Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mendefinisikan Ulang Arti Pekerjaan

15 November 2018   19:45 Diperbarui: 18 November 2018   20:14 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: flickr/alancleaver

Dalam sebuah buku filsafat berjudul Dunia Sophie, karangan Jostein Gaarder, dijelaskan cara pengenalan ciri manusia dengan kata kunci filsafat, katanya: untuk menandai masyarakat dengan budaya beraliran romantisme tanyakan apa yang disukainya, maka kita dapat mengetahui dari mana dia berasal, sedangkan untuk menandai masyarakat kelas beraliran dialektika materialis tanyakan apa yang dia kerjakan, maka kita dapat mengetahui siapa dia.

Banyaknya pembahasan mengenai sulitnya mencari pekerjaan di masa-masa dewasa ini, sebenarnya perlu bagi kita untuk mendifinisikan kembali apa itu pekerjaan masyarakat. 

Mengutip pidato Mark Zuckerberg pada saat kelulusan mahasiswa Harvard angkatan 2017, sebagai seorang mantan mahasiswa yang drop out dari universitas yang sama, maka dialektika pendefinisian ulang apa itu bekerja menjadi menarik.   

Kata Mark, "film dan kultur pop seringkali salah dalam hal ini. Gagasan tentang momen 'eureka!' adalah kebohongan yang berbahaya. Hal itu hanya akan membuat kita merasa canggung karena kita tak punya apa-apa. 

Gagasan tersebut menghalangi orang yang memiliki ide cemerlang untuk segera memulai." Lagi katanya, "bagaimana dengan menghentikan perubahan iklim sebelum kita menghancurkan planet ini dan melibatkan jutaan orang memproduksi dan memasang panel surya? Bagaimana dengan menyembuhkan semua penyakit dan meminta relawan melacak data kesehatan dan membagikan data genome mereka? 

Hari ini kita menghabiskan uang 50 kali lebih banyak untuk menyembuhkan orang sakit ketimbang menemukan pengobatan untuk mencegah penyakit. Hal ini tidak masuk akal. 

Kita mampu memperbaikinya. Bagaimana dengan memodernkan demokrasi sehingga setiap orang bisa memilih secara online, dan mempersonalisasikan pendidikan agar setiap orang bisa belajar? 

Pencapaian-pencapaian ini berada dalam jangkauan kita. Mari kita wujudkan dalam berbagai cara yang mampu memberikan peran bagi setiap orang dalam masyarakat. Mari kita lakukan hal-hal besar, tak hanya demi menciptakan kemajuan, tapi untuk menciptakan tujuan."

Di akhir pidatonya, Mark mengajak para wisudawan agar sebelum berjalan keluar dari gerbang Harvard untuk terakhir kalinya, untuk duduk di depan Gereja Memorial, dan berdoa dengan doa Mi Shebeirach, yang dia ucapkan setiap saat ketika dia menghadapi tantangan. 

Doa yang dia nyanyikan kepada putrinya sembari memikirkan tentang masa depannya, sambil menidurkannya di buaian. Doa itu berbunyi: "Semoga sumber kekuatan yang memberkahi setiap orang, membantu kami menemukan keberanian untuk membuat hidup kami sebagai anugerah." (sumber)

Sumber: astrologymemes.com (@ayolebihbaik)
Sumber: astrologymemes.com (@ayolebihbaik)
Mempertentangkan gagasan dan definisi tentang pekerjaan dari orang-orang seperti Mark, dengan gagasan dan definisi tentang pekerjaan dari masyarakat kita umumnya, mungkin tidak lepas dari kebiasaan dan karakter yang mencirikan dua kebudayaan yang berbeda.

Karakter dari orang-orang yang hidup dari budaya yang melahirkan orang-orang seperti Mark, adalah budaya dari orang-orang yang memiliki tingkat kepercayaan diri sangat tinggi, termasuk sangat mempercayai kekuatan dari mimpi-mimpi besarnya.

Sementara itu, ada pula hubungan yang kuat antara kepercayaan dengan kebahagiaan menurut orang-orang Skandinavia. Bagi mereka (lima negara skandinavia), sangat tidak lazim bekerja lembur dan bekerja di akhir pekan. 

Namun, mereka adalah negara-negara yang sangat produktif, dan terbiasa dekat dengan alam. Menurut Prosperity Index (Indeks Kesejahteraan) tahun 2014, 74% orang Norwegia mengatakan mereka merasa bisa mempercayai orang lain, sedangkan 83% dari orang Swedia mengatakan mereka percaya terhadap pemerintah mereka untuk melakukan sesuatu yang benar. 

Beberapa studi dokumen menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara kepercayaan dan kebahagiaan, di mana kepercayaan memicu pelepasan oksitosin, yaitu hormon yang berhubungan dengan cinta, kebahagiaan, dan ikatan.

Merenung-renungkan pendapat orang-orang itu, saya menjadi teringat sebuah kejadian dengan anak saya yang masih duduk di bangku sekolah kelas satu Sekolah Dasar. Sesaat setelah tayangan berita mengenai pidato Presiden tentang Jack's Unlimited dan Mobile Legend yang disampaikan Presiden dalam ceramahnya di hadapan para siswa yang ditayangkan salah satu stasiun televisi berita, maka kata Jack anak saya itu, cita-citanya kelak adalah menjadi youtuber, entah darimana dia bisa mendapat ide seperti itu di usia tujuh tahun.

Lain lagi dengan adiknya, Revano sibungsu yang berumur empat tahun. Di usianya yang empat tahun, dia sudah menikmati seluruh isi sebuah album video lagu-lagu rohani. 

Rumitnya susunan sel saraf manusia adalah salah satu masterpiece sang pencipta, karena memungkinkan anak usia empat tahun mengenal detail seluruh lagu sampai susunan melodi instrumen musik yang mengiringinya. 

Tanpa mempedulikan mana introduction, yang mana bagian utama lagu dan yang mana ending, dia bergumam hampir sepanjang lagu di album menirukan melodi gitar akustiknya, karena keterbatasan pemahaman dan kosa kata, maka sebenarnya ia belum mampu mengucapkan syair lagu dengan benar. 

Saya pun menyadari kalau dia adalah anak zamannya, dan saya anak zaman saya. Bahwa di zaman kini ada orang yang bekerja sebagai youtuber, buzzer, gamers, bahkan kompasianer mungkin adalah sebuah realita.

Benturan dari dua generasi yang berbeda memungkinkan timbulnya guncangan pengenalan (the shock of recognition), kata Hegel. Dalam salah satu ceramahnya di tahun 1803-1804, Friederich Hegel menguraikan apa yang disebutnya sebagai "kehidupan yang menggerakkan diri sendiri", meskipun sebenarnya ia hidup dari bentuk-bentuk yang mati. 

Di dalamnya, yang semula hidup sekan membeku, ibadah jadi aturan ritual, yang disembah jadi berhala, yang etis jadi hukum, pikiran jadi formula, kesenian jadi klise, alam jadi proyek, dan benda yang berarti cuma benda yang setiap saat bisa ditukar dengan benda lain. Zaman yang berubah, menghadirkan banyak sekali goncangan pengenalan dalam perjalanan hidup.

Kita mungkin khawatir anak-anak kita tidak menjalani kehidupan konvensional dengan bagaimana umumnya hidup yang kita bayangkan, ada pernikahan, memiliki anak dan karier untuk menaruh sedikit keteraturan pada dirinya sendiri, tapi sebenarnya mereka adalah anak zamannya yang dipelihara dengan cara-cara yang terkadang diluar akal kita oleh zamannya.

Dalam novel fiksi filsafat Dunia Anna karangan Jostein Gaarder, dijelaskan bahwa sifat manusia ditandai dengan sebuah kemampuan memandang secara horisontal terus-menerus. Kita senantiasa menjelajah dengan pandangan kita dan mencari berbagai kemungkinan bahaya atau peluang. 

Dengan begitulah kita secara alami dapat mempertahankan diri kita dan orang-orang yang kita sayangi. Tapi, kita tidak memiliki kemampuan alamiah yang sama untuk melindungi generasi sesudah kita, apalagi melindungi spesies lain di luar spesies kita sendiri. Boleh saja kita berharap akan sebuah penyelamatan di dunia. 

Namun, tidak ada jaminan bahwa yang menanti kita adalah sebuah langit baru dan bumi baru. Sungguh diragukan bahwa ada kekuatan dari luar bumi yang akan turun dan menerapkan pengadilan. Tapi suatu hari nanti kita akan diadili oleh para penerus kita sendiri. Kalau kita lupa memikirkan mereka, mereka tidak akan pernah melupakan kita.

Dari cerita di atas, saya percaya dengan keyakinan Yohanes Calvin, bahwa sebenarnya tidak ada pribadi yang tidak menyadari kekuatan Allah, seberapa kuat pun ia menyangkalnya. 

Kata Calvin, saat angin berhembus kepadanya, orang mungkin dengan mudah menyangkal Tuhan, bahkan menertawakannya. Namun, pada akhirnya saat penderitaan datang menghampirinya, maka ia akan mulai berdoa dan dengan suara tersendat-sendat memohon pertolonganNya. 

Sifat awal setiap manusia adalah baik, tetapi karena pengaruh lingkungan, manusia berubah menjadi jahat. Setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruk dalam dirinya, kesempatan yang masih kita miliki semata-mata karena kemurahan hati dan kesabaran-Nya.

Semoga kita semakin menemukan keberanian untuk membuat hidup kita sebagai sebuah anugerah apa pun pekerjaan kita. Selamat menghidupi hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun