Apa tujuan hidup?Â
Apakah hidup kita memiliki makna? Pertanyaan di atas, absurd bagi Camus.Â
Apa yang absurd? Adalah konfrontasi antara (dunia) yang irasional dan kerinduan hebat akan kejelasan yang panggilannya menggema di kedalaman hati manusia.
Manusia berkecenderungan untuk selalu mencari nilai dan makna dalam hidup, namun dalam hal pencarian itu manusia mempunyai ketidakmampuannya untuk menemukan. Absurd bukan?
Kenapa manusia bisa menemui dan merasakan perasaan absurd? Ini dikarenakan kodrat manusia yang seutuhnya menginginkan adanya penjelasan yang sifatnya menyeluruh, absolut. Namun di sisi lain, dunia ternyata telah menyembunyikan dan hanya menjanjikan penjelasan tersebut secara setengah-setengah, sehingga manusia dituntut oleh keinginan dan naluriahnya untuk terus mencari kebenaran yang sejati dan hakiki, namun bagaimanapun kebenaran yang dicari itu selalu terselimuti kabut Ilahi.
Persengketaan antara dunia, pikiran manusia dan ketergantungan pada situasi dunia inilah yang ternyata membuat manusia tidak dapat memahaminya lagi, dan dari sini manusia merasakan keabsurdan hidup.
Namun dari sadar dan ketidaksadarannya pada keabsurdan hidup, manusia selalu mencari cara untuk menghadapinya.
Pertama, Suicide yaitu lari dari eksistensi. Cara ini menyangkal fakta-fakta yang terjadi pada hidupnya dan tidak ingin menghadapi kehidupan yang tidak sesuai dengan ideal yang di angankannya.Â
Cara ini menjadikan manusia menemui keterpurukan, ekstremnya menyalahkan takdir dan mengambinghitamkan Tuhan, bunuh diri adalah satu langkah menyerah sekaligus penggugatan atas kehendak Tuhan. Sebab, Tuhan yang dipercaya mengatur kehidupan.
Kedua, the leap of Faith yaitu lari kepada instansi-instansi keimanan. Bagi Camus cara ini diambil manusia untuk menolak kemampuan individunya dalam hal pencarian makna secara rasional dan ia memilih melompat dan bersandar kepada instansi-instansi yang lebih besar dari dirinya, seperti agama, ormas.  Cara ini dilakukan untuk menemukan ketenangan dan merasakan keresahan bersama-sama dengan pengikut atau anggota lain, Camus menyebut hal ini dengan "bunuh diri filosofis".
Ketiga valid solution yaitu menerima absurditas. Cara ini yang diyakini Camus paling tepat untuk menghadapi keabsurdan dengan menerima keadaan-keadaan absurd yang ada, dan terus menghadapi kehidupan, serta tak berhenti berjuang melawan keabsurdan hidup dan ketidakbermaknaannya dengan cara memberi makna sendiri.Â
Menurut Absurdisme sendiri, manusia sepanjang sejarah selalu berusaha untuk menemukan makna hidup. Namun pencarian ini biasanya selalu berakhir dengan satu dari dua kemungkinan: Pertama, hidup ini tidak bermakna. Kedua, hidup ini memiliki tujuan yang berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi (Tuhan atau Dewa) dan kita dipaksa tetap harus menjalani dan mengimani kehidupan.
Solusi yang ditawarkan Absurdisme, adalah manusia harus menciptakan makna atas kehidupannya sendiri. Kemungkinan tidak obyektif, namun cara ini dapat membuat hidup berharga dan layak untuk diperjuangkan, sebab jika mengisi absurditas hidup dengan kepercayaan (agama) atau makna universal, itu merupakan cara melarikan diri juga, serupa dengan menghindar. Jalan paling pendek bagi seseorang untuk bebas sepenuhnya adalah dengan menerima absurditas itu.Â
Camus memperkenalkan gagasan "Accaptane without resignation" menerima tanpa menyerah. Gagasan ini jalan untuk mengakui absurditas namun tetap tidak menyerah dalam pencarian, dan dalam pencarian tanpa menyerah ini, kita memberi makna dengan cara sendiri terus menerus dan memutuskan pikiran hidup atas pengertian kita sendiri, dan ini dinamai Camus sebagai bentuk pemberontakan.
Manusia pemberontak adalah manusia yang berkata "Ya" terhadap kehidupan, sekaligus secara bersamaan juga menyambutnya dengan "Tidak" pada kehidupan, dalam arti men-tidak-kan akan penderitaan, ketidakadilan, dan keterpurukkan lainnya.Â
Seorang pemberontak, percaya bahwa ada satu "kebaikan" yang lebih penting dibanding takdir itu sendiri dan untuk mewujudkan kebahagiaan, seorang pemberontak tidak pernah menoleh kepada hal-hal adikodrati, supranatural, metafisik dan tidak juga kepada negara.
Seorang pemberontak itu amoral, meskipun tidak secara implisit immoral. Sebab moralitas mengimplikasikan pemahaman yang kaku tentang baik-buruk yang pasti setiap waktu. Seorang pemberontak tidak dituntun oleh aturan moral, tapi oleh integritasnya sendiri. Integritas dalam artian di sini berarti kejujuran terhadap diri sendiri dan konsisten atas motivasi-motivasi yang mendorong pikiran dan tindakan yang akan diambil.Â
Maka, bagi Camus "I Rebel; therefore I Exist".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H