Mohon tunggu...
Aven Jaman
Aven Jaman Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Menjadi Berarti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Hanya Tak Punya Malunya Komisioner KPAI Ini, Tololnya Juga Tak Ketolong

26 April 2020   15:47 Diperbarui: 26 April 2020   15:38 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu artinya, menjadi seorang pejabat publik apalagi sekelas komisioner, dituntut untuk memiliki kecakapan intelektual untuk banyak bidang juga, tak hanya kecakapan atau kepakaran akan bidang yang ditangani (baca: untuk case Sitti Hikmawaty tentu bidang KPAI) semata. Tanpa kecakapan pada multibidang, seseorang pejabat publik bisa ngawur dalam membuat pernyataan.

Pada sebagian pejabat yang sadar tidak begitu banyak bidang yang dikuasainya, akan memilih no komen apabila ditanyai wartawan mengenai sesuatu yang tak dikuasainya. Ini menghindarkannya dari membuat pernyataan sesat untuk publik. Namun, pada Sitti Hikmawaty kita menemukan "keberanian" membuat pernyataan untuk kasus yang tidak dikuasainya secara ilmiah.

Itulah kesalahannya. Kesalahan yang pasalnya tak ada dalam kode etik Komisioner KPAI. Maka, kalau dia berkilah tak ada pelanggaran yang dilakukannya bila merujuk pasal-pasal kode etik KPAI ya memang benar. Namun, tak tertera pada pasal-pasal kode etik tak serta-merta berarti tak pantas direkomendasikan untuk diganti/dipecat secara tak terhormat akibat ngawur membuat pernyataan publik.

Sebab apa? Syarat menjadi pejabat publik adalah tidak hanya tunduk pada apa yang tertulis. Mereka dituntut lebih. Tuntutan lebihnya adalah pada segi moral publik. Bila menimbulkan sesat pikir pada publik ya patut dipecat.

Jadi, sampai di sini mudah-mudahan poin kesalahannya sudah bisa dipahami pembaca. Giliran berikutnya adalah tentang kebebalannya.

Untuk poin ini, sengaja saya tidak akan singgung lagi soal pernyataan bebalnya yang jadi pangkal tolak rekomendasi pemecatannya. Nyaris semuanya sudah tahu bahwa pernyataannya tersebut adalah menyesatkan.

Yang mau aku ketengahkan di sini adalah kebebalannya justru tentang keengganannya untuk diganti. Mengapa ini disebut sebuah kebebalan?

Karena jabatan Komisioner KPAI, sebagaimana pula jabatan komisioner lainnya adalah jabatan milik negara, bukan jabatan akibat kelahiran. Di sini maksudnya adalah jabatan komisioner KPAI mesti dilihat dalam konteks bentuk negara yang berlaku.

KPAI adalah lembaga milik Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara yang bukan kerajaan, bukan monarki. Karenanya, menjadi pejabat di KPAI adalah mengikuti perintah UU negara yang berlaku. Beda cerita apabila Indonesia adalah kerajaan dan jabatan-jabatan di pos-pos penyelenggara negara adalah mutlak milik anggota keluarga kerajaan. Itu pun bila Sitti adalah salah satunya.

Nah, karena Indonesia bukan kerajaan, ya Sitti mesti tunduk pada tuntutan mekanisme pemilihan, pengangkatan dan pemecatan akan pengisi pos-pos jabatan penyelenggara negara yang berlaku. Kalau ngotot tak mau diganti, fix, itu bebal, tolol yang tak ketolong.

Masa iya, tunggu dipaksa polisi karena membangkang pada perintah UU sih, Bu? Gelar akademik doktormu dibeli di mana sih sampai bisa pekok kayak orang tak kenal bangku sekolah? So please, legawalah!(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun