Pasar, menurut Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 4 (Jakarta: PT. Temprint, 2012, hlm. 385) adalah sebuah drama zaman kita. Kata itu bukan lagi menunjukkan suatu tempat berjual-beli. Ia sudah identik dengan kegiatan jual-beli itu sendiri, yang melintasi letak, melampaui batas.
Bahkan pasar telah telah menjadi semacam energi yang ajaib, dan kapitalisme mengubah dunia dan membangun mitos-mitosnya dengan itu. Bertolt Brecht benar: bukan komunisme, melainkan kapitalismelah yang radikal. Pasar meruntuhkan pelbagai hal, menumbuhkan pelbagai hal. Â
Pada suatu hari di bulan September 2017, aku pergi berbelanja kebutuhan dapur sendiri ke pasar karena istri kurang sehat. Ikan nila, kacang panjang, bumbu masak, buah semangka, kacang koro, semuanya tersedia di pasar tua ini, Pusat Pasar Kabanjahe.
Sebagian hal yang mencirikan perbedaan kelas para pembeli yang berduyun-duyun dalam kerumunan terlihat dari cantiknya riasan muka, wangi parfum yang semerbak, pakaian yang dikenakan serta banyaknya barang belanjaannya.
Tapi satu hal yang pasti, seluruhnya harus tetap rela terciprat lumpur yang sama, lumpur yang juga menciprat silusuh dan sedikit belanjaannya. Sedikit atau banyak lumpur yang terciprat tergantung kemampuan dan kejelian memilih pijakan, jelas sekali tidak tergantung penampilan si pembeli.
Hampir di setiap tempatku berbelanja, aku bertemu orang-orang yang kukenal, hampir semuanya ibu-ibu, dan sebagian besar adalah kenalan sejak masa kecil. Maklum saja, tempat tinggalku adalah kampung kecil dan kami semua tumbuh besar disini, hanya saja saya jarang berbelanja.
Setiap orang mempunyai hak yang sama, tak perlu menundukkan kepala kepada pembeli yang wangi, yang berpakaian rapi dan banyak belanjaannya.
Kau bebas berbuat apa saja sepanjang dalam koridor hukum. Tapi kalau kau tidak punya uang, engkau lumpuh tak bergerak. Engkau bebas membeli apa yang kau suka, tapi kalau kau tidak punya uang engkau cukup menonton saja. Ini pun salah satu kemenangan demokrasi.
Teriakan penjual ikan menyadarkanku dari lamunan, "Bang, ini ikannya!" teriaknya. Lalu berteriak pula tukang beca pengangkut barang dari belakang, "Awas Beca!", maka jebret! lumpur pun menciprati celana setelan cutbray terbaik yang kupunya, karena aku berbelanja ke pasar langsung sepulang ibadah di gereja.