Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Susah Membuang Sampah pada Tempatnya?

5 Desember 2018   16:51 Diperbarui: 7 Desember 2018   09:49 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tumpukan sampah di selokan (dokpri)

Pada perhelatan Asian Games XVIII Jakarta-Palembang, Indonesia, pada bulan Agustus sampai September 2018 yang lalu, banyak netizen memberikan pujian bagi supporter asal Jepang yang memunguti sampah-sampah di antara bangku-bangku tribun penonton seusai mereka menyaksikan atlet-atlet mereka bertanding.

Entah menang atau kalah, mereka tetap memunguti sampah sebelum pulang, bahkan ada yang memunguti sampah puntung rokok yang bertebaran di bawah pohon di sekitar venue pertandingan. 

Pujian ini membanjiri media sosial tidak ketinggalan dimuat juga oleh media-media onine di Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia pun menyadari dengan sepenuhnya bahwa perilaku membuang sampah ke tempatnya adalah perilaku yang terpuji. 

Bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi manusia sebagai salah satu penanda yang membedakan mereka dari makhluk hidup penghasil sampah lainnya.

Seorang remaja putri pendukung atlet Jepang memungut puntung rokok (www.detik.com)
Seorang remaja putri pendukung atlet Jepang memungut puntung rokok (www.detik.com)
Cara kita memperlakukan sampah kita adalah cerminan tingkat keadaban kita, juga sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kepedulian kita akan isu-isu lingkungan. 

Mungkin akan terasa biasa saja bagi seorang pria membuang bungkus rokok atau puntung rokoknya sembarangan, atau biasa bagi seorang ibu membuang popok bayinya tanpa pengamanan yang memadai ke tong sampah yang terbuka di depan rumahnya, atau terasa biasa bagi kita membuang sampah seenaknya ke selokan. 

Padahal, akumulasi dari seluruh sampah-sampah yang biasa dibuang sembarangan ini dapat menyumbat aliran air selokan di sebuah tempat, menyebabkan pendangkalan sungai di tempat yang jauh dari asal sampah , atau bahkan mencemari laut dengan gunungan sampah kiriman yang mengancam kelangsungan hidup biota laut.

Pernah pada suatu ketika, saat saya masih bekerja di dinas kebersihan di kampung ini, mendapati kenyataan bahwa kecepatan petugas kebersihan mengangkut sampah kalah jauh dari kecepatan warga membuang sampah dengan seenaknya. 

Ini bukan soal ketidakpercayaan kepada pemerintah yang dianggap tidak becus mengelola sampah, perilaku buruk aparat yang mengakibatkan ketimpangan antara output pekerjaan yang dibiayai negara dengan hasil pekerjaannya mengangkut sampah. 

Namun, ini adalah soal perilaku dan kesadaran diri sendiri manusia, dan kelangsungan hidup ras manusia di sebuah planet yang semakin renta dengan beban yang semakin berat.

tumpukan sampah di selokan (dokpri)
tumpukan sampah di selokan (dokpri)
Pada suatu hari, seorang konsultan lingkungan yang sedang mengerjakan proyek pembuatan masterplan pengelolaan sampah di daerah ini kebetulan bertemu dengan saya di lapangan. 

Melihat kami bersama para petugas kebersihan bekerja mengangkut sampah secara manual dan nyaris tanpa alat perlindungan dari kemungkinan infeksi berbagai bakteri di tumpukan sampah yang kami angkut, ia mendekati kami dan mengobrol sebentar.

"Wah, sampahnya parah ya pak, sudah berapa lama tidak diangkut ini?" tanyanya.

"Barangkali sudah lebih lima hari pak, soalnya sudah banyak lalatnya. Katanya telur lalat menetas setelah lima hari kan pak, aromanya juga sudah sangat-sangat..hufff.." 

Saya menjawab dengan sungkan seolah saya baru saja sadar kalau sampah yang sudah lama tidak diangkut itu baunya menyengat. Padahal itu adalah keseharian yang nyaris setiap hari saya lakoni selama tiga tahun bekerja di sektor pengelolaan sampah.

Bagi daerah yang sudah relatif maju manajemen persampahannya dan ditunjang sarana prasarana pengelolaan sampah yang memadai, mungkin persoalan sampah ini tidak seburuk di daerah-daerah dengan sistem manajemen pengelolaan yang primitif dan sarana prasarana yang tidak memadai. 

Apalagi ditambah perilaku buruk masyarakat dalam membuang sampah sembarangan. "Jepang saja butuh waktu tigapuluh tahun mengubah mindset warganya agar bisa seperti sekarang ini dalam mengelola sampahnya pak", kata konsultan itu entah berbohong atau sekedar menyemangati. 

Tapi kalau kesadaran itu tidak mulai dibangunkan hari ini juga, saya tidak bisa membayangkan seperti apa Jepang dan seperti apa negeri kita tiga puluh tahun yang akan datang.

Saat ini, seringsekali dalam waktu-waktu senggang, saya membawa anak-anak ke sebuah taman kecil di kota ini. Sudah menjadi kebiasaan kami, sebelum pulang memunguti sampah-sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung taman. 

Ada kemasan makanan ringan milik anak-anak, sampah plastik tempat makanan bawaan ibu-ibu, hingga sampah make-up. Nyaris semua bentuk sampah ada di taman yang kecil ini dan dihasilkan oleh berbabagai kelompok umur.

mengutip sampah di taman (dokpri)
mengutip sampah di taman (dokpri)
Apa yang saya coba tanamkan kepada anak-anak dengan melakukan kebiasaan ini bukanlah sebagai sebuah pencitraan, sengaja memungut sampah-sampah di hadapan orang-orang di taman untuk mencari perhatian. 

Karena kebanyakan orang-orang di taman memang sama sekali tidak memperhatikan, semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing tanpa menyadari bahwa sampah merekalah yang dipunguti oleh anak-anak yang saya bawa ke taman. 

Jadi tidak heran, perilaku membuang sampah sembarangan seperti seolah tidak terlihat namun dapat dirasakan. 

Semua orang mungkin akan menghujat pemerintah pada suatu kota yang sedang dilanda banjir yang dikabarkan adalah akibat saluran drainase yang sumbat, tanpa mau berpikir mungkin sampah mereka sendiri yang menyumbatnya karena dibuang sembarangan ke selokan.

Jostein Gaarder, seorang penulis buku sekaligus guru filsafat di sebuah sekolah menengah di Norwegia bahkan memandang bahwa permasalahan terbesar pada zaman kita sekarang adalah masalah lingkungan.

Sehingga fokus pengembangan filsafat juga diarahkan ke ekologi filsafat atau ekosofi. Namun, tanpa harus rumit berfilosofi pun kita dapat mengambil kesimpulan tentang perilaku tidak mau tahu dalam pengelolaan sampah ini.

 Kesimpulannya, jangan buang sampah sembarangan, apalagi ke selokan.

Membuang sampah ke selokan, di depan rumah kita sendiri mungkin belum menjadi masalah bagi kita untuk saat ini, tetapi pada suatu titik di suatu tempat itu pasti akan sangat menyusahkan, bahkan membahayakan.

Manajemen pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah di kampung kita mungkin belum baik, tetapi sebagai bagian anggota masyarakat janganlah ikut-ikutan bermental tidak baik, dengan berpikir  yang penting "aku senang, aku menang, persetan orang susah karena aku, yang penting asyik, sekali lagi asyik."

Refleksi dari seorang Peter Parker, yang merasa bersalah atas kematian pamannya, Uncle Ben, yang ditembak mati oleh seorang penjahat yang melarikan uang curian dari sebuah pertandingan tarung bebas.

Peter sengaja tidak mencegatnya, padahal ia lebih dari mampu untuk melakukannya. Akhirnya penjahat itu mencoba merampas mobil pamannya dalam sebuah sekuel film Spiderman mungkin bisa menjadi analogi. 

Kata Peter: "Suatu hal yang kita anggap sebagai sesuatu yang bukan urusan atau masalah kita dan kita tidak mau tahu tentangnya, sering kali kemudian menjadi hal yang betul-betul membuat kita bermasalah dan sangat menyesalinya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun