Patut kita pikirkan, sekalipun mungkin terdengar klise karena sudah sering juga berulang kali diperdebatkan, dan juga mungkin sudah sedikit agak ketinggalan, seperti tetangga kita Malaysia, misalnya, yang berencana kurangi fokus pada pelajaran agama, sebagaimana dilansir oleh KOMPAS.com edisi Jumat 11 Januari 2019.
Sesuai pengakuan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pada jamuan makan malam tahunan almamaternya Sultan Abdul Hamid College (SAHC) di Kuala Lumpur pada tanggal 22 Desember 2018 yang lalu.
Katanya, "Kita masih akan belajar agama, tetapi ini tidak akan menjadi satu hari penuh, karena kita tidak ingin siswa hanya tahu cara melafalkan doa, tetapi kurang pengetahuan dalam mata pelajaran lain."
Lagi katanya, "Dan kemudian kamu memiliki terlalu banyak ulama, mereka selalu berbeda satu sama lain dan kemudian mereka menyesatkan pengikut mereka dan mereka bertengkar satu sama lain. Itulah masalah yang kita hadapi sekarang. Dan karena itu, kami akan mengubah jadwal, kurikulum di sekolah-sekolah."
Tantangan dewasa ini di Malaysia, sebenarnya adalah tantangan nyata yang juga terjadi di negeri kita. Tidak terbatas pada satu aliran agama, tidakkah sesungguhnya religiusitas kita pada kenyataannya justru senantiasa cenderung menjadikan Dia sebagai korban ketimbang menempatkanNya sebagai pencipta yang maha segalanya?
Dalam konteks ini, simbol-simbol religius asimetris yang tidak dipahami secara utuh, menyebabkan agama yang seharusnya berfungsi memberikan petunjuk-petunjuk, terkadang ditangkap sebagai petunjuk yang keliru. Kita menjadi keliru menempuh arah dalam sebuah perjalanan guna mencapai keutuhan psikologis.
Keutuhan psikologis berakar pada gagasan untuk mengintegrasikan benak sadar dan benak tak sadar. Materi alam tak sadar yang personal diberi nama "sang bayangan" oleh Carl Gustav Jung (1875-1961), seorang psikiater Swiss dan perintis psikoanalisis bersama Sigmund Freud. Eksplorasi terhadap alam tak sadar personal dan kualitas bayangannya memberi akses terhadap alam tak sadar kolektif. Materi alam tak sadar kolektif bersifat non spesifik, yang merupakan pola atau bentuk yang mendapatkan kepribadian tertentu saat bermanifestasi di alam sadar pada konteks masyarakat tertentu.
Baca Juga : Perjalanan Manusia Profan dalam Upaya Menjumpai Dia, Sang Numinosum
Kembali ke pembahasan tentang fungsi keluarga, saya sepakat dengan pandangan bahwa dalam hubungan antara suami dan istri, selagi masih muda penting untuk saling mencintai dan menyayangi pasangan kita dalam kemesraan dan gairah yang membara, karena itu hanya sementara.
Selebihnya, dalam sisa masa hidup yang sangat singkat bersama pasangan kita, tinggal hanya rasa kasih sayang dan kesetiaan, pengabdian dan komitmen dalam rumah tangga.
Jangan kita mudah sekali mengutuki keadaan di sekitar kita, tanpa terlebih dahulu melihat jangan-jangan ada yang salah dalam keluarga kita sendiri.