Pasar ini memang bukan pasar malam, disini manusia berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula kembali pulang.
Zarathustra tiba di tempat orang ramai berjual-beli dan ia pun berkata: "Larilah, kawanku, ke dalam kesendirianmu! Kulihat kau jadi tuli oleh suara riuh orang-orang besar dan tersengat oleh orang-orang kecil. Hutan dan karang tahu benar bagaimana jadi membisu bersamamu. Jika engkau seperti pohon kembali, pohon yang bercabang lebar yang kau cintai, dengan tenang dan sepenuh hati ia menjulurkan dirinya ke laut. Dimana kesendirian berhenti, pasarpun mulai, dan dimana pasar mulai, mulai pulalah riuh dan rendah para aktor besar dan desau kerumunan lalat beracun." (Goenawan Mohamad, Marxisme Seni Pembebasan, Jakarta: Tempo & PT. Grafity, 2011, hlm.179).
Selain banyak menemukan para penjual besar, si pemilik kapital, di pasar kita juga dapat dengan mudah menemukan orang-orang kecil dan orang-orang yang patut dikasihani, yang jumlahnya banyak ibarat lalat beracun menurut gambaran Zarathustra.
Dalam soal membeli, ada yang mampu dan yang tidak mampu. Yang tidak mampu membeli mungkin akan mengalami proses komoditisasi sendiri, dengan harga yang mungkin murah sekali.
Karena sekarang, apa yang dulunya tidak dijual menjadi bisa dijual, dan selama bisa dipertukarkan maka jadilah itu komoditas. Segala sesuatu yang bisa dipertukarkan akan menghasilkan uang.
Goenawan, op.cit., hlm. 200, mengutip Milton Friedman, seorang monetaris dari Chicago yang mengatakan bahwa pasar adalah sebuah tempat pergulatan yang paling adil.
Meskipun di pasar ada yang kalah dan yang menang dalam persaingan, tidak ada yang harus dikecam. Kalah dan menang adalah bagian dari hidup, dan keduanya harus diterima.
Hanya yang berani menempuh risiko yang layak mendapatkan kehormatan, biarpun gagal. Orang-orang menjual dan membeli tidak hanya karena terpaksa dan tanpa pilihan, tetapi sebagai cara manusia untuk memberi makna akan hidupnya, untuk memenuhi permintaan dan penawaran. Â Â
Banyak yang berubah dengan kios-kios kecil yang menjajakan makanan ini. Setelah memesan semangkok misop ayam, aku bertanya ke ibu yang berjualan di sini, "masih ramaikah anak-anak sekolah makan di sini bu?" tanyaku.Â
"Yah, zaman udah berubah pak, sekarang sepi anak-anak. Mereka sudah lebih senang nongkrong di cafe-cafe yang ada wifi gratisnya pak", kata ibu itu dengan lirih. Memang setelah kuperhatikan, kios yang dulu dinding-dindingnya dipenuhi tulisan-tulisan tangan anak sekolah, terkadang hampir menggapai plafon kios, berisi pernyataan cinta monyet anak-anak usia SMP dan SMA pada tahun-tahun 1980-1990an, sekarang sudah tidak ada lagi.