Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Relevansi Semangat Sumpah Pemuda di tengah Tantangan Era Post-Truth

29 Oktober 2018   16:38 Diperbarui: 4 November 2018   11:26 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, kerapatan pemuda yang teridiri dari antara lain Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, dll mendeklarasikan sebuah sumpah yang sangat penting sebagai pendorong pertumbuhan semangat kebangsaan dan nasionalisme Indonesia, Sumpah Pemuda, itu terjadi pada 90 tahun yang lalu, di negeri Jakarta. 

Setelah 90 tahun, dimanakah relevansi semangat sumpah pemuda, di masa dimana fakta, fiksi, fantasi, ide, narasi, imajinasi dan retorika berbaur rapat, sehingga satu sama lain seakan tak ada bedanya satu sama lain. Kebenaran dibangun atas dasar "kesadaran" pribadi sendiri-sendiri di tengah arus deras informasi dan perkembangan pesat teknologi.

Apa yang benar dan yang salah, apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan, yang dinilai oleh logika untuk dipilih sebagai tindakan oleh kehendak, menempatkan kesadaran menjadi sesuatu yg nyaris tanpa nilai. Kita hidup di tengah peradaban post-truth.

Oxford Dictionaries, salah satu kamus online terkemuka di dunia yang dibuat oleh Universitas Oxford, telah memilih 'post-truth' sebagai 'Word of the Year' atau 'Istilah Tahun Ini', pada 2016 yang lalu. 

Menurut Oxford Dictionaries, 'post-truth' diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Dikutip dari yahoo.com, Oxford Dictionaries melacak asal muasal istilah 'post-truth' dan menemukan fakta bahwa seorang penulis keturunan Serbia bernama Steve Tesich memakainya pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992 tentang skandal Iran-Contra dan Perang Teluk. Secara sederhana, 'post-truth' digunakan ketika fakta-fakta tidak lagi relevan dalam politik.

Maka, jika dulu pada 28 oktober 1928, para pemuda sanggup bersumpah bertanah air satu, berbangsa yg satu dan menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia, realitasnya bahwa tantangan utk mewujudkan itu belum usai atau tak akan pernah usai. Apalagi sekarang dengan banjirnya informasi, didukung perkembangan massif teknologi, kita sedang berada di dunia hiperrealitas.

Hiperealitas digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi. Hiperealitas adalah makna untuk mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan "kenyataan" sejati di dunia, di mana keanekaragaman media dapat secara mengakar membentuk dan menyaring kejadian atau pengalaman sesungguhnya.

Bagi Jean Baudrillard, seorang teoriwan, keadaan hiperrealitas mempertentangkan simulasi dan representasi. Simulasi bagi Baudrillard adalah simulakrum dalam pengertian khusus, yang disebutnya simulakrum sejati, dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri.

Maka, tak heran, meski mengaku dimulut bertanah air, berbangsa dan menjunjung bahasa Indonesia, dalam tindakan itu selalu dan masih saja penuh cobaan. Karena masing-masing mendefinisikan kenyataan dan kebenaran menurut versinya sendiri. Tak jarang publik figur, seseorang yg ditokohkan dan dijadikan panutan pun hidup dalam praktik keterbelahan; antara ucapan dan perbuatan, antara kognisi dan emosi, hidup menghayal dalam kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun