Nilai-nilai dan semangat gotong royong serta keswadayaan masyarakat, terutama melalui kehidupan keluarga, sebenarnya sudah ada, tertanam kuat dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita yang bercirikan adat istiadat dengan kearifan lokal setempat jauh sebelumnya.
Namun benarkah nilai-nilai dan semangat warisan leluhur itu masih ada, tertanam dan mengakar di keluarga dan masyarakat kita hari ini? Mari kita cermati bersama.
Dalam sebuah kesempatan koordinasi dengan seorang panitera muda hukum di lembaga Pengadilan Negeri setempat, saya dan seorang rekan kerja terlibat dalam sebuah obrolan santai yang sangat terbuka dengan aparat peradilan yang diluar perkiraan saya.
Fakta dan fenomena yang melekat sebagai wajah lembaga penegakan hukum dan peradilan kita, tidak terlepas juga lembaga birokrasi pemerintahan di negeri ini, yang sudah sangat lekat dengan kesan arogan, penuh ruang abu-abu bahkan ruang gelap, dengan berbagai bahasa bercabang yang mengarah kepada kepentingan terselubung, barangkali walaupun belum hilang sepenuhnya, sepertinya memang perlahan semakin bergerak kearah kesadaran untuk semakin memperbaiki diri.
Karena itu perbincangan berlangsung terbuka dan tanpa pretensi untuk saling melindungi diri bahwa masing-masing merasa dan mengaku dengan jujur, ya, masih banyak yang perlu diperbaiki, tapi kita sedang berjuang melakukannya.
Dari perbincangan itu terungkap sebuah fenomena, setidaknya melalui fakta persoalan hukum yang tercatat di lembaga peradilan, bahwa ada dua kasus yang paling banyak disidangkan hari-hari kini, yakni masalah penyalahgunaan narkoba dan kasus perceraian.
Permasalahan ini, adalah masalah yang terjadi hampir merata, setidaknya sesuai hasil sharing informasi dengan rekan sejawatnya sesama panitera pengadilan dari berbagai daerah yang terkomunikasi pada kesempatan rapat-rapat koordinasi di kalangan mereka. Itu hanya dari kasus yang tercatat, belum lagi barang kali banyak kejadian dan kasus yang tidak tercatat? Seperti fenomena gunung es.
Sebuah fakta hari-hari kini yang sangat berkebalikan dari tujuan dan fungsi ideal sebuah keluarga sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini. Hampir dalam setiap slogan, motto, visi misi, bahkan di dalam dasar negara kita Pancasila, soal ke-Tuhan-an dan agama di tempatkan di tempat yang paling pertama. Mungkin untuk menegaskan bahwa itu adalah sebuah bentuk "kesadaran" bangsa kita akan pentingnya soal religiusitas dalam kehidupan.
Lalu mengapa seakan semua tidak ada maknanya, ketika faktanya anggota-anggota keluarga bahkan tidak mampu saling menjaga jangankan meningkatkan kualitas dirinya?
Semakin banyak keluarga yang kehilangan masa depan dan ketahanan karena anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak yang kecanduan narkoba. Semakin banyak kasus perceraian, bahkan dari pasangan usia muda.
"Apa yang salah dengan kampung halamanku? Batinku."
"Bukankah di sini banyak berdiri gereja, banyak masjid dan banyak ibadah-ibadah?" demikian kata bapak itu.
Lalu, saya bertanya, "Jadi, kalau menurut Bapak, apa yang salah dengan kita, Pak?"
"Setelah saya merenungkan, saya rasa masalah itu ada dan bermula dari keluarga-keluarga kita hari ini" jawabnya.