Saya tinggal di sebuah kampung yang kecil, Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara. Dengan topografi berupa daerah dataran tinggi dan pegunungan, maka keberadaan angkutan bermotor yang optimal dan efisien menjadi sangat penting, baik untuk mobilitas penumpang orang maupun untuk pengangkutan komoditi pertanian berupa sayur dan buah yang merupakan komoditi unggulan daerah ini.
Namun, dalam kenyataannya sering sekali ketika menempuh perjalanan baik antar kampung di dalam daerah kabupaten, maupun perjalanan pulang pergi ke Medan yang merupakan ibu kota provinsi, saya sering melihat mobil-mobil yang menyemburkan asap hitam pekat tebal beriringan sepanjang perjalanan.Â
Apalagi di jalan-jalan menanjak yang merupakan kontur khas daerah pegunungan, pemandangan kendaraan-kendaraan tua dengan asap hitam pekat tebal merupakan pemandangan yang mudah sekali di temukan sepanjang jalan kemana pun kita pergi. Baik mobil penumpang, maupun pengangkut barang, seakan berlomba menyemburkan limbah asap ke udara bebas.
Saya bukan orang yang ahli dalam otomotif, tidak juga dalam soal ekonomi. Hanya sekedar memberikan sumbangan pemikiran sebagai orang awam yang tidak terlepas dari masalah-masalah otomotif maupun masalah-masalah ekonomi, baik sebagai penumpang, pengguna jasa angkutan, maupun sebagai pengendara kendaraan bermotor, roda dua dan roda empat.
Mungkin usia tua kendaraan adalah sesuatu yang turut menjadi penyebab kurang maksimalnya pembakaran bahan bakar kendaraan dan efisiensi mesin, sehingga menyebabkan buruknya emisi karbon dari asap kendaraan.
Secara sederhana, bahan bakar dengan bilangan oktan yang sesuai dengan anjuran kebutuhan mesin akan memberikan pengaruh pada efisiensi kerja mesin.
Bukan tanpa alasan, kenapa mesin-mesin diciptakan dengan kebutuhan bilangan oktan tertentu. Karena secara fisis, oktan yang tinggi akan meningkatkan efisiensi kerja mesin, menurunkan tingkat emisi karbon, dan tentu saja semakin baik bagi pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Sekalipun memang, secara ekonomi berlaku sebuah hukum bahwa kualitas berbanding lurus dengan fulus. Semakin baik kualitas sebuah produk, maka semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan.Â
Namun, dalam sebuah rantai panjang kebutuhan yang holistik dan integral, aksioma ekonomi bahwa kualitas yang baik berarti mahal hanyalah sebuah bagian mata rantai yang berpengaruh tetapi bukan satu-satunya yang patut menjadi pertimbangan. Dengan hanya mempertimbangkan prinsip tunggal ekonomi, pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh untung sebesar-besarnya, hanya akan melahirkan konsekwensi jangka menengah dan jangka panjang yang justru harus dibayar mahal.
Kendaraan yang menggunakan mesin berbahan bakar bensin, bisa saja digerakkan cukup dengan bahan bakar berupa premium. Namun, sebagian kendaraan terutama produksi tahun-tahun terakhir diberi anjuran oleh produsen untuk menggunakan minimal bahan bakar pertalite, dan sebagian lainnya bahkan pertamax hingga pertamax turbo, sesuai dengan spesifikasi mesin dan jenis kepentingan.
Belum lagi kalau memperhitungkan faktor-faktor etis, bahwa ada kebijakan untuk memberikan keseimbangan terkait distribusi pendapatan, bahwa masyarakat pemilik kendaraan kelas menengah atas tidak dianjurkan menggunakan bahan bakar yang disubsidi oleh pemerintah, baik premium maupun solar.
Hal ini tidak saja berkaitan dengan kesesuaian oktan bahan bakar, tetapi juga berkaitan dengan asas kepatutan dan kelayakan, serta kemampuan keuangan negara dalam memberikan daya dukung kehidupan. Baik golongan ekonomi lemah maupun menengah atas sama-sama tidak terlepas dari kebutuhan mobilitas.
Termasuk kendaraan-kendaraan dinas jabatan maupun kendaraan operasional pemerintah, yang berpelat merah, dianjurkan tidak menggunakan bahan bakar bersubsidi. Maka akan menjadi aneh kalau regulator sendiri tidak mematuhi sebuah kebijakan yang telah menjadi regulasi.
Akankah masyarakat bisa disalahkan bila pemerintah sendiri tidak memberikan teladan? Memang kecenderungan gerak perubahan peradaban seolah memberikan indikasi kuat bahwa kita menuju sebuah era pemerintahan tanpa pemerintah, to govern without government. Maka setidaknya dalam bahasan mengenai bahan bakar ini, kita patut mempertimbangkan soal kebutuhan, kepentingan, aturan, kepatutan dan lingkungan.
Belum tentu, asap yang hitam pekat tebal kendaraan yang berjalan tersendat-sendat itu semata karena faktor usia kendaraan. Namun, merupakan akibat dari sebuah akumulasi perilaku tidak peduli, tidak taat aturan dan ketidakpatutan.
Memerlukan sebuah sikap kepedulian, ketekunan, kepatuhan dan sedikit tambahan pengorbanan dalam menghadirkan peradaban berkelanjutan yang ber-perspektif pelestarian lingkungan. Akan tidak sebanding, keuntungan ekonomi jangka pendek yang kita dapatkan, dibandingkan biaya mahal yang akan kita keluarkan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, tapi patut untuk tetap kita perjuangkan.
Gunakanlah bahan bakar minyak dengan bijak, karena itu tidak dapat diperbaharui. Pakailah bahan bakar dengan bilangan oktan yang sesuai demi kebaikan kita bersama.
Kata teman saya yang bekerja di sektor perkebunan : "CPO belum bisa digunakan sebagai bahan bakar murni. Baru sebatas pendamping untuk tambahan bahan bakar biodiesel. Setidaknya begitulah sampai saat ini."
Perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi sumber daya paling menentukan dalam persaingan global saat ini tentu saja memberikan berbagai kemungkinan yang bahkan tidak bisa kita pikirkan akan lahir di masa depan. Namun, tidak ada salahnya kalau kita bijak menggunakan sumber daya bahan bakar minyak yang ada saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H