Hari ini mengantarkan bapak yang bertugas melayani ibadah perayaan natal orang-orang tua lanjut usia di GBKP Batu Minjah Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara.
Perjalanan dari batas Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang di Simpang Tuntungan menuju lokasi perayaan natal di Batu Minjah saya tempuh dengan bantuan navigasi aplikasi google map. Jarak sekitar 23 km dan waktu tempuh sekitar 56 menit, begitulah informasi di dashboard aplikasi. Kenapa harus detail? Karena pepatah lama Melayu mengatakan "tidak kenal maka tidak sayang."
Pepatah yang oleh Raden Mas Minke, dalam novel Anak Semua Bangsa, tulisan Pramoedya Ananta Toer, dirasakan sebagai tamparan keras yang telak dari Ter Haar. Ia yang adalah seorang jurnalis keturunan Belanda, mengejek Minke sebagai pribumi yang tidak mengenal negeri dan bangsanya sendiri. Hal ini yang mendorong Minke bepergian untuk beberapa malam ke sebuah desa di dekat Wonocolo, Jawa Timur, yang merupakan daerah perkebunan tebu.
Dan benar ternyata, Minke yang adalah anak Bupati Blora, mendapat pendidikan ala Belanda, dan lulusan terbaik HIS dari ketiga sekolah HIS di Jawa, ternyata tidak terlalu mengenal warga sebangsanya sendiri. Warga yang dirampas tanah-tanahnya untuk dijadikan perkebunan milik Belanda. Mereka yang beruntung walaupun telah kehilangan tanahnya akan menjadi buruh kebun, itupun kalau mereka bisa menyediakan sen sogokan bagi mandor yang juga orang pribumi.
Politik dan kekuasaan yang kejam sudah pernah tercatat dalam sejarah pemerintahan negeri ini, saat masih dijajah oleh kolonialisme. Saat itu rakyat belum mengenal organisasi dalam artian modern, di mana kepentingan bersama akan diwujudkan melalui perjuangan diplomasi, melalui "bicara-bicara", dan tentu saja bekerja. Sebuah sistem dimana setiap orang berhak dan berkewajiban, serta berkebebasan yang dibatasi oleh hukum, barangkali begitulah maksudnya demokrasi.
Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, karangan Pramoedya Ananta Toer, dikutip sebuah catatan dari Multatuli atau Edward Dowes Dekker yang menulis Max Havelaar, bahwa di negeri ini pernah ada sistem pemerintahan yang menerapkan kerja rodi, yakni cultuur stelsel, sistem tanam paksa. Ribuan orang tewas dalam kerja rodi ini.Â
Seperdelapan belas tanah garapan dari bumi Jawa menjadi kebun kolonial, 800.000 keluarga digiring ke kebun-kebun milik kompeni menjadi kuli. Jumlah ini sama dengan seperempat jumlah penduduk Jawa pada masa itu. Di sebagian besar wilayah Jawa, karena petani telah menjadi buruh, maka sawah tidak ada lagi yang menggarap.Â
Panen padi gagal, paceklik menimpa Demak dan Grobokan. Kelaparan menyebabkan penduduk Demak berkurang dari 336.000 menjadi hanya 120.000. Sementara di Grobokan, dari 216.000 orang penduduk berkurang menjadi hanya 98.000, hanya dalam waktu dua tahun karena bencana kelaparan.
Salah seorang pribumi yang pernah tampil di muka pengadilan  menggugat ini tidak lain dari Bung Karno sendiri. Katanya bahwa sesudah VOC mati sekitar tahun 1800, yang tidak ikut mati adalah sistem monopoli. Sistem yang menuntut untung yang bersendi pada paksaan.Â
Pada masa itu tidak sulit melihat kenyataan orang-orang kelaparan seperti kerangka kurus, terhuyung huyung sepanjang jalan, beberapa begitu letih, bahkan sebagian tak mampu lagi memakan makanan yang disuguhkan kehadapannya "sebagai persekot", dan akhirnya mereka meninggal.
Bisa jadi, sebagian yang menderita tinggal merasakan bahwa inilah satu-satunya jalan keluar dari kesengsaraan.
Menunggu selesai acara natal bagi para orang tua lanjut usia ini, aku berjalan-jalan mengamati persawahan di belakang gereja. Sungguh, mungkin google lebih mengenal negeriku ketimbang aku mengenalnya. Banyak pelosok negeri yang belum aku jalani, meskipun dekat di belakang rumahku sendiri.
Desaku yang kucinta, pujaan hatiku, tak dapat kulupakan desaku yang permai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H