Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merangkul Demonstran Pelajar

14 Oktober 2020   14:59 Diperbarui: 14 Oktober 2020   15:05 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali sudah sejak dahulu, kalau anak-anak itu mau melakukan apa-apa serba dilarang. "Jangan bermain korek api, jangan berlari-lari, jangan banyak bicara bahkan jangan malas apalagi, jangan membantah," kalimat itu berangsur terekam hangat di otak anak-anak hari ini. Termasuk, baru-baru ini, diksi pelarangan atau imbauan tak terlibat bahkan ajakan tidak ikut demo dari influencer berdatangan memenuhi ruang media kita. Kekhawatiran, ketakutan dan kecemasan beraduk proteksi.

Anak-anak yang terlanjur turun di jalan dalam aksi demo berkenaan pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja kemarin, sebetulnya tidak sendirian. Ada beberapa hal yang turut menggerakkannya. Pertama, soal solidaritas perkawanan atau geng mereka, entah di sekolah maupun di lingkungannya. Mereka terlampau taat kala kelompoknya memutuskan melakukan satu aksi, kemudian anggotanya dipastikan akan berusaha mengindahkannya.

Kedua, mengadopsi sosok-sosok idola bagi anak-anak remaja atau pelajar, seperti mereka mengenal Soe Hok Gie, Che Guevara, dll sebagai ikon demonstran yang legendaris. Ketiga, anak-anak pelajar yang berdemo, mungkin saja mereka pernah membuka-buka pelajaran sejarah kita, pada era revolusi, tak sedikit kaum pelajar yang terlibat dan berjuang merebut kemerdekaan. Kita pernah punya kesatuan aksi pelajar Indonesia (KAPI), kesatuan aksi pemuda pelajar indonesia (KAPPI) dengan segenap kejuangannya..

Keempat, bisa jadi anak-anak yang berdemo itu juga ingin menunjukkan jika dirinya juga bisa menjadi sosok hebat dan genial. Misalnya saat berorasi atau menyuarakan aspirasinya. Hal lainnya, sebagian pelajar ini juga ada yang gampang terguncang provokasi berikut iming-iming tertentu, sehingga bisa dikatakan cap mau dan berangkatlah ke jalan bersama seniornya (mahasiswa dan pekerja).

Menginginkan pelajar bebas dari politik rupanya sulit kita wujudkan, karena pada dasarnya, karena juga keluarga, media dan lingkungan, pun pelajaran sekolah mengedukasi soal demokrasi, tentang politik dan menyampaikan pendapat, dll. Undang-undang Perlindungan Anak mengatur setiap anak memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, ada prasyarat yang disiapkan agar anak dapat menyampaikan pendapat dengan baik, seperti anak harus mengetahui informasi yang akan disampaikan.

Kemudian, mereka mesti diberi kapasitasi dan pemahaman secara baik kepada anak. Selain itu, ada umpan balik pemangku kepentingan secara langsung terhadap pandangan anak. Juga harus memperhatikan situasi dan kondisi yang ramah terhadap anak, jauh dari konten-konten kekerasan dan memastikan keselamatan jiwa anak. Mungkin saja anak-anak saat demo itu tak mengancam, tapi justu mereka ini sesungguhnya sangat terancam atas kekerasan maupun rentan penularan covid-19, karena kerumunan masa yang tak hirau atas protokol kesehatan.

Jika pun banyak kalangan menyayangkan atas terjunnya pelajar dalam ajang demo itu, semestinya anak-anak maupun pelajar itu mendapatkan pendidikan politik secara proporsional. Misalnya, bisa saja parpol mengundang atau mengajak kaukus OSIS atau forum anak untuk menyampaikan aspirasinya, seperti pada praktik gelaran musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), sehingga sedini mungkin potensi maupun input tersebut dapat dikelola secara baik dan tak ada penyesalan, tak ada bubur.  

Beberapa pandangan mengatakan, kalau pelajar sebagai anak muda itu dugo prayugone durung ono, atau belum memiliki tujuan yang jelas ketika melakukan suatu hal dan mungkin saja bertindak kurang pantas. Maka kemudian, ketika pelajar yang sudah kepalang basah dalam aksi demo, meskipun ia atau mereka ini sebagai aktor atau pelaku demo, tapi sesungguhnya anak-anak maupun pelajar ini hanyalah korban syahwat politik yang keblinger.

Tak kurang baiknya, di sini aparatur bergiat melakukan kontrol siber gua meredam hoaks yang provokatif di media sosial. Hal itu untuk menghindari perlajar turun demo dan mengantisipasi mereka berbuat onar. Karena kerap di dunia maya disalahgunakan untuk melancarkan aktivitas provokasi.

Ramah Anak

Regulasi Mendikbud era Muhadjir Effendy silam, rupanya belum sepenuhnya cukup ampuh memundurkan pelajar dari hasrat demo, maka di sini perlu menggenapkan rengkuhan kita, rangkulan kita atas anak-anak kita atau para pelajar kita yang demo, maka kita mengajak orang tua dan guru berperan serta dalam mengawasi anak-anak. Hal itu demi mencegah anak-anak dimanfaatkan untuk melanggar hukum. Mencegah atau antisipasi pelajar dieksploitasi oleh kelompok-kelompok yang menginginkan kerusuhan pecah.

Memang, tidak ada yang salah ketika anak-anak atau pelajar itu percaya diri dan berani mengkomunikasikan pendapat, saran masukannya di hadapan keluarga, sekolah dan agenda publik lainnya, namun penting dipahami bahwa itu semua harus empan papan. Artinya pelajar ini kita apresiasi berunjuk rasa atau berdemo, namun harus tetap dalam koridor bahasa yang santun dan menghembuskan budaya damai, ramah dan toleran, bukan anarkis sekaligus paham atas tujuan atau orientasinya (bukan melu-melu).

Jika kemudian para senior dari anak-anak dan pelajar bahkan orangtua acap mempertontonkan aksi demo yang barangkali cenderung ekstrem atau anarkis, maka tak menutup kemungkinan mereka akan meneladani tetuanya. Konsisten menjadi ajakan kuat di sini, artinya antara lisan dan perbuatan orangtua, guru, politisi, maupun elit lainnya itu linear, tak ada persimpangan di dalamnya. Karena dalam kacamata anak itu acap berlaku, guru kencing berdiri anak kencing berlari.

Bukan saatnya lagi mencari kambing hitam atas turunnya pelajar dalam aksi demo, tapi lebih bagaimana kita rela bercermin apa yang telah kita lakukan untuk membekali anak-anak kita, pelajar kita punya karakter yang ruh dan spirit di dalamnya penuh dengan konten-konten positif yang menenteramkan, bukan meresahkan.

Menjadi PR bersama, bagaimana politik kita itu ramah anak, bagaimana demokrasi itu memekarkan anak, bagaimana pendidikan itu membuat anak berani dan percaya diri menyampaikan pendapat dan bagaimana kita menjadi lebih berbudaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun