Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengubah Disability Menjadi Ability

2 Oktober 2020   17:18 Diperbarui: 2 Oktober 2020   17:21 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah seremoni Hari Batik Nasional, membawa ingatan personal saya pada satuan pendidikan yang khusus menggulowentah anak-anak disabilitas, yakni SLB Negeri Semarang. Anak-anak sekolah ini telah berhasil memproduksi desain atau motif batik-batik dengan nama khas Kota Semarang, seperti batik lawangsewu, kota lama, pecinan dan Sigar Bencah.

Alasan pemakaian tajuk motif batik berbasis lokal ini agar  masyarakat Semarang sendiri bisa lebih mencintai batik buatan daerahnya, dan orang luar yang membelinya juga tahu nama wilayah di ibukota Jawa Tengah tersebut.

Pasar batik anak-anak disabilitas ini tak Cuma domestik, tapi beberapa wisatawan asing pernah mampir belanja batik mereka dan dibawa pulang sebagai cinderamata ke Brunai bahkan hingga benua Eropa.

Kepala lembaga pendidikan tersebut, Ciptono beberapa tahun silam pernah mengatakan, anak disabilitas adalah pawang inspirasi. "Nurani mereka mengatakan "Diamku sedang berpikir, bicaraku sedang berzikir, segala polah tingkahku memberikan pembelajaran hidup dan kehidupan bagi orang-orang yang punya hati."

Bagaimanapun, para penyandang disabilitas ini mempunyai hak yang sama untuk menikmati fasilitas yang ada di negeri ini. Khusus di bidang pendidikan, memang harus diakui pendidikan anak disabilitas masih sangat minim. Jumlah yang mampu meng-akses pendidikan masih rendah. 

Meski hasil survei Sosial Eknomi Nasional (Susenas 2012) menunjukkan bahwa persentase anak penyan-dang disabilitas yang berstatus masih sekolah, yaitu 48,73% atau lebih tinggi dari Susenas 2009 yaitu 43,87%, tetapi yang pasti anak penyandang disabilitas yang tidak/belum sekolah atau tidak sekolah lagi masih lebih dari separo dari seluruh jumlah anak penyandang disabilitas. Ini tantangan buat kita semua.

Pemerintah tentu akan terus mendorong sekolah kearah inklusi. Di tengah sekolah inklusi yang masih kurang jumlahnya, maka sekolah umum bisa kita gerakkan juga agar bisa membuka akses seluas-luasnya bagi anak penyandang disabilitas. Barangkali disana bisa ditambah guru khusus disabilitas atau diambilkan dari volunteer. Tentu kurikulumnya bisa disesuaikan dengan kemampuan anak. Yang penting, bagaimana anak-anak kita ini dapat memperoleh pendidikan yang baik.

Pada konteks ini kita mengapresiasi para aktivis yang telah mengabdikan diri untuk lembaga pendidikan yang mau menerima siswa disabilitas. Mereka mengelola isntitusinya secara swadaya dengan dibantu oleh kalangan aktivis pendamping anak. Ini kepedulian luar biasa. Semangat seperti inilah yang terus kita tiupkan kepada kelompok masyarakat lainnya.

Pemerintah kita pastikan siap selalu membantu lembaga-lembaga pendidikan seperti ini melalui program-programnya. Kita dorong pemerintah akan terus berupaya memberikan ruang bagi kelompok penyandang disabilitas, baik anak-anak maupun dewasa. Kita gerakkan pihak-pihak yang care disabilitas siap memberikan pelatihan kalau mereka butuh untuk dilatih agar punya skill. Kalau butuh akses modal, maka kita fasilitasi dan bantu.

Mimpi kita ke depan seluruh jenjang pendidikan dapat memberikan kuota penerimaan siswa bagi anak disabilitas. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah memulai. SMK Jateng, telah membuka akses bagi anak-anak kita ini bersekolah di sana.  Di masa mendatang, akan terus ditingkatkan jumlahnya. Langkah awal ini sekurangnya nanti bisa segera diikuti oleh sekolah-sekolah yang lain.

Jangan Pasrah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun