Memasuki minggu ke-III Adven, mungkin ada banyak orang Kristen yang sudah berkali-kali mengikuti ibadah perayaan natal, meskipun masih dalam masa adven. Ini bukan soal salah atau benar merayakan natal di saat masih dalam masa adven. Namun, sejauh manakah natal sudah berdampak bagi mereka yang merayakannya. Apakah makna natal?
Sebuah kisah yang dituliskan oleh Hans Christian Andersen, tentang Gadis Penjual Korek Api, adalah cerita natal yang tidak lekang di makan waktu, tetap relevan dalam memaknai natal. Cerita natal bukan berarti cerita yang ditulis khusus untuk natal.
Adalah sebuah kebiasaan di masa-masa ketika saya masih kecil, saat perayaan natal, seorang yang dituakan di antara jemaat didaulat untuk menceritakan sebuah kisah inspiratif sebagai pesan natal, di samping khotbah natal yang biasanya dibawakan oleh pendeta.Â
Namun, belakangan ini saya melihat sudah jarang ada perayaan dengan menyelipkan pesan-pesan natal inspiratif. Barangkali, sejalan dengan tingkat minat membaca masyarakat kita yang masih rendah, maka kemampuan bercerita kita pun semakin rendah, seiring dengan kepergian orang-orang tua pendahulu kita, para pencerita.
Alkisah, pada suatu ketika di sebuah kota, ada seorang gadis kecil yang bekerja menjajakan korek api sebagai jualannya. Ia harus bekerja karena orang tuanya sudah tiada, neneknya pun sudah tiada.
Sementara itu, dari balik jendela rumah-rumah tampak orang-orang yang bersukacita dalam kehangatan, lilin-lilin menyala indah, dekorasi juga sangat gemerlap, aneka makanan dan minuman tersaji di meja, masih berasap, hangat, enak sekali kelihatannya. Mereka merayakan natal.
Gadis korek api hanya mampu menatap dari luar. Keletihan dan kedinginan, ia memutuskan behenti berjalan dan duduk di dekat tangga rumah yang baru saja dilaluinya. Kehangatan suasana di dalam rumah-rumah dan aroma makanan yang tercium, membuatnya ingin merasakan sedikit kehangatan dalam dinginnya cuaca.
Tidak ada kayu untuk dibakar, tidak ada juga selimut untuk membungkus kakinya. Hanya ada korek api jualannya. Maka mulailah ia menyalakan satu batang korek api. Hari pun sudah menjelang gelap, maka nyala api dari batang korek yang disulut itu membuat suasana terang benderang, hangat.
Satu persatu batang korek api disulut oleh gadis kecil itu. Perutnya yang keroncongan membuatnya berhalusinasi ada banyak sekali makanan dan minuman enak tersaji di hadapannya. Namun, begitu nyala korek padam hilang pulalah makanan dan minuman itu.
Maka, sadarlah ia bahwa ia merindukan ibunya. Disulutnya batang korek api, nyala yang hangat membuat ia berhalusinasi ada ibunya yang tersenyum kepadanya. Ia ingin menggapai ibu, menyentuh tangannya, ingin menceritakan segala keluh kesahnya. Namun, begitu nyala korek padam, hilang pulalah ibunya.
Persediaan korek api sudah semakin sedikit. Ia sudah bertekad bahwa meskipun walau sebentar, ia akan sekali lagi saja mau bertemu dengan ibu senyata-nyatanya. Maka, dinyalakannya batang korek api, semua yang tersisa, sekaligus. Bsssttt....nyala api sangat besar. Terang di sekelilingnya dan hangat.
Seketika, ibu gadis itu muncul jelas di hadapan gadis korek api. Ia bisa menyentuh ibu, mencengkram jemarinya, tidak ada lagi rasa dingin itu. "Ibu aku lapar..." kata si gadis. "Sebentar anakku sebentar lagi kita akan makan. Engkau bisa memakan sepuasnya, semua yang mau engkau santap." Lalu, tertidurlah gadis kecil yang kumal dan tanpa alas kaki, penjual korek api itu, di pangkuan ibu yang hangat.
Sungguh terkejut si pemilik rumah, ketika keesokan harinya ia membuka pintu, menyambut pagi hari yang lebih bersinar dari hari kemaren, karena di hadapannya seorang gadis kecil, dengan baju yang kumal, tanpa alas kaki, duduk membeku dengan segenggam batang korek api di tangannya. Seluruh batang korek api yang digenggamnya sepertinya padam dalam genggaman, sampai habis, dan tersisa bekasnya.
Orang-orang semakin ramai berdatangan, mengerumuni sang gadis penjual korek api yang duduk membeku. Ia telah pergi, bersamaan dengan bayangan ibu yang menghilang saat korek api berhenti menyala.Â
Semua mereka meneteskan air mata. Gadis kecil penjual korek api itu mati pada malam natal, saat mereka semua merayakannya dalam rumah yang hangat dengan aneka makanan dan minuman yang enak. Tidak satupun mereka, yang merayakan natal pada malam itu, menyadari si gadis penjual korek api yang kelaparan dan kedinginan seorang diri di tengah badai salju.
Natal, sudahkah aku ber-natal?
Malam kudus, sunyi senyap,
bitang-Mu gemerlap
Aku datang ya Tuhanku,
bersembahyang di kandang-Mu
Dan mengucap syukur,
dan mengucap syukur.
Natal bukan soal kemewahan, bingkisan dan makanan, bila tidak dapat dirasakan oleh mereka yang paling dilupakan, kelaparan, tertekan dan tidak berarti bagi orang-orang. Dia yang dirayakan kelahiranNya, lahir di kandang hina, di antara nyanyian pujian para gembala
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H