Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ironi Anak sebagai Target Pasar

8 Oktober 2020   15:52 Diperbarui: 12 Oktober 2020   08:27 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tabungan anak. (sumber Thinkstock via kompas.com)

Maka, tak ayal banyak terjadi anak-anak yang dipekerjakan para mafia menjadi pekerja seks komersial, pengemis, kurir narkoba, bahkan ada yang diseret dalam pusaran aksi terorisme. Kita masih ingat pelaku bom di Kartasura beberapa waktu silam, aktornya masih usia anak-anak.

Pada situasi ini, meski anak-anak sebagai pelaku atau subyek alias aktor, tapi sejatinya anak-anak ini hanya menjadi korban para orang dewasa yang hanya ingin melampiaskan syahwat ambisi, menumpuk uang dengan cara sesat. 

Naif bagi kita, saat ini masih saja ada orangtua atau dewasa yang memang bernawaitu menjual atau mengaryakan anak-anaknya hanya demi untuk mencukupi kebutuhan keluarga. 

Bahkan, ada nasib anak malang yang menjadi pelacur, tapi setiap bulan pula orangtuanya minta jatah atau harus setor atas pendapatannya kepada mereka, selain ke induk semang.

Mungkin, jalan itu bukan pilihan anak tapi lebih pada soal nasib yang tak mujur menerpanya. Kemurungan ini disokong oleh rendahnya pendidikan orangtua dan anak, lingkungan yang afirmatif atas praktik-praktik kelam, gaya hidup mewah dan budaya kerja minim.

Di tengah keterpurukan nasib anak-anak yang diekploitasi ini, acap mereka mengambil peran menjadi ayah atau ibu bagi adik-adiknya. Peran-peran terbalik inilah yang acap menyelimuti anak-anak yang acap distigma bengal, durhaka kala tak menuruti keinginan orangtua yang kadang di simpang jalan. Tapi di negeri ini kita tak pernah mengenal orangtua durhaka.

Kemuraman, lagi-lagi menimpa anak-anak yang kita harapkan menjadi pemimpin masa depan ini. Tidak di rumah, di sekolah, di lingkungan kerap menjadi korban maupun aktor kekerasan pada anak-anak. 

Kekerasan verbal, kekerasan seksual yang menjadi korban kebanyakan para perempuan dan anak. Ada anggapan, mereka itu lemah, gampang terpedaya.

Kekerasan Daring

Era sekarang, anak-anak yang sedang belajar daring, namun orangtua miskin dan tak mampu membeli komputer/laptop, gadget atau Handpone, Tak mampu membeli kuota internet, anak-anak inilah sebenarnya juga sedang mengalami kekerasan pendidikan di masa pandemi ini.

Demikian juga, keterpurukan nyaris kerap menimpa anak-anak yang harus melangsungkan perkawinan dini, yakni pada usia anak-anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun