Adakah yang lebih tabah dari bulan Agustus. Penat dan letihnya berjuang melawan pandemi covid-19, tidaklah membuat menyerah bagi sang genial ini. Anak muda ini paska menempuh SMK, ia banting keringatnya di panas dan pengapnya pabrik di wilayah Cikarang. Â Belitan hidup keluarga, tidaklah membuat anak muda ini lembek. Kesahajaan rumah di desanya, seolah turut menyangga doa agar tangan-tangan muda itu lebih cepat melesat mengarungi mendunia.
Adalah desainer sepatu Indonesia, Rudi Wasto (31) yang telah berhasil mempersembahkan desain sepatu bola yang dipakai Pogba, Zidane, hingga Beckham. Sungguh membahagiakan dan membanggakan negeri ini. Di tengah tak sedikit anak muda yang merengek minta pekerjaan, justru Rudi berkontribusi membesarkan republik ini dengan cara yang berbeda.
Ketekunan dan keuletan juga imajinasinya membukukan torehan prestasi di jagat raya tatkala sembari bekerja, Ia tercatat sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat. Bakat dan minatnya menurun dari darah seni rupa sang ayah Sayono dan Ibu Kusmiyati.
Puluhan tahun silam, Soekarno pernah melambungkan kalimat sakti, "beri aku 1.000 orangtua, maka akan kucabut Semeru dari akarnya, dan beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia."Â
Hari ini, Rudi Wasto yang sederhana dalam kegagahannya mampu menerjemahkan diksi yang tak pernah purba itu, kalau dirinya menjadi bagian kaum muda yang bertekad keras mengguncang dunia. Menggoyang dunia. Sepak bola merupakan bidang yang strategis untuk bisa merajut rasa kebersamaan bangsa, menumbuhkan rasa nasionalisme dan memupuk jiwa patriotisme.
Salah satu cara yang bakal mengubah jalan hidupnya ialah lewat unjuk prestasi dan karyanya. Hanya di tangan pemuda, sebuah perubahan bisa terjadi. Sebab, daya imajinasi, kreasi, dan inovasi senantiasa melekat pada spirit kelompok muda. Dan, itu dibuktikan Rudi Wasto lewat jemari lembut sarat prestasi desainnya.
Prestasi bagi Rudi sudah menjadi kebutuhan, sebagaimana McClelland dengan need for achievement (N.Ach). Ada beberapa orang yang memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Mereka lebih mengejar prestasi pribadi daripada imbalan atas kesuksesannya.
Mereka bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Beberapa karakteristik explorer prestasi, seperti berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif, mencari feedback tentang apa yang dikerjakannya.
 Ia juga memilih resiko yang sedang di dalam lakonnya sekaligus mengambil tanggung jawab pribadi atas sepakterjangnya. Demikianlah Rudi, dia begitu memaknai apa yang menjadi petisi Clelland.
Rudi bukan saja telah mematahkan tudingan kepada pemuda yang hanya acap dilabeli part of problem menjadi part of solution. Pemuda sederhana berimajinasi cemerlang itu berhasil menjungkirbalikkan dunia yang sebelumnya memandang sebelah mata.
Di tengah lesunya prestasi sepakbola Indonesia yang acap sudah sampai pada titik terendah, begitu juga di tengah minusnya minat anak muda yang menggumuli desain sepatu bola, apalagi di tengah kerasnya kita berjuang menghalau pandemi, masih ada sosok milenial yang membuat negeri ini lebih bernyawa sekaligus berwarna di mata dunia.
 Tak sedikit faktor yang mempengaruhi minimnya desainer sepatu bola. Selain absen bahkan nihilnya sekolah khusus desain sepatu bola juga dikarenakan kurangnya penghargaan atas mesubudi-nya sebagai perancang.
Kesejahteraan menjadi desain sepatu barangkali masih jauh panggang dari api. Memang nasib desain  berbeda, mereka berkilau kala mendapati kehidupan para desainer baju, desainer mobil, desainer gedung, dan desainer lainnya. Tak sedikit yang bersaumsi perintisan ragam desain atau yang bercita-cita menjadi desainer itu membawanya menjadi pengkhayal semata, karena tak ada jaminan desainnya laku di pasar publik baik domestik maupun global.
Kurangnya kaderisasi atau edukasi kewirausahaan tentang desain sepatu bola, juga menjadi salah satu faktor menurunnya animo pemuda berkarier sebagai desainer sepatu bola. SMK-SMK maupun kampus pun rupanya sedikit kalau tak bisa dibilang tiada jurusan atau program studi desain sepatu bola. Bahkan BLK pun miskin pelatihan desain sepatu bola. Ini turut menyokong sepinya desainer sepatu bola di tanah air.
Oase yang ditaburkan dari bumi Klaten dan Cikarang, seakan menjadi lompatan besar sejarah desain sepatu bola di dunia, jejak monumental anak muda yang disapih glamor kota dan membuka mata bisnis sepatu sepak bola.
Sebagai bangsa yang besar yang menghargai jasa kreatifitas, selama ini hanya melihat desain sepatu bola itu seolah hanya tangan-tangan dingin yang tak produktif, sementara desain maupun kreasi lain masih dipandang remeh temeh oleh sebagian rakyat kita, bahkan termasuk guru kita, dosen kita, orangtua kita. Padahal, semua itu butuh keseriusan, konsistensi dan pengembangan yang lebih profesional dan kontinyu.
High Attittude
 Profesionalitas hanya bisa dipacu dengan pasokan pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai lalulintas peningkatan kapasitas SDM. Karena saat desainer di atas angin, naik daun memegang prestasi puncak, ia pun harus tetap punya attitude ke-Indonesia-an yang baik, punya senses of crisis dan ngemong juga kepada sesame atau yuniornya. Atas kerja keras dan daya juangnya, sudah selayaknya Rudi Wastu kini banyak mendapatkan puja-puji maupun apresiasi yang bertubi-tubi dari pejabat sampai level rakyat. Sopo nandur bakal ngundhuh.
 Tentu harapan kita, tak lantas membuatnya lengah dan jangka pendek adalah tetap belajar dan berlatih, merawat prestasi yang dipahat sepatu bola para bintang dunia tetap digenggamannya saat Ia berkerja hingga paripurna.
Kita bangga dengan pemuda hebat seperti Rudi, sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 - 30 tahun. (Pasal 1 Angka 1 UU No. 40/2009 Tentang Kepemudaan). Jumlah Pemuda kita mencapai lebih dari 60 juta dari jumlah penduduk Indonesia sebagai kapital bangsa. Nggak apa-apalah kalau Rudi kini sudah berusia 31 tahun.
Rudi Wasto dengan tangan-tangan Tuhan adalah representasi anak milenial, kebangkitan desa, dari desa untuk dunia. Kita tunggu Rudi lain yang lebih berkilau, sebagaimana pernyataan Bung Hatta tentang desa, "Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H