Saat pandemi gini, kita ga usah muluk-muluk. Masih bisa bekerja, tak terkena PHK atau bekerja di luar profesinya, it's oke tidak masalah. Karena saat kita masih dalam 3 koridor tersebut, artinya kita masih beraktifitas dan punya penghasilan.
Kondisi ini bukan bermakna asal bekerja, tapi jalan itu jauh lebih produktif ketimbang mereka yang sudah sarjana, menganggur dan kerjanya cuma menyalahkan pemerintah atau mencari kesalahan orang lain sekaligus menganggap diri tanpa cela.
Tapi kita ke depan mesti profesional, yang bekerja secara penuh yang didukung penuh atas keahlian, keilmuwan dan kapasitas kita sehingga honor atau gaji yang kita terima pun memadai atau setara dengan keprofesionalannya.
Kalau kita bekerja dibayar per jam pun sebetulnya tak masalah. Satu jam pekerja serabutan, satu jam tukang, satu jam mandor, dengan 1 jamnya arsitek, misalnya, tentu akan berbeda efektifitas dan perolehan gajinya. Semua bergantung kesepakatan kerja, ambil contoh seorang host di salah satu televise nasional kita pastikan cuan yang dibawa pulang sangat njomplang antara keduanya.
Hal ini terutama mereka yang bekerja freelance. Memang kondisi itu akan beda dengan kawan-kawan yang bekerja di perusahaan dan dalam pengawasan institusi tenaga kerja, atau TKA di salah satu korporasi domesti. Bagi freelancer bisa saja pekerjaan dibayar model per jam, atau dengan cara per paket, atau lagi secara agregat.
Yang pasti kita akan menjadi apa yang kita pikirkan, kita akan menjadi apa yang kita tuliskan, atau kita akan menjadi apa yang kita kerjakan. Artinya, tidak mungkinlah pekerjaan kita akan mengkhianati pendapatan kita.
Atau dalam bahasa sederhana di Jogja ada yang bilang, "ora obah ora mamah." Itu artinya jika kita tak bekerja sama saja kita tidak bisa makan, atau sebaliknya jika pengin makan ya harus bekerja. Ini juga menjadi bagian spirit dan motivasi sebagian abang becak di kota itu selalu lantang menawarkan moda transportasinya kepada pelanggan dengan penuh sentyum, ramah dan ikhlas yang dbalut otot kawat balung wesi untuk menggambarkan betapa sehatnya mereka.
Jadi, tak baik ketika kita meremehkan kerja yang dibayar per jam. Angka 1 itu pemula, nominal 1 itu juara dan step 1 itu rawan yang membahagiakan. Coba saja kita cermati, siswa kelas 1 SD, para atlet yang naik di podium singgasana peringkat 1 maupun segala sesuatu yang dilakukan pertama kali pastilah tak sepi dari kendala, tantangan juga kenangan. Maka kemudian, bayaran per jam pun, situasi kekinian bakal menyelamatkan kehidupan dan masa depan kita.
Kesempatan Kedua
Jangan pernah jadi orang yang serakah dan nggege mongso. Jadi meski bayaran kita per jam dan kalaupun grade atau kelasnya berlainan tak perlu berkecil hati. Tinggal bagaimana kita cakap menjadi manajer atas penghasilan kita sendiri.
Ketika kita bergiat menabung, sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit, pun tak sulit kita wujudkan impian kita menjadi nyata. Hal ini jauh lebih ringan beban dan emosional kita, ketimbang mengeluarkan biaya yang cukup banyak secara cash dan kita belum siap.