Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Fiksi Horor dan Horor Kita

22 Oktober 2020   09:28 Diperbarui: 22 Oktober 2020   09:44 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Membaca fiksi serasa kita memasuki dunia yang lain, ada sukacita, kesedihan bahkan ketakutan. Salah satunya adalah kala kita membuka satu-satu lembaran buku, majalah maupun media sosial yang berkonten horor.

Horor atau tidak horor dalam kepenulisan sebenarnya tidak masalah, menjadi masalah ketika kita tak pernah mencoba belajar menulis bahkan taka da produksi menulis apalagi bisanya hanya menyalahkan penulis, terlebih dalam menulis fiksi.

Fiksi horor khususnya juga bagian keliaran kreatif kita untuk membuka mata atas isu diproduksi menjadi fiksi yang kadang membawa kita pada situasi dan pengalaman yang menyeramkan, mengerikan, menakutkan, dll.

Mengulik fiksi horor juga membuat kita melompat pada dunia atau pengalaman baru yang tak pernah kita temui. Hal ini sekurangnya bisa menjadikan kita pada stimulus positif dan produktif maupun sebaliknya.

Kala pada saku positif, bisa mendorong kita pada spirit dan passion untuk lebih dekat dengan sang Khaliq dan percaya ada kehidupan lain di luar dunia nyata. Begitupun, sebaliknya pada wilayah  kontra produktif, bisa-bisa kita berburu dan meniru hal yang sama atau mengimitasi perilaku aktor di dalam fiksi tersebut.

Namun sekali lagi, semua berpulang pada kita sendiri. Apakah kita sekuat macan atau kita terlampau letoy dan melempem saat dikoyak "hanya," dengan timbunan fiksi.

Pengalaman penulis membaca fiksi horor, disadari atau tidak disadari, kita seperi diajak turun gunung, terlibat dan menjadi bagian kisah didalamnya. Ada semacam dialog imajiner di dalam dada ini. Percaya atau tidak, dan tentu ini bukan ilusi ataupun delusi. Percakapan maya ini serasa nyata di depan mata, ketika kita turut penghayatan secara intens.

Dialog imajiner dalam fiksi horor ini mampu memompa atau memupuk tunas baru dalam  bermimpi, eksplorasi dan menemukannya. Karena apapun, semua berawal dari mimpi. Kaum muda terutama penulis pun untk memulai satu angel pun tema sampai alur bermula dari harus berani bermimpi. 

Seperti halnya Soekarno pernah mengatakan, "Bermimpilah setinggi langit jika engkau terjatuh, akan terjatuh di antara bintang-bintang." Sampai sekarang potensi fiksi horor termasuk film horor, komedi horor, sinetron horor punya customer sendiri yang tak pernah padam. Banyak kisah horor yang masih tersimpan di kepala para orangtua, kakek nenek kita, pendahulu kita yang bisa kita formulasikan.

Memandikan Bahasa

Sewaktu menulis, membaca dan meyerap kisah fiksi horor, enggak usah terlampau dipikir banget, tidak perlu dibawa larut. Kita mesti cakap mengeloa emosional kita. Jangan sampai kita dikendalikan tokoh dalam fiksi, tapi kita di luar dan tetap menjadi pengendali emosi diri. Jika tidak, maka bersiaplah memasuki dunia alien. Jauh dari kenormalan dana cap terantuk dalam kerumunan subordinat yang terus melata.

Harap menjadi perhatian, fiksi horor adalah proses kreatif, proses bisnis maupun punya core bisnis, seperti halnya menulis di kompasiana dengan segenap segmen segala orientasi. Hanya saja, meruahnya fiksi horor pun jangan sampai kita menjadi bodoh, berubah menjadi penghayal (generasi halu), phobi maupun menerbitkan isme-lain yang ditolak oleh negara maupun nalar publik.

Fiksi merupakan salah satu bacaan penulis, termasuk fiksi horor. Di tengah fiksi ini mendorong kita untuk secara sukarela memandikan bahasa kita secara organik. Belajar merepair, membenahi dan menyempurnakan bahkan membuat indah sekaligus merawat bahasa kita. Tak dipungkiri juga, dari fiksi-fiksi horor terbit bahasa slebor di kalangan komunitas, yang juga bakal menggemukkan hasanah bahasa kita. Apakah ini juga bagian atas horor kita (sendiri)?

Kata Bre Redana, orang membaca tidak hanya buku tapi juga tanda-tanda alam. Dengan cara itu sekurangnya kita tak membuat horor budaya yang ditertawakan di negerinya sendiri maupun tuna budaya yang belum mampu menghormati dan menghargai atas produksi budaya bangsa sendiri. Dalam hemat penulis, fiksi horor juga bisa menjadi salah satu upaya mencegah praktik kelam korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun