Seperti apa yang selalu terjadi di negara tercinta Indonesia, apa pun yang masuk di Indonesia akan menjadi lain ketika sampai pada masyarakat Indonesia.Â
Lagi pula  apa sih yang enggak jadi salah tafsir dan salah kaprah ketika sudah menjadi konsumsi banyak masyarakat Indonesia, suatu hal yang masuk ke Indonesia akan jadi khas Indonesia dengan segala peleburan dan uniknya masyarakat Indonesia, semakin banyak yang mengonsumsi semakin melenceng pada apa yang semula diharapkan saat awal pembuatan.Â
Contohnya banyak, mulai dari mode busana, gaya hidup bahkan sampai pada hal yang cukup genting, seperti turun ke jalan. Nah jika di negara lain urusan berdemonstrasi dengan turun ke jalan suatu hal yang genting dan menegangkan di negara kita lain dari yang lain, di negara kita bisa menjadi hal yang melahirkan tawa, mulai dari selebaran yang dipajang atau dengan iringan lagu dangdutan.
Engga, ini tidak sedang ngomongin agama, politik atau Corona, ini ngomongin apa yang sedang dirisaukan oleh banyak pengguna Twitter--- yang risaunya sih warga Twitter yang merasa benar--- Â jadi sekarang warga-warga Twitter banyak yang salah kaprah sama kegunaan hashtag di Twitter, banyak warga Twitter entah hashtag-nya berbunyi apa dan sedang membahas apa, tetapi orang yang salah kaprah ini tetap men-tweet yang isinya foto mereka dengan menggunakan hashtag yang sedang ramai jadi perbincangan.Â
Sebenarnya, enggak ada yang salah, tapi ya enggak nyambung dan risi aja lihatnya. Semisal hestek-nya berbunyi #KimJongUnmeninggal terus kamu men-tweet foto kamu dengan hashtag itu, ya kan wajahmu itu bukan Kim Jong un, lagi pula kalo benar kalian Kim Jong Un ya kamu pas meninggal ngapain upload foto, ya kan serem.
Coba kita cari sejarah awal mula hashtag itu apa, mengutip apa yang pernah dibahas oleh media Ralalino.id tulisnya: sejarah hashtag pertama kali digunakan oleh twitter pada tahun 2009. Ini berawal dari usulan seorang pengguna twitter bernama Chris Messina pada tanggal 23 Agustus tahun 2007.
Butuh dua tahun bagi twitter untuk kemudian memakai tanda pagar itu sebagai hyperlink atau bahasa Indonesianya Pranala (sebuah acuan dalam dokumen hiperteks ke dokumen yang lain atau sumber lain. Seperti halnya suatu kutipan di dalam literatur) dan kemudian menjadi fitur resmi mereka dan diberi nama hashtag.
Di Indonesia sendiri, hashtag kemudian diterjemahkan sebagai tagar (dari tanda pagar). Kata tagar itu telah resmi ada di KBBI V sebagai pengertian kedua; Inet label berupa suatu kata yang diberi awalan tanda pagar dalam pesan pada layanan mikroblog.Â
Sebelum pengertian ini masuk, tagar dalam KBBI berarti guruh atau guntur. Hashtag diterjemahkan menjadi mempunyai tanda/label lalu ke tanda pagar (karena menggunakan simbol '#') dan disingkat menjadi tagar, lalu menjadi kata baru.
Sebuah bukti bahwa bahasa adalah salah satu produk kebudayaan yang dinamis. Ada peristiwa abreviasi atau biasa kita menyebutnya dengan pemendekan bentuk pada pembentukan kata itu. Di twitter, hashtag pertama kali ditujukan untuk mengumpulkan satu topik atau percakapan agar mudah dicari sebagai penanda kategori. Sebut saja demikian. Artinya, penggunaan hashtag haruslah mendukung percakapan atau narasi besar.
Nah jadi hashtag itu ditujukan untuk mengumpulkan satu topik atau percakapan, ya jadi kalo kamu men-tweet dengan pasang muka selfiemu dan pakai hashtag yang sedang ramai dipercakapkan atau perbincangkan ya enggak nyambung, sampai sini paham ya. Tapi ketidaknyambungan ini mungkin sudah mereka ketahui tapi enggak mereka sadari, pada tahap ini, permasalahan kadang timbul. Bedanya tahu dan sadar itu lumayan penting.
Jika sebatas mengetahui kita jarang mengamalkan pengetahuan kita, nah jadi pengetahuan yang kita miliki itu masih berjarak dengan diri kita, kalo sadar itu sudah masuk dalam tahap mengetahui dan paham akan pengetahuan itu dan diamalkan dalam hidup.Â
Simpelnya, semua orang tahu berbuat kebaikan itu baik, tapi berapa banyak sih yang melakukan kebaikan. Semua tahu baca buku itu bisa buat pintar dan banyak pengetahuan, tapi berapa banyak sih di Indonesia yang rajin baca buku (bisa banyak, pas mau ujian tapi).Â
Nah orang yang melakukan kebaikan itu tidak hanya sekadar tahu melainkan sudah sadar. Perbedaan inilah yang mendasari kenapa kekeliruan itu tetap terjadi, dan mungkin juga tetap melakukan kekeliruan dan salah kaprah akan hashtag ini disebabkan mereka ingin tetap up-to-date akan hal yang sedang ramai jadi perbincangan.
Pertama-tama sih harusnya cari tahu dulu apa yang jadi maksud hashtag itu, tapi ajaibnya warga Twitter di kita mereka malah menanyakan dengan men-tweet dan memakai hashtag itu.Â
Contohnya, jika #PolrisiapamankanJKT sedang ramai diperbincangkan, nah warga-warga Twitter yang ajaib dan salah kaprah ini malah men-tweet "Polisi aja ngamanin Jakarta, ini kamu gamau ngamanin aku gituuuh?" Plus pakai "#PolrisiapamankanJKT" beserta "wajah selfie-nya".Â
Dalam hal ini ya enggak salah, apalagi dalam hal bertanya, tapi ya ngapain juga menyertakan foto selfie-mu, pertanyaannya pun bukan bermaksud mencari tahu maksud dari hashtag itu tapi ya sekadar basa-basi buat dapat perhatian.
Tapi ya enggak semua warga Twitter sekarang seperti itu, banyak juga dari pengguna Twitter di kita menggunakan hashtag dengan memberikan info untuk membantu, seperti #TwitterDoYourMagic, atau mengarsipkan tweet-tweet yang setema dan serupa dengan hashtag yang dibuat sendiri, lagi pula Hashtag erat kaitannya dengan tanda, dan hashtag adalah tanda yang diberi makna. Semacam bahasa, bisa diberi makna denotatif atau konotatif, Â bisa kita isi dengan semau kita dan sistemnya suka-suka.Â
Namun yang sering salah kaprah dari memakai hashtag biasanya yang sering salah kaprah dalam melakukan hal ini adalah muda-mudi yang mungkin, mungkin lho ya, yang emang butuh follower untuk teman mutualans, mangka dari itu mereka menunggangi hashtag untuk foto selfie mereka.Â
Bisa juga, bisa juga lho ya, yang salah kaprah ini nyangkanya Twitter, Instagram kali ya, yang isinya cuman upload-upload foto doang. Itu juga yang kalo upload foto di Instagram upload-nya foto selfie tapi pakai kata-kata mutiara a la sufi.
Nah jadi kalo dulu kata Rene Descartes "aku berpikir maka aku ada" sekarang "aku upload selfi-ku dengan apa pun hashtag-nya maka aku ada".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H