bidang kosmologi dan fisika. Mulai dari temuan mengenai teori Big Bang, gravitasi kuantum, hingga radiasi Hawking.
Teori radiasi Hawking yang dipaparkan pada 1974 menyatakan bahwa terdapat radiasi yang dilepaskan lubang hitam. Sebagai konsekuensinya, lubang hitam bisa menguap dan mati.
Teori ini juga telah diterima secara luas di kalangan ilmuwan-ilmuwan fisika teoritis di seluruh dunia. Sayangnya, tidak ada cara untuk membuktikan kebenaran teori-teori Hawking di dunia nyata.
Hal inilah yang menyebabkan ilmuwan pengidap Amytotrophic Lateral Sclerosis (ALS) tersebut tidak menerima penghargaan Nobel, walau memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan.
"Masalahnya adalah tidak ada cara untuk memverifikasi ide tersebut. Lubang hitam terlalu panjang umur untuk bisa diobservasi hari ini dalam detik-detik kematiannya," ujar penulis The Science of Liberty dalam majalah National Geographic Timothy Ferris, seperti dikutip Times of India.
"Andaikan saja ada cara bagi para ilmuwan saat ini untuk mengobservasi fenomena kematian sebuah lubang hitam dan membuktikan kebenaran teori radiasi Hawking tersebut, ia tentu akan menerima penghargaan Nobel," lanjut Ferris.
Menariknya, semasa hidup Hawking juga sempat menyinggung pengharagaan Nobel yang tak kunjung diperolehnya. Dalam kuliah umum pada Januari 2016, ia sempat menyinggung hal itu.
"Orang-orang telah mencari lubang hitam berukuran kecil, namun tidak ada yang pernah menemukannya. Hal ini merupakan suatu hal yang disayangkan, karena jika mereka pernah menemukannya tentu saya akan menerima penghargaan Nobel," cadanya saat itu seperti mengutip laman Evening Standard.
![Stephen Hawking berlatar foto Marylin Monroe (www.pinterest.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/07/fb-img-1551941293725-5c80cdecbde5750cd62bf982.jpg?t=o&v=770)
Sedikit tentang Monroe yang dilansir dari laman Wikipedia bahwa menurut akademisi Susanne Hamscha, karena keberadaan Monroe dalam diskusi-diskusi terkini tentang masyarakat modern, Monroe tak pernah secara bulat berada dalam satu waktu atau tempat, namun telah menjadi sebuah permukaan di mana penjelasan-penjelasan budaya Amerika dapat di(re)konstruksi, dan berfungsi sebagai kekhasan budaya yang dapat direproduksi, ditransformasi, diterjemahkan dalam konteks-konteks, dan dilakukan oleh orang lain.
Demikian pula dengan Banner yang menyatakan bahwa Monroe merupakan "pemberi bentuk abadi" yang dibuat ulang oleh setiap generasi, bahkan setiap individual untuk spesifikasi mereka sendiri.
Sedangkan, David Thomson menyebut perwujudan karya Monroe sebagai "tak tergantikan", ia melakukan apa yang orang lain 'rasa bagus' tapi tak dilakukan. Satu hal lagi, Monroe adalah aktris yang paling banyak difoto.
Pesona Marylin Monroe yang vintage dalam hitam putihnya pun tak pudar di era milenial. Lestarinya pesona klasik Monroe untuk sebagian hal, meski tidak cocok untuk dijadikan bahan pembanding secara keseluruhan terhadap modernitas, seolah menegaskan pentingnya perhatian terhadap pendapat Stephen Hawking, yang mengingatkan bahwa segala kemudahan yang dihadirkan oleh teknologi Artificial Inteligent (AI) berpotensi mematikan peradaban umat manusia.
Tanpa ada maksud untuk melakukan sinkretisme dalam hal keyakinan, namun perayaaan penyucian diri melalui Melasti menjelang perayaan Nyepi, yang bertepatan dengan hari kematian Hawking pada tahun 2018 yang lalu, dikaitkan dengan pengaruh pesona Monroe yang abadi, adalah probabilitas kosmos yang menarik untuk direnungi.
Dikatakan perayaan, namun sebenarnya hari raya Nyepi adalah sebuah waktu untuk menyepi dalam keheningan yang sama sekali jauh dari sebagaimana umumnya perayaan yang hingar bingar, untuk kita merenungkan kembali apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini.
Dalam kaitan dengan konteks agenda politik, dimana pemilihan umum serentak 2019 yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 nanti, refleksi hari raya Nyepi juga relevan memberikan sebuah warna keheningan untuk menarik diri kembali kepada perenungan di tengah hiruk pikuk dan hingar bingar yang sangat memekakkan telinga dan mengaburkan pandangan mata dengan beragam kebenaran, pembenaran, bahkan caci maki, tipu muslihat hingga beragam fitnah serta ujaran kebencian yang melingkupinya seakan semua hubungan telah retak oleh karenanya.
Seperti Hawking yang mampu menyelami asal-usul galaksi dan memberi banyak sumbangan bagi peradaban dan ilmu pengetahuan, tercatat sebagai seorang yang tidak percaya kepada Tuhan dan surga, tapi ia pun mengakui bahwa segala kemudahan yang dihadirkan oleh teknologi berpotensi mematikan peradaban umat manusia, atau seperti Monroe, yang meskipun abadi dalam foto-fotonya dan dipandang sebagai seseorang yang tak tergantikan, tapi ia sendiri adalah seorang yang immortal.
Mungkin banyak sekali "kebetulan-kebetulan" kosmis yang bisa jadi berhubungan atau tidak, tapi tetap menarik bagi kita sebagai bahan untuk kita merenungkan kembali "Apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini? Sehingga apa yang kita cari itu layak untuk dipertahankan mati-matian dan terkadang membawa kita kedalam pertentangan tak bertepi dengan sesama kita, yang sebetulnya sama-sama penuh kelemahan dan keterbatasan?"
Selamat Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1941 Tahun 2019, "Rahina Nyepi pinaka sarana kaanggen mulat sarira ring sajeroning angga sarira," Mari jadikan Hari Raya Nyepi sebagai sarana introspeksi diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI