Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semakin Banyak Pengetahuan Kita, Semakin Banyak Pula Kesusahan Kita

18 Desember 2018   17:55 Diperbarui: 18 Desember 2018   20:22 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menemukan orang-orang yang "tegaan" dalam kehidupan di zaman sekarang bukanlah perkara sulit, banyak cerita tentang itu. Tidak kurang dari tayangan sinetron di televisi, film, cerpen, novel, dan pagelaran drama mengangkatkan kenyataan itu. Seolah mengkonfirmasi bahwa pikiran manusia saat ini penuh dengan hal-hal seperti itu. Justru yang sulit ditemukan sekarang adalah kemanusiaan yang pantas, nyata apa adanya. Hampir segala hal saat ini ada apa-apanya.

Pada suatu hari, saat melintasi kawasan hutan di daerah perbatasan, saya menyaksikan bagaimana manusia bisa sangat beringas mengakhiri kehidupan makhluk lain, demi kelangsungan hidupnya sendiri.

dokpri
dokpri
Saya tidak akan mendalami motif yang mendorong manusia melakukan keberingasan, hanya sebuah rasa yang muncul dengan spontan atas realitas yang tampak dan dirasakan oleh indra.

Tidak kurang sepanjang jalan sejauh minimal 3 km, dan dalam jangkauan jarak pandang selebar minimal 100 meter di kiri dan kanan jalan, saya menyaksikan sebuah ekosistem hutan yang hidupnya sedang diakhiri. Bongkahan akar-akar kayu yang cukup besar menghitam menjadi arang, bekas dibakar. Manusia yang adalah makhluk emosi, altruistik, dan punya keterbatasan kemampuan fisik, ternyata bisa sangat merusak dengan kekuatan pengetahuannya. Sekali lagi, saya tidak berbicara tentang motif, hanya takjub dengan kenyataan yang mungkin ditimbulkan manusia dengan pengetahuannya.

Mungkin itulah dilema pembangunan. Manusia bertambah secara massif. Bahkan Indonesia akan menerima bonus demografi, yang puncaknya diperkirakan pada tahun 2030 nanti. Manusia-manusia yang datang dan pergi silih berganti, dan bertambah banyak, membutuhkan ruang yang lebih luas untuk tempat tinggalnya. Untuk memenuhinya mungkin kehidupan yang lain harus berakhir oleh karenanya. Kehidupan manusia terlalu berharga untuk digantikan oleh kehidupan makhluk lain.

Sekali kita menemukan tempat yang indah di tengah hutan, kecemasan pun datang, karena manusia memiliki kebutuhan untuk dipenuhi. Manakala tujuan tidak cukup lagi sebatas kebutuhan, maka keinginan pun datang, keinginan tumbuh menjadi ketamakan. Ketamakan adalah salah satu bakat alamiah manusia yang paling merusak.

Taman Nasional Gunung Leuser (dokpri)
Taman Nasional Gunung Leuser (dokpri)
Dari sanalah datangnya ungkapan: "Alam mampu mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak cukup untuk memuaskan ketamakan satu orang manusia."

Lagi dalam zaman ini, kita menemukan bakat alamiah manusia yang lain. Sesuatu yang oleh Nietzsche disebut sebagai gambaran dunia dengan tempat pikiran serba sempit dan serba praktis, tapi pongah. Kepongahan manusia di era masyarakat ekonomi, masyarakat konsumsi. Sebuah era yang menghadirkan kesendirian dan keterasingan, sekalipun dalam keramaian.

Kebersamaan hampir menjadi sepenuhnya semu. Perjumpaan sementara hanya berlangsung di permukaan. Masing-masing orang tidak ubahnya hanya berperan sebagai penjual dan pembeli, apa yang dipunyai menjadi komoditi. Masing-masing hanya memikirkan bagaimana kebutuhannya sendiri terpenuhi.

dokpri
dokpri
Ekosistem dan habitat kita menjadi pasar, dan mendesak kita untuk saling berpacu. Setiap orang penuh keinginan untuk saling mengalahkan. Kebersamaan berubah menjadi kerumunan, dan dalam kerumunan segala hal bisa diperjualbelikan.

Inipun barangkali adalah sebuah bentuk kemajuan pengetahuan manusia. Maka, menjadi ada benarnya bahwa semakin banyak pengetahuan kita, semakin banyak pula kesusahan kita. Pengetahuan yang membuat kita selalu ingin menjadi semakin praktis, tetapi kenyataannya malah semakin sempit tapi pongah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun