Sepekan silam, DPR RI telah mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang. Banyak reaksi timbul dari berbagai kalangan, utamanya kawan-kawan pekerja. Terjadi demo di berbagai daerah yang intinya menolak UU Ciptaker ini.
Satu pelajaran berharga dari peristiwa demo ini adalah kurangnya pemahaman para pendemo terhadap substansi UU tersebut, dan bahkan ada yang tidak tahu sama sekali mereka berdemo tentang apa. Maka, edukasi secara komprehensif mengenai UU ini kepada masyarakat menjadi sangat penting.
Penting dipahami bahwa Omnibus Law adalah suatu undang-undang yang merangkum sejumlah undang-undang untuk dipadukan dalam satu kerangka undang-undang yang integratif. Semangat dari Omnibus Law ini adalah menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih, panjang dan berbelit-belit. Karena selama ini, Indonesia dikenal dengan banyaknya UU yang bertabrakan, dan salah satu kendala investasi di Indonesia adalah tidak adanya kepastian hukum tersebut.
Dalam Omnibus Law ini ada 79 UU yang diselaraskan dan diintegrasikan menjadi satu "keranjang" Omnibus Law yang mencakup 11 klaster. Ada Klaster Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; Kemudahan Berusaha; Dukungan Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengadaan Lahan; Investasi dan Proyek Pemerintah; serta Kawasan Ekonomi. Salah satu klaster yang mendapat resistensi cukup banyak adalah klaster ketenagakerjaan.
UU tersebut mengubah, menghapus atau menetapkan pengaturan baru, seperti UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; serta mengubah 28 pasal yang ada di UU 13 Tahun 2003, menghapus 32 pasal yang ada di UU 13 Tahun 2003, serta menetapkan pengaturan baru dengan menyisipkan 7 pasal yang ada di UU 13 Tahun 2003.
Sesengguhnya UU Ciptaker hanya mengatur garis besar dan selebihnya diatur dalam Peraturan Pemerintah atau diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Banyak pihak yang khawatir hal-hal tersebut akan menyebabkan perlindungan pekerja menjadi rentan jika Peraturan Pemerintah tidak segera diterbitkan atau Perusahaan tidak membuat Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, sehingga menimbulkan gelombang protes terkait kekhawatiran tersebut. Selain itu, pekerja merasakan UU 13 Tahun 2003 lebih rijit dan detail dalam mengatur ketenaga-kerjaan.
Harus kita akui bahwa pengesahan UU Ciptaker ini tidak memuaskan semua pihak, ada sebagian yang merasa dirugikan. Maka, kita perlu duduk bersama. Pertama yang kita lakukan adalah desiminasi, sosialisasi secara mendalam untuk menyampaikan isi UU Ciptaker.
Selanjutnya, segera diterbitkan PP sebagai peraturan pelaksana. Selain itu, mewajibkan seluruh perusahaan menyusun Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama serta memberikan sanksi tegas apabila tidak menyusun peraturan tersebut.
Yang tidak kalah penting, kita harus memberikan ruang untuk menerima masukan hal-hal yang belum diatur dalam UU Ciptaker agar bisa masuk dalam Peraturan Pemerintah. Kita duduk, ketemu dengan pengusaha, buruh, kita ngobrol, mana yang kira-kira menjadi persoalan dan bagaimana kita melaksanakan itu, sehingga semua akan bisa mengerti.
Jika kita cermati arahan Presiden Jokowi atas Omnibus law UU Cipateker (9/10), sekurangnya banyak membawa berkah bagi aras pedesaan. Â Pasal 109 UU Ciptaker membuka kesempatan bagi desa untuk membentuk perseroan terbatas perorangan yang bisa dilakukan oleh Bumdes dan UMK.
Di sini tidak perlu lagi proses perizinan, pelaku UMKM cukup mendaftarkan saja, dan pemerintah akan memberikan insentif berupa keringanan biaya. Di luar itu, dalam pengurusan sertifikasi halal juga tak berbayar alias gratis. Ini semua menjadi berkah kasat mata maupun yang tersembunyi di balik UU Ciptaker, yakni peluang usaha di desa semakin luas.
Harapan Baru
Selanjutnya, Pasal 117 UU Ciptaker secara eksplisit menyatakan bahwa badan usaha milik desa (Bumdes) adalah badan hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Ditegaskan juga, desa dapat mendirikan Bumdes, yang harus dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Bumdes dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum, serta dapat membentuk unit usaha berbadan hukum.
Karena, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebut Bumdes sebagai badan usaha, namun belum tegas tertulis sebagai badan hukum. Itu bagian yang membebani Bumdes selama ini hingga sulit menjalin kerja sama bisnis dengan pihak lain, serta sulit menjangkau modal perbankan.
Akibatnya, berbagai kesempatan kerja sama, permodalan, hingga perluasan usaha Bumdes terkendala. Bumdes merupakan aset desa-desa di Indonesia yang akan berperan penting bagi pembangunan dan kemajuan desa.
Bumdes sebagai media bagi desa untuk lebih produktif dalam memberdayakan potensinya, sehingga kebijakan pemerintah harus sejalan dan mendukung agar ruang berusaha semakin terbuka luas. Best Practice Bumdes, kita bisa belajar pada Bumdes Ponggok Klaten, Bumdes Pujon Kidul Malang.
Di luar itu, dikutuip dari laman kemendesa.go,id (12/10/2020) UU Ciptaker juga memberikan kemudahan, proteksi dan pemberdayaan kepada Bumdes. Koperasi, maupun UMKM dalam melakukan usaha dan mendatangkan kemudahan arus investasi ke pedesaan.
Dengan demikian, tentu akan berimbas pada banyak terserapnya tenaga kerja di desa dan peningkatan pertumbuhan ekonomi desa, sekurangnya bagi penaikan pendapatan asli desa (PAD). Dengan terbukanya lapangan kerja dan usaha di desa, , maka kemudian akan meredam gelombang urbanisasi yang secara regular menjadi persoalan baru bagi area kota-kota besar.
Jika ada pihak yang tidak setuju dengan UU Ciptaker, bisa mengajukan permohonan agar DPR mereview UU tersebut. Bisa juga menempuh jalur hukum dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Cara-cara seperti ini jauh lebih elegan daripada demonstrasi yang anarkhis dan menimbulkan chaos di mana-mana. Kita tahu, demonstrasi bagian dari demokrasi. Namun, ketika situasi menjadi tidak kondusif, beraktivitas pun menjadi tidak nyaman, investor pun enggan berinvestasi.Â
Siapa yang rugi? Tentu kita semua. Oleh karena itu, perlu kita mengedepankan komunikasi untuk menemukan solusi, bukan aksi anarki yang membuat merugi. UU baru harapan baru. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H