Dalam bahasa Karo, burung elang disebut Kuliki. Seperti halnya pada Latsitardanus XXV Provinsi Lampung pada tahun 2004. Kami yang tergabung dalam Satlat Hiu, membuat tugu prasasti berupa ranjau laut, pada lokasi karya bhakti di Kabupaten Tanggamus, karena Satlat Hiu dimotori oleh satuan matra laut.
Meskipun oleh generasi selanjutnya akan dibaca jauh setelah prasasti ditandatangani, itu adalah sesuatu yang penting dan patut untuk dirawat dan dilestarikan. Bukan tanpa dasar, terciptanya sebuah adagium yang mengatakan "history repeats it self." Bahwa hal yang pernah terjadi di masa lampau, suatu saat akan terjadi kembali, mungkin dengan variasi lain tapi dengan esensi yang sama.
Adalah bijak untuk belajar dari masa lalu untuk berusaha membuat yang lebih baik lagi di masa depan. Banyak hal yang monumental justru lahir dari sebuah karya yang kecil dan sederhana. Sesuatu yang kecil dan sederhana, kelak bisa saja menjadi sebuah kebanggaan yang akan mengukuhkan aura kecintaan, ketika itu tumbuh melintasi sejarah, dan sejarah hanya akan terbaca bila ditorehkan dalam sebuah catatan.
Jalan tembus Tanah Karo - Langkat yang sudah di aspal kini, mungkin saja berawal dari jalan tanah yang dibuka dengan cangkul, dan kini akan menjadi sebuah kebanggaan monumental yang akan semakin mengukuhkan kecintaan kepada kampung halaman, kepada alam, kepada budaya, dan tanah air. Semoga.
Mengenangkan kenangan Latsitarda XXV Tahun 2004, dari tugu prasasti Latsitarda VIII Tahun 1987, menjelang tahun baru 2019.
Catatan dari salah seorang alumnus yang segera akan menjadi masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H