Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Hutan, Ada Cinta dan Keindahan

21 November 2018   01:12 Diperbarui: 21 November 2018   01:17 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Sibayak (dokpri)

Teringat kisah satu regu pasukan Inggris pada Perang Dunia Kedua yang berhasil menyelamatkan diri dan kembali pulang ke keluarganya masing-masing dengan menyanyikan lagu Hymne The Pooh, yang berisikan syair tentang kerinduan untuk pulang ke rumah. 

Mereka menyanyikan himne itu dari satu api unggun ke api unggun lainnya di malam berikutnya. Maka aku mengumpulkan ranting-ranting kayu untuk membuat api unggun. Aku bermaksud menarik perhatian teman-teman agar berkumpul di sekitar api unggung dan sedikit mengalihkan ketegangan, sehingga kami bisa lebih tenang membuat perencanaan.

Sekembalinya dari mengumpulkan ranting kayu, penjaga pondok di pintu hutan sudah tiba di lokasi kami dengan motornya. Aku memanggil Her yang masih sibuk membongkar barang, dan mencoba menjelaskan situasi kami kepada penjaga dan merencanakan apa yang akan kami lakukan. 

Anggi masih sibuk dengan kuskus, Kanaya memperhatikan aku dan penjaga pondok dengan raut muka makin cemas, sementara Lukman dan Prita duduk di onggokan batang kayu sambil menenangkan Kevin yang sudah mulai menangis, sedangkan Fred masih belum kembali juga.

Penjaga akhirnya setuju dengan rencana kami, disepakati bahwa yang ikut dengan penjaga ke pondok adalah Anggi, karena bagaimanapun Kanaya tidak akan berani sendirian dalam gelap, sementara Anggi mungkin bisa menemukan konten yang cocok untuk instagramnya. Lukman dan keluarganya bagaimanapun juga harus menunggu mobil jemputan dari kota karena mengejar keberangkatan pesawat ke Jakarta pukul 7.00 besok.

Ada terpancar rasa tidak setuju di wajah Anggi, karena masih penasaran dengan kuskus, namun sadar dengan kondisi kakinya yang terkilir ia pun segera naik ke boncengan motor si penjaga. Aku lalu menyalakan api unggun dan memanggil kawan-kawan mendekat.

Hari sudah menunjukkan pukul 18:00. Aku menjelaskan rencana kepada teman-teman. Mobil dari kota mungkin baru akan tiba pada pukul 20:00, maka semua perlu membagi bekal yang ada pada masing-masing orang, karena di mobil hanya tersisa dua pax nasi kotak yang tidak cukup dimakan berlima atau berenam kalau Fred sudah kembali.

Oh ya, aku baru sadar kalau Fred sudah pergi kurang lebih setengah jam yang lalu. Aku minta kepada Her dan Lukman untuk menjaga situasi, mengingat saat gelap hewan malam suka mencuri bahan makanan atau barang-barang bawaan. 

Aku berjalan ke arah hutan yang rimbun dimana suara peluit tadi aku duga adalah dari Fred. Ternyata benar, suara itu adalah bunyi peluit milik Fred, yang tersengal-sengal dan terduduk di bawah sebuah pohon kayu yang besar. Kata Fred, sesaat setelah ia buang air besar, tiba-tiba datang seekor babi hutan yang tertarik dengan keluaran Fred, maka Fred pun sontak meniup peluitnya untuk mengusir si babi. Memang babi itu ketakutan, namun naasnya babi itu berlari sambil menyeruduk ke arah Fred. Untunglah ia bisa menggunakan tongkatnya untuk menangkis. 

Lagipula bagi seorang ahli biologi pengikut Alfred Wallace yang sangat memahami evolusi Darwin, maka sedikit banyak Fred memahami perangai hewan-hewan di habitat aslinya, hanya saja faktor usia membuat Fred sedikit sudah payah.

Tiba di api unggun waktu sudah menunjukkan pukul 18:15. Kami tiba bersamaan dengan kedatangan si penjaga pondok. Kami sepakat bahwa yang diboceng selanjutnya ke pondok adalah Fred, bagaimanapun Anggi membutuhkan obat-obatan di tas Fred untuk mengobati kakinya yang terkilir. Fred sebenarnya berkeras agar Prita dan Kevin saja duluan, karena cuaca yang semakin dingin tidak baik untuk penyakit asma yang diderita Kevin. Namun, setelah aku menjelaskan situasinya Fred akhirnya setuju ikut ke pondok dengan penjaga, namun atas sarannya Kevin dibawa oleh orang tuanya ke mobil Her agar bisa lebih terlindung dari udara dingin hutan.

Di depan api unggun, Kanaya terlihat mulai sedih karena sebenarnya ia tidak terlalu suka kehidupan di alam bebas, ditambah lagi situasi yang sepertinya sudah diluar kendali. Kenyataan bahwa saat ini dia ada di hutan semata-mata karena desakan Anggi kakak kelasnya. 

Dia bertanya buat apa orang harus repot-repot ke alam liar, ke hutan, ke gunung, apa manfaatnya selain kerepotan yang mungkin ditimbulkannya. Aku menjawab dengan mengutip syair pada original sound track film Gie, bahwa dengan berbagi waktu dengan alam, kita akan tahu siapa diri kita sebenarnya, belajar hakikat manusia. 

Mungkin Kanaya tersadar kalau dirinya lebih banyak menambah kesulitan-kesulitan saja dengan ketakutannya yang terkadang kekanak-kanakan. Menyadari hal itu, Kanaya menjadi sedikit lebih memberanikan diri dan lebih kooperatif apabila ada penjelasan-penjelasan untuk dilakukan.

Selama kurang lebih satu jam sudah mobil yang kami tumpangi mogok, aku teringat kembali suatu pelajaran tentang kepemimpinan dari John Maxwell, leadership is influence, nothing more nothing less, bahwa kepemimpinan adalah tentang mempengaruhi, tidak lebih tidak kurang. Apakah sekarang aku sudah berhasil mempengaruhi Kanaya sehingga ia menjadi lebih bekerjasama, aku kurang tahu.

Lima belas menit kemudian sipenjaga tiba di lokasi. Karena Lukman, Prita dan Kevin anaknya tidak mungkin menginap dipondok, sementara Her harus ikut ke kota supaya besok bisa segera memperbaiki radiator mobilnya yang rusak dan kembali lagi untuk memasangnya, maka Kanaya yang selanjutnya akan dibonceng ke pondok. 

Namun Kanaya menolak, katanya mau tetap tinggal bersamaku menemani Lukman sekeluarga dan Her di sekitar api unggun, menunggu mobil jemputan dari kota. Tapi aku tegaskan bahwa Kanaya tidak akan bisa ikut ke kota karena mobil sedan itu hanya bisa mengangkut empat orang. Kanaya tetap tidak mau ikut ke pondok, katanya dia baru mau pergi ke pondok bersamaku setelah Lukman, Prita, Kevin dan Her berangkat dengan mobil ke kota.

Mendengar itu aku jadi teringat sepenggal ungkapan puisi Soe Hok Gie dalam Mandalawangi-Pangrango :

Senja ini, ketika matahari turun

Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali

Kedalam ribaanmu, dalam sepimu

Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna

Aku berbicara padamu tentang cinta dan keindahan

Dan aku terima kau dalam keberadaanmu

Seperti kau terima daku

Entah mengapa terjadi perubahan drastis pada Kanaya, dari semula takut pada gelap, pada alam liar dan hewan, menjadi seolah sangat bersahabat dengan alam serta sangat solider kepada teman, tapi yang penting bagiku adalah agar teman-teman mau bekerjasama melewati kondisi ini.

Seperti ditulisakan oleh Jemy Confido pada malajah Lionmag edisi Juli 2014, bahwa dalam menggunakan pengaruh untuk mengarahkan orang lain dengan cara memenuhi egonya, pada saat itu pula ego kita tidak terpenuhi, dan itulah tantangan sekaligus seni kepemimpinan. 

Tidak penting ego siapa yang dimenangkan, yang penting adalah tercapainya tujuan, disitulah letak pentingnya membuat orang lain merasa dirinya penting. Tujuan bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat, tetapi untuk membuat orang-orang melakukan apa yang diinginkannya sesuai tujuan kita.

Karena Kanaya bersikeras, maka mengingat mobil jemputan itu masih akan tiba satu jam lebih, sipenjaga meminjamkan motornya untuk dipakai olehku dan Kanaya untuk kembali ke pondok begitu Lukman, anak, istrinya dan Her berangkat ke kota, sementara dia sendiri kembali ke pondok berjalan kaki, karena katanya dia lebih menguasai medan hutan itu, ketimbang meninggalkan aku dan Kanaya berjalan kaki ke pondok.

Sambil menunggu mobil jemputan, kami mendengar nyanyian kecil Lukman dan istrinya untuk menenangkan sikecil Kevin. Aku sendiri sambil berdiang membayangkan bagaimana Billy Moon atau Christopher Robbin dalam Winnie The Pooh, bersama-sama ayahnya dalam petualangan mereka tanpa ada ibu dalam hari-harinya bersama di desa kecil dan petualangan imajinatif mereka di hutan Hundred Acre Wood. 

Allan mau tetap menganggap Billy Moon sebagai anak kecilnya yang haus perhatian dan kasih sayang. Ada pelajaran tentang pentingnya membagikan kesenangan dengan orang yang kita sayangi, karena kita tidak tahu hari besok akan seperti apa.

Aku terkejut, ketika Kanaya menggamit lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku, karena semakin malam cuaca memang semakin dingin, dan Her pun menambahkan ranting-ranting kayu ke api itu. Mungkin kamipun semuanya sebentar lagi akan selamat berkat Hymne The Pooh itu dan api unggun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun