Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Sunyi, Lewat Kenangan Merajut Mimpi

30 Oktober 2018   17:40 Diperbarui: 13 Agustus 2019   15:51 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jl. Muli Br Sebayang No. 8 Kabanjahe, bersama GMT

Saat itu, pada suatu sore di tanggal 13 Juni 1997, kami bertiga laki-laki, siswa kelas tiga sekolah menengah pertama di kampung kami dengan langkah tergesa penuh kecemasan menapaki halaman sebuah rumah tua di belakang sebuah bangunan bekas bioskop yang sudah ditutup. Halaman rumah itu asri dengan pohon jambu air yang tumbuh belum begitu tinggi, dua batang cemara salju dan pagar hidup di kedua sisinya serta sebuah mobil kijang petak yang terlihat sangat bersih terparkir di pelatarannya.

Siapapun yang pertama kali melangkahkan kaki ke sana akan langsung menerka kalau pemiliknya pastilah orang tua yang sangat pembersih dan bisa saja kurang suka dengan tamu-tamu yang kadang kala memang tidak terlalu peduli dengan tata krama. Namun, bukan itu yang membuat kami bertiga cemas. Di teras rumah sudah berkumpul belasan muda-mudi yang lebih dewasa, barangkali anak-anak SMA, laki laki dan  perempuan. Tidak ada sambutan khusus menyadari kehadiran kami bertiga, kecuali sapaan seorang laki-laki yang dengan sikap resmi mempersilakan kami untuk duduk berbaur di antara mereka. Barangkali dia adalah  pimpinan mereka gumamku dalam hati, melihat ia berinisiatif saat yang lain tetap duduk dalam sikap takzim di kursinya masing-masing.

Begitulah, setelah ia menyampaikan maksud kehadiran kami kepada teman-temannya ia mempersilakan kami memperkenalkan diri satu persatu, dan entah bagaimana jalannya tanpa prosedur yang resmi, sejak saat itu  kami diterima menjadi anggota baru sebuah grup musik tiup satu-satunya yang ada di kampung ini. 

Karena kami hadir di penutupan sesi latihan vokal grup yang adalah salah satu bagian ritual rutin latihan mereka, maka satu persatu yang wanita pergi meninggalkan tempat latihan. Saat yang tinggal kami laki-laki semuanya, kami bertiga disuruh ke gudang di bagian belakang rumah mengikuti panduan seorang senior di antara mereka untuk bersama-sama mengangkat alat-alat musik tiup ke teras rumah, tempat  latihan kami.

Kesan pertama saat masuk ke dalam rumah, tetap tanpa tahu pasti siapa pemilik rumah, membuatku semakin yakin kalau pemiliknya  pastilah orang yang terbiasa hidup dalam sunyi dan tidak terlalu suka berada di antara kebisingan dan kerumunan orang-orang. Udara di rumah sedikit terasa pengap dan lembab seperti jarang dibuka. Tetapi semua  perabotan bersih dan tertata rapi.

Saat seluruh alat musik sudah dipindah ke teras, kami bertiga sangat terkesima. Aneka ragam alat musik tiup yang baru pertama kali kami temui, beberapa bahkan terlihat aneh bagi kami, mulai diambil setiap orang dari mereka. Lamunan kami pecah, tatkala senior yang memang merupakan pimpinan mereka menyuruh kami untuk mengikutinya duduk di bawah pohon jambu sambil membawa buku tulis yang memang sudah kami persiapkan dari rumah, sementara yang lain berlatih di teras rumah.

Di buku tulis itulah, guratan-guratan tanda nada, nilai dan simbol not, interval-interval nada dalam susunan mayor dan minor, susunan tangga nada dalam kromatik mol dan krois, nada-nada enharmonis, serta beberapa komposisi not balok dalam susunan berbagai birama pada notasi kunci G dan F sebagai bahan latihan kami dalam mempelajari ketukan sesuai nilai not, dengan hentakan kecil ujung telapak kaki yang berfungsi sebagai metronom. 

Pernah pada suatu hari, setelah empat tahun kemudian sejak saat itu, menjelang waktu berangkat bersama dengan adik-adik anggota pemusik tiup untuk pelayanan mengiringi ibadah penguburan seorang anggota jemaat yang meninggal dunia di Kabanjahe, seorang ibu dari salah seorang anggota pemusik tiup memberitahu kalau anaknya tidak bisa ikut pelayanan, karena saat itu adalah masa-masa ujian Ebtanas SMP dan besoknya juga masih ada ujian. Karena kebiasaan Bulang, panggilan kami kepada pembina kami, yang adalah sang pemilik rumah, yang tidak akan beranjak satu langkahpun dari perintahnya yang jelas dan pasti sudah dengan berbagai pertimbangan yang matang, maka saya sebagai anggota yang paling tua tidak berani mengizinkan untuk anaknya tidak ikut dan saya sarankan agar ibu itu langsung saja menelefon Bulang. Hanya ada telefon  rumah pada masa itu.

Tidak berselang setengah jam, si anak dari ibu yang minta permisi itu datang dengan berlari terengah-engah. Setelah kami tanyakan kenapa dia jadi datang padahal ibunya tadi sudah memberitahu bahwa dia tidak ikut, anak itu memberi tahu isi percakapan ibunya dan Bulang  melalui pesawat telefon, katanya:

Ibu : "Pak, saya ibunya si anu, saya minta anak saya tidak usah ikut main terompet hari ini, karena besok dia masih ujian."
Bulang : "O iya, tidak apa-apa. Saya seorang bekas guru, sampean juga  seorang guru. Saya paham, karena besok ujian tentu anak sampean baru  belajar hari ini. Ya, silakan anaknya sampean belajar saja."
Ibu : @#@%$%^&Y*(U*U*U?

Dari hasil pembicaraan yang singkat itu akhirnya si Ibu menyuruh anaknya untuk segera bersiap dan menyusul kami yang segera akan berangkat melayani dengan musik tiup (tentu saja dengan buku di tas masing-masing yang akan kami baca saat ada waktu luang di sela-sela pelayanan dan ibadah penguburan). Walau dia tidak pernah mengatakannya, Bulang seperti mengatakan lewat sikap dinginnya yang kelewatan, bahwa belajar itu adalah sikap keseharian bukan hari ini saat besok akan ada ujian.

Benar kata Jim Collins : "Semua organisasi punya tradisi, sebagian organisasi punya disiplin, tetapi hanya sedikit organisasi yang punya tradisi disiplin. Ketika organisasi diisi dengan orang-orang yang disiplin maka saat itulah tidak diperlukan hirarki. Ketika organisasi memiliki budaya disiplin maka saat itulah tidak diperlukan birokrasi."

Sampai hari ini, di masa dimana aku bisa kembali beberapa kali sambil membawa anak-anak di teras itu, aku tidak pernah berhenti takjub, tersenyum dalam hati. Terpikir olehku, entah siapa dan bagaimana ia memulai semua kurikulum pedagogi otodidak ini. Latihan kami adalah latihan tanpa guru dan pelatih, karena setiap orang adalah guru dan pelatih bagi mereka yang datang kemudian. Semua orang  adalah alat musik itu sendiri tatkala partitur menghanyutkan kami dalam harmoni sebuah komposisi. Waktu itu, kami tidak bertahan sampai akhir tetap bertiga, sebagaimana kami mendaftar bertiga pertama kali. Sebagaimana hidup melakukan seleksi, begitulah pada saatnya setiap orang  memang akan mencari jalannya sendiri sendiri.

Teringat sebuah lagu vokal grup yang biasa dinyanyikan, Tuhan jadikanlah daku sebuah alat musikMu, yang tertulis di halaman depan sebuah buku berisi catatan  nama-nama orang yang pernah belajar di grup ini, baik yang bertahan maupun yang keluar di tengah jalan, serta catatan keuangan masuk dan keluar yang kami sebut "buku kas" dan diwariskan turun temurun kepada salah seorang yang dituakan pada setiap generasi. Yah, not dan tanda nada hanyalah simbol-simbol yang diam, tetapi akan segera berbicara tatkala dibaca dengan alat musik yang dihidupi.

Tak peduli seberapa berat beban hidup yang kau miliki, dari mana kau berasal, apa warna kulitmu, tinggi atau rendahkah status sosial keluargamu, terhormat atau hinakah derajat nenek buyut di garis silsilah keturunanmu, sepanjang engkau memainkan alat musik yang sesuai dan mematuhi nilai not dan tanda nada partitur di hadapanmu, bersama mereka saudara saudara di kiri dan kananmu, engkau akan mendengar alunan lagu yang membawamu hanyut tenggelam dalam alammu sendiri. Saat itu hanya endorfin yang memacu adrenalin, bulu roma yang merinding, tetesan air mata atau senyum yang tersungging yang mampu mengungkapkan apa yang kau rasakan dan resapi.

Hari ini, saat membuka-buka catatan pada buku tulis isi lima puluh lembar bermerek "Boya Family" tahun 1997 ini, aku teringat semua rasa yang hanya terbaca dalam buku-buku partitur tua yang sebagian besar kini sudah tiada, lama kemudian setelah buku tulis ini tak kusadari lagi ternyata masih ada. Dia yang bernyanyi dalam tangga nada berbeda adalah saudara dalam harmoni, seorang saudara yang tetap menaruh kasih setiap waktu meski di jalan sunyi menapaki mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun