Masyarakat kita adalah masyarakat yang rada-rada aneh. Disebut begitu karena seringkali terjadi bukannya korban tindak kekerasan seksual memperoleh keadilan yang sepantasnya bila diungkap  kasusnya, malah sebaliknya disalahkan.
Contohnya ketika kasus pemerkosaan terjadi, korban tetap disalahkan mengapa berpakaian mini, mengapa jalan seoang diri, dan sebagainya. Padahal yang sinting adalah pelakunya. Pelaku, bila merupakan manusia normal dan sadar norma sosial, dia tidak akan memerkosa korban sekalipun korban jalan sendirian di tempat sepi dengan pakaian nyaris bugil. Hanya hewan yang bisa sembarangan melampiaskan nafsu.
Contoh lain adalah kisah teman penulis, warga Tangerang juga. Dia alami yang namanya diperkosa suami selama rentang waktu 16 tahun perkawinannya. Lebih dari satu dasawarsa hidup dalam tekanan psiskis karena sewaktu-waktu suami dapat memerkosanya. Istilah diperkosa suami pada kebanyakan kita mungkin terasa janggal. Padahal ini adalah tentang pemaksaan oleh suami terhadap istri. Temanku itu punya 4 anak, masih kecil-kecil. Tak punya pembantu di rumah yang membuatnya mesti berjibaku sendiri melayani putra-putrinya yang cilik-cilik. Sudah capek seharian mengurusi anak, malamnya suami pulang kerja main minta jatah saja.
Masyarakat kita akan salahkan istri apabila tidak layani permintaan suami. Maka, dalam keterpaksaan dan sisa-sisa tenaga habis dipakai mengurus anak seharian, dia pun wajib melayani nafsu seksual suami. Ketika dia menolak, tamparan dan bogem mentah  mendarat di tubuhnya yang sudah remuk seharian. Setelah coba bertahan selama 16 tahun, teman ini pun kemudian hari berani gugat cerai, karena anak-anak rata-rata sudah bisa kerjakan sendiri kebutuhannya di rumah, mulai dari makan, mandi, belajar, dll.
Si teman bukannya mendapat simpati dari orang tuanya, malah disalahkan mengapa minta cerai. Kedua orang tua tetap saja tak mau mengerti sekalipun ditunjukkan beberapa ruas jari tangannya yang bengkok-bengkok dipatahkan suami.
Nah, kasus-kasus seperti ini sangat rumit untuk menyeret pelaku ke ranah hukum negara karena masyarakat telah terbiasa hidup dalam budaya yang mengistimewakan lelaki sementara payung hukum negara untuk korban nyaris tak ada. Maka, kerumitan ini baru bisa terurai apabila yang duduk di jantung birokrasi adalah aktifis yang mengerti dengan baik problem yang dialami para korban tindak kekerasan seksual.
Hadirnya aktifis pejuang hak-hak korban tindakan pemerkosaan diyakini akan mampu menerbitkan aturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum positif bagi korban memperjuangkan haknya. Untuk kapasitas Saras, barangkali hadir lewat terbitnya Perda Perlindungan Korban Tindak Kekerasan Seksual yang lebih meenyapa warga Tangsel.
Karena itu, orang seperti Saras ini perlu didukung pencalonannya. Tujuannya tak lain agar bila pasangannya di Pilkada kelak mengurus hal-hal lain menyangkut kesejahteraan hidup warga Tangsel, Saras selaku wakil setidaknya bisa maksimal membantu korban-korban pemerkosaan memperoleh hak-haknya.
Dengan kata lain, Saras perlu didukung dan dipilih agar baik perbuatan maupun kata bisa berjalan seiring dalam menata nasib para korban tindak pemerkosaan. Di sana, apa yang sudah dia buat dengan Yayasan Partha-nya menjadi semakin maksimal memberikan dampak bagi warga Tangsel.Â
Selamat berjuang, Mba Saras!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI