Apa yang Anda Pikirkan?
Pertanyaan singkat ini mampu melakukan represi terhadap kesadaran jutaan manusia dewasa ini, sehingga alam bawah sadar mengambil alih kendali atas kesadaran kita. Bahkan melalui kecerdasan buatan, serangkaian pertanyaan lainnya seakan mampu memetakan apa yang kita inginkan, apa yang kita pikirkan, oleh karenanya kita larut dalam jawaban-jawaban di dunia yang tidak kasat mata.Â
Dari percakapan bersama beberapa teman sampai dini hari tadi, saya mencoba memikirkan arah kecenderungan otak kita bekerja saat ini yang sudah sangat dipengaruhi oleh kerja kecerdasan buatan.
Dalam salah satu bagian bukunya yang berjudul Marxisme Seni Pembebasan (Jakarta: Tempo & PT. Grafity, 2011, hlm. 182), Goenawan Mohamad menjelaskan mengenai komodifikasi.Â
Komoditas mengandung pertentangan dalam dirinya, sesuatu yang konkret sekaligus abstrak. Ia tampil dalam bentuk, warna, aroma, tekstur yang menggugah, merangsang indra, menggetarkan imajinasi, tapi pada saat yang sama ia jadi abstrak, yang sifat hubungannya dengan manusia sepenuhnya kualitatif, majemuk dan berbeda, selain untuk pemuas kebutuhan melalui manfaat dan guna, komoditas juga menjadi pemuas tanda kelas.
Dari komoditas nilai tukarpun lahir, karena komoditas dapat dipertukarkan, komoditas diabstraksi jadi sederet ekuivalen, masing-masing sebagai titik dari basis skala yang sama, yang diukur melalui harga.Â
Secara sosial nilai ekuivalen diterima secara umum melalui uang. Dengan uang ada yang didapat, namun ada pula yang hilang. Ekonomi pasar membuat terjadinya proses dimana hal yang sebelumnya tidak diperjualbelikan pun menjadi komoditas, disebut komodifikasi.
Komodifikasi yang gemuruh membuat hubungan sosial seakan lenyap dan tak jadi konkret lagi, yang saling berhubungan adalah komoditas satu dan lainnya. Manusia menjadi tenggelam dalam peradaban masyarakat ekonomi dalam pasar.Â
Ia tidak bisa menentukan dirinya sendiri. Hal ini telah menjadi telaah panjang setelah Nietzsche dan Marx, dua pandangan yang sejajar terkait materialisme historis dan zoroastrianisme, yang memandang setiap komoditas lain hanya sebagai bentuk penampilan dari nilainya sendiri.
Saya berasumsi kalau kata komodifikasi adalah penggabungan dari kata commodity modification, atau modifikasi komoditi, maka bukan tidak mungkin proses komodifikasi atas pikiran pun berpotensi menjadikan pikiran sebagai komoditi, objek yang diperdagangkan dengan nilai ekonomi tinggi. Dalam ekonomi, permintaan dan penawaranpun saling mempengaruhi dan dilayani melalui sebuah pasar.
Mengutip tulisan Goenawan Mohamad (Ibid., hlm. 184), bahwa saat ini kita hidup pada abad masyarakat ekonomi, masyarakat konsumsi, dimana ekonomi pasar berkuasa. Dengan kata lain kita hidup pada sebuah pasar, dimana kita dikerumuni benda-benda dan begitu banyak tempat bercermin.Â