Tak sedikit faktor yang mempengaruhi minimnya desainer sepatu bola. Selain absen bahkan nihilnya sekolah khusus desain sepatu bola juga dikarenakan kurangnya penghargaan atas mesubudi-nya sebagai perancang.
Kesejahteraan menjadi desain sepatu barangkali masih jauh panggang dari api. Memang nasib desain  berbeda, mereka berkilau kala mendapati kehidupan para desainer baju, desainer mobil, desainer gedung, dan desainer lainnya. Tak sedikit yang bersaumsi perintisan ragam desain atau yang bercita-cita menjadi desainer itu membawanya menjadi pengkhayal semata, karena tak ada jaminan desainnya laku di pasar publik baik domestik maupun global.
Kurangnya kaderisasi atau edukasi kewirausahaan tentang desain sepatu bola, juga menjadi salah satu faktor menurunnya animo pemuda berkarier sebagai desainer sepatu bola. SMK-SMK maupun kampus pun rupanya sedikit kalau tak bisa dibilang tiada jurusan atau program studi desain sepatu bola. Bahkan BLK pun miskin pelatihan desain sepatu bola. Ini turut menyokong sepinya desainer sepatu bola di tanah air.
Oase yang ditaburkan dari bumi Klaten dan Cikarang, seakan menjadi lompatan besar sejarah desain sepatu bola di dunia, jejak monumental anak muda yang disapih glamor kota dan membuka mata bisnis sepatu sepak bola.
Sebagai bangsa yang besar yang menghargai jasa kreatifitas, selama ini hanya melihat desain sepatu bola itu seolah hanya tangan-tangan dingin yang tak produktif, sementara desain maupun kreasi lain masih dipandang remeh temeh oleh sebagian rakyat kita, bahkan termasuk guru kita, dosen kita, orangtua kita. Padahal, semua itu butuh keseriusan, konsistensi dan pengembangan yang lebih profesional dan kontinyu.
High Attittude
 Profesionalitas hanya bisa dipacu dengan pasokan pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai lalulintas peningkatan kapasitas SDM. Karena saat desainer di atas angin, naik daun memegang prestasi puncak, ia pun harus tetap punya attitude ke-Indonesia-an yang baik, punya senses of crisis dan ngemong juga kepada sesame atau yuniornya. Atas kerja keras dan daya juangnya, sudah selayaknya Rudi Wastu kini banyak mendapatkan puja-puji maupun apresiasi yang bertubi-tubi dari pejabat sampai level rakyat. Sopo nandur bakal ngundhuh.
 Tentu harapan kita, tak lantas membuatnya lengah dan jangka pendek adalah tetap belajar dan berlatih, merawat prestasi yang dipahat sepatu bola para bintang dunia tetap digenggamannya saat Ia berkerja hingga paripurna.
Kita bangga dengan pemuda hebat seperti Rudi, sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 - 30 tahun. (Pasal 1 Angka 1 UU No. 40/2009 Tentang Kepemudaan). Jumlah Pemuda kita mencapai lebih dari 60 juta dari jumlah penduduk Indonesia sebagai kapital bangsa. Nggak apa-apalah kalau Rudi kini sudah berusia 31 tahun.
Rudi Wasto dengan tangan-tangan Tuhan adalah representasi anak milenial, kebangkitan desa, dari desa untuk dunia. Kita tunggu Rudi lain yang lebih berkilau, sebagaimana pernyataan Bung Hatta tentang desa, "Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H