Ia melakukan ketiganya sekaligus. Berlari sambil menangis bahagia. Sampai di rumah ia menceritakan semuanya kepada neneknya.
Singkat cerita, Sangap berangkat ke Yogya setelah sebelumnya ia dan neneknya menikmati makan siang terakhir mereka. Lauknya telur dadar ayam kampung peliharaan neneknya.
Di Yogya, Sangap menjalani kuliahnya di UGM dengan semangat dan tekad membara. Anak kampung yang hidup dari hasil berjualan telur ayam kampung juga pasti bisa, pikirnya.
Ia adalah mahasiswa penerima beasiswa. Oleh sebab itu dia tidak terlalu pusing memikirkan biaya kuliahnya. Namun, dia tetap juga kuliah sambil bekerja, karena dirasanya sudah pasti bahwa hasil berjualan telur ayam kampung neneknya tak akan cukup lagi menghidupinya di Yogya.
Pada suatu kesempatan liburan, Sangap kembali pulang ke kampungnya. Tanpa menaruh dendam, yang pertama ia cari adalah ibu dan bapanya.
Ia sangat yakin kalau masih ada sisi baik dalam diri ibu dan bapanya, kalau tidak ia pasti sudah mati sejak bayi. Barangkali kesulitan hiduplah yang membuat ibu dan bapa tidak bisa bersikap hangat padanya.
Seperti ungkapan orang bijak, bahwa setiap orang pasti sanggup membuat limun kalau hidup memberinya cukup lemon. Tetapi apa daya, ibu dan bapanya adalah orang tak punya.
Sangap berhasil menemui ibu dan bapanya secara terpisah. Dia menceritakan semua kisahnya, mulai dari sejak ibu dan bapanya meninggalkan rumah neneknya.
Tanpa paksaaan, Sangap mengundang ibu dan bapanya datang ke rumah Nini Iting untuk merayakan natal keluarga. Hari itupun tiba, satu-satu mereka datang dalam canggung. Sangap dan Nini Iting sudah menunggu di rumah.
Sama dengan Sangap, Nini Iting bersikap diam selama ini bukan karena dia sudah tidak sayang dengan anak dan menantunya. Nini Iting merasa bersalah karena tidak mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak yang tangguh dan berbakti kepada orang tua.
Menyayangi ayam kampung saja dia bisa. Apalagi menyayangi anak yang lahir dari kandungannya, pastilah dia sanggup merelakan raga dan nyawanya.