Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada dan Senjakala Demokrasi

28 Agustus 2020   15:54 Diperbarui: 28 Agustus 2020   15:49 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung serentak menjadikan daerah sebagai 'panggung konstestasi' meraih simpati rakyat untuk duduk di kursi kepemimpinan. Dibandingkan sistem sebelumnya, khususnya saat pemilihan kepala daerah masih di bawah kuasa pemerintah pusat. Pada saat itu daerah hanya diposisikan sebagai penonton dan  praktis daerah harus menerima hasil akhir apapun itu dari pusat. Selanjutnya dengan Pilkada langsung, pertarungan benar-benar terjadi di daerah dimana Pilkada itu berlangsung.

Pilkada serentak 9 Desember 2020, diharapkan menumbuhkan demokratisasi rasional, yaitu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat memilih pemimpinnya. Disinilah para Calon Kepala Daerah disediakan panggung untuk menyampaikan Visi, Misi dan program kerjanya. Kontestasi yang berarti adu program bukan sekedar jual kata. Rakyat sebagai pemilih diharapkan betul-betul rasional mencermati program dari para kandidat Kepala Daerahnya.

Harapan selanjutnya, Pilkada serentak ini mampu melahirkan pemimpin peduli rakyat. Pemimpin yang tahu persis apa yang dirasakan dan dibutuhkan rakyatnya, serta dapat hadir memberikan jawaban ketika rakyat bertanya, serta memberikan solusi ketika rakyat menghadapi persoalan.

Menjadi masalah jika sejak proses Pilkada serentak persaingan antar kandidat sudah tidak sehat dan tidak siap kalah. Prinsipnya "menghalalkan cara apapun untuk menang".

Ada yang bermain-main politik uang sebagai praktik jual beli suara. Bagi-bagi duit ke rakyat pemilih pada saat kampanye maupun serangan fajar, dll. Ada juga muncul kasus korupsi dalam proses Pilkada. Contoh, ketika calon Kepala Daerah kalah, maka mencari celah untuk mengajukan permohonan sengketa. Selan-jutnya melakukan penyuapan agar dimenangkan pada proses sengketa atau paling tidak dilakukan Pilkada ulang.

Kemudian muncul juga yang mencoba main mata dengan penyelenggara pemilu, di berbagai tataran. Berapa puluh miliar yang harus dikeluarkan untuk menjadi Bupati/Walikota atau Gubernur dari proses "haram" seperti ini . Hal-hal seperti inilah yang mengakibatkan politik berbiaya sangat tinggi, namun kinerjanya untuk kesejahteraan masyarakat belum dapat kita ketahui.

Terbit pula yang mengerahkan massa, atau menggunakan sumber daya yang seharusnya tidak digunakan (pengerahan PNS, khususnya untuk incumbent), maupun premanisme. Kondisi ini tidak jarang berujung pada terjadinya konflik-konflik horizontal.

 Selain itu Visi Pemerintah Daerah hasil Pilkada ada kalanya tidak sejalan dengan Visi Pemerintah Pusat. Kalau visinya sudah tidak sama, maka sulit kita untuk mengharapkan ada sinergitas Pusat dan Daerah dalam pembangunan. Ini tantangan dalam Pilkada serentak sekarang.

Di luar masalah tersebut, tentunya masih banyak masalah yang menyelimuti pelaksanaan Pilkada serentak ini. Namun, seberapa banyak masalahnya, kita harus berhenti berpikir bahwa solusi atas setiap masalah adalah pergantian sistem. Apa jaminannya dengan pergantian sistem menjadi solusi atas suatu masalah.

 Satu sistem yang sudah diyakini dan setelah melalui proses pemikiran dan perjuangan yang begitu panjang haruslah dijalani dengan baik. Masalah-masalah yang muncul kemudian harus dipandang sebagai ujian demi mematangkan sistem agar tujuan hakikinya yakni mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat tetap dapat tercapai.

 Sudah tiga kali bangsa ini menghelat pilkada serentak, tahun ini merupakan pelaksanaan yang kempat kali, dan ini sebagai upaya efisiensi biaya dan waktu atas penyelenggaraan Pilkada tersebut. Patut diwaspadai money politics yang kemungkinan masih ada. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan karena untuk hilang sama sekali rasanya tidak mungkin. Di Negara maju yang katanya sangat demokratis pun, praktik ini belum bisa dihilangkan.

 Ada satu pola yang dapat mencegah praktik politik uang, yaitu seorang calon kepala daerah harus melakukan pola kampanye cerdas melalui debat tematik dengan masyarakat. Namun relevan dengan situasi pandemic kini, ada baiknya kampanye dilakukan secara virtual. Sebagai bagian mengurangi kerumunan dan menjaga physical distancing dengan tetap menerapkan protocol kesehatan : bermasker, cuci tangan dan jaga jarak. Ini yang harus didorong. Dengan melakukan kampanye seperti itu maka dapat mengurangi biaya politik yang mahal dan mencegah 'money politics'.

Pamong

Proses-proses pengawasan juga harus menggerakan semua elemen masyarakat agar proses Pilkada berjalan dengan jujur. Termasuk penegakan aturan atas pelanggaran yang terjadi harus tegas dilakukan.

Kedewasaan berpolitik juga harus tertanam kuat dalam diri calon Kepala Daerah. Apalagi tingkat kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi, khususnya pemilihan kepala daerah sudah cukup tinggi. Untuk itu, yang menang dalam Pilkada tidak perlu menistakan yang kalah, dan bagi yang kalah, ya legawa dan mengucapkan selamat kepada yang menang. Indah sekali cara-cara berpolitik seperti ini.

Setiap calon kepala daerah (Calon Bupati/ Walikota) harus menyampaikan Visi dan Misi dengan memperhatikan Visi dan Misi provinsi maupun pemerintah Pusat. Dengan demikian terdapat keselarasan dan  kesesuaian program pembangunan antara Pusat dan daerah.

Khusus dalam rangka pencegahan korupsi Bupati/Walikota hasil dari Pilkada serentak tahun ini, penting kiranya menyekolahkan Bupati/Walikota ke KPK dari hasil Pilkada serentak tahun --tahun sebelumnya. Sekolah partai pun tak kalah penting digelar menjadi bagian edukasi politik bagi para kader parpol. Pelatihan untuk kepala daerah tersebut menjadi budaya produktif yang layak dilakukan secara kontinyu.

Bagi para ASN, barangkali ke depan apakah bekemungkinan bisa dikavling dengan TNI dan Polri ketika mereka kita close hak pilihnya. Tujuannya, agar para birokrat bisa profesional seperti yang selama ini kita harapkan, bisa melayani masyarakat tanpa melihat sampeyan milih sapa, partai apa.

Kepala Daerah pun tidak akan "utang budi" pada birokrat, karena haknya telah dicabut. Tapi kalaupun bisa seperti itu, prosesnya juga perlu waktu yang panjang dan perlu pertimbangan yang matang. Birokrasi kita kembalikan pada fungsinya, yaitu sebagai "pamong" yang melayani masyarakat dari seluruh lapisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun