Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Jane" dan Upaya Mendefinisikan Ulang Manusia

29 November 2018   00:20 Diperbarui: 29 November 2018   18:42 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Janethemovie.com

Jane adalah judul sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Brett Morgen, yang dirilis pada tahun 2017. Pada tahun yang sama, film ini memperoleh penghargaan Washington D.C. Area Film Critics Association Award untuk dokumenter terbaik, juga nominator untuk BAFTA Award dan nominator film dokumenter (feature) terbaik versi Golden Globe Award tahun 2018.

Film ini merupakan hasil kompilasi rekaman video 100 jam yang direkam oleh Baron Hugo van Lawick, seorang fotografer National Geographic kelahiran Surabaya, Indonesia.

Sebuah rekaman yang belum pernah ditonton oleh Jane sendiri, sempat dinyatakan hilang, sebelum ditemukan kembali pada tahun 2014. Rekaman video panjang itu diringkas oleh sutradara Brett Morgen menjadi film berdurasi 1 jam 30 menit, berisi kehidupan simpanse di habitatnya di alam liar sekaligus kisah kehidupan Jane di taman nasional Gombe, Tanzania.

Pada tahun 1957, Dr. Louis Leakey, seorang palaeoantropolog, mendapat hibah untuk melakukan riset selama enam bulan tentang simpanse.

Curiga dengan praktik yang tidak jujur dalam bidang ilmiah, Dr. Leaky lebih memilih seseorang yang punya minat dalam penelitian tentang hewan, meskipun ia tidak punya reputasi ilmiah agar bebas dari bias teori, untuk menjalankan risetnya.

Maka, ia memilih Jane, sekretarisnya, yang berkebangsaan Inggris. Jane tidak punya gelar akademis dan sertifikat di bidang sains, tapi sangat antusias dengan pelestarian dunia satwa.

Lima bulan di pedalaman Gombe, Jane seperti tidak belajar apa-apa, hanya bisa mengamati simpanse dari kejauhan dengan teropongnya. Setelah lima bulan, baru dia mulai mendapat semacam persetujuan dari seekor simpanse untuk menjalin interaksi. Setelah berinteraksi beberapa waktu lamanya, Jane mulai mengenali beberapa simpanse dalam kawanan, dan mulai memberi mereka nama.

Ada yang dia beri nama Greybeard, seekor simpanse jantan yang tenang, McGregor, seekor simpanse jantan tua yang agresif dan Flo, seekor simpanse betina dengan hidung bulat dengan bayi yang dia beri nama Flint dan anak simpanse yang lebih besar bernama Fifi.

Sumber: filmmakermagazine.com
Sumber: filmmakermagazine.com
Setelah Jane menemukan fakta bahwa Simpanse mampu menggunakan akalnya dengan menggunakan perkakas sederhana, berupa tangkai ilalang yang dibersihkan daunnya untuk memancing rayap dari lobangnya guna dimakan, maka Jane mulai membayangkan begitu banyak kesamaan manusia dengan primata tua ini. Bahwa bukan hanya manusia yang punya akal dan mampu membuat perkakas. Ia melaporkan temuan ini kepada Dr. Leaky.

Maka Dr. Leaky melobi National Geographic untuk mengirimkan seorang fotografer guna mengabadikan kehidupan simpanse ini dalam gambar dan video. Pada tahun 1960-an diutuslah Baron Hugo van Lawick untuk bekerjasama dengan Jane mengabadikan kehidupan simpanse di habitat aslinya. Setelah sekian lama bekerjasama di hutan, Hugo akhirnya menjadi suami Jane. 

Dari pernikahannya, mereka memiliki seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Grublin. Grub diasuh dan dibesarkan dalam kedekatan hubungan antara ayah, ibu dan anak di alam liar, diantara satwa-satwa liar dan suku asli Afrika di pedalaman Gombe, sebagaimana Flo si ibu simpanse membesarkan anak-anaknya dengan kesabaran dan kasih sayang. 

Grub berkomunikasi dengan ayah ibunya dengan bahasa Inggris, tapi Grub juga mampu berbahasa Swahili bersama orang-orang asli pedalaman Gombe, sekaligus sangat mahir menirukan auman singa, suara hyena, dan satwa liar lainnya karena sehari-hari satwa-satwalah temannya berbicara. Tiada teman, anak-anak manusia.

Demi pelestarian kehidupan primitif bersama Simpanse di pedalaman hutan konservasi di Gombe, Tanzania, yang bagi Jane sudah menjadi bagian hidupnya, maka Jane harus berpisah dengan anak kandungnya di usia enam tahun yang disekolahkan di Inggris. Karena akan sangat sulit bagi Grub untuk tidak terisolasi dari peradaban dan bersosialisasi secara sehat dengan anak-anak usianya, kalau ia tinggal bersama ibunya di hutan.

Jane bahkan akhirnya harus bercerai dengan suaminya yang bekerja sebagai fotografer satwa liar dan menetap di Taman Nasional Serengeti, karena tidak sanggup lebih lama tinggal terpisah jauh dengannya. Hugo akhirnya meninggal pada tahun 2002. Ia dikenal sebagai salah satu fotografer kehidupan alam liar terbaik sepanjang masa.

Taman Nasional Serengeti, Tanzania (windsurfaddicts.com)
Taman Nasional Serengeti, Tanzania (windsurfaddicts.com)
Sepintas, kisah keluarga Jane tampak cukup buruk. Namun, Jane sebenarnya cukup merasa beruntung, karena diberi kesempatan untuk bisa dekat dan diterima oleh kawanan satwa liar seperti Simpanse. Disana Jane menemukan kalau kebenaran bisa lebih terasa asing daripada fiksi, fiksi bahkan berubah jadi ramalan.

Di Gombe, Jane tinggal diantara Simpanse dan burung-burung liar serta beragam serangga. Ia mempelajari banyak hal di sana. Ia bahkan merenungkan tentang perlunya mendefinisikan kembali kita sebagai manusia, atau mungkin menerima simpanse sebagai manusia. Di hutan Gombe bersama Simpanse, Jane mendapatkan sudut pandang baru dalam memandang hidup. 

Kata Jane, di hutan, kematian tidaklah tersembunyi. Ia hadir di sekeliling kita setiap saat. Kematian setiap generasi selalu disertai lahirnya generasi baru sebagai penerus spesiesnya. Kita ternyata bukan satu-satunya mahkluk yang punya kepribadian, punya akal, altruistik, mempunyai kekuatan emosi dan kelemahan fisik.

Mempelajari primata lainnya di luar manusia, membuka jendela bagi kita untuk bisa melihat ke masa lalu, bagaimana perkembangan pengetahuan kita saat ini, yang merupakan hasil pengumpulan kisah kesuksesan maupun kelemahan kita di masa lalu.

Perkembangan ini membawa kita kepada suatu tanggung jawab yang besar untuk menciptakan lingkungan hidup baru di planet yang sedang terancam keberlangsungannya akibat ancaman dari spesies manusia, kita, yang tidak berpikir.

Pada Oktober 1986, Jane mendirikan Yayasan Roots dan Shoots, sebuah yayasan yang bekerja untuk menginspirasi anak-anak tentang kesadaran akan konservasi dan perlindungan alam liar. Kata Jane, dengan kesadaran yang dimilikinya, dia merasa berhutang untuk membagikannya kepada siapa saja di belahan bumi mana saja, terutama kepada anak-anak, supaya mereka kelak menjadi pelayan yang lebih baik dari kita.

Menonton film Jane dalam penerbangan Garuda Indonesia, selama 1 jam 59 menit, menempuh jarak 4.267 km dari Kuala Namu Deliserdang, mengingatkanku kepada celotehan seorang teman yang suka melakukan penalaran mendalam akan kehidupan, akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, siapakah kita? kenapa kita ada? Kata kawan saya itu: "kucing adalah manusia yang pantas. Karena kucing tidak pernah memanggul senjata dan tidak pernah menguburkan sesamanya dalam kuburan massal"

Kata Jane: "manusia memang lebih unggul dalam membuat bahasa lisan yang canggih, sophisticated spoken language, sebagai salah satu spesies di planet ini. Namun, manusia yang tidak berpikir justru mengancam kelangsungan hidupnya sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun