Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soal Resesi, Belajarlah dari Desa

18 Agustus 2020   20:06 Diperbarui: 18 Agustus 2020   19:57 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pandemi covid-19 secara nyata membuat semua lini terasa lelah. Ya sector kesehatan, ekonomi, lingkungan, sosial budaya, dll. Khusus segi ekonomi meski berat, tapi kita penting menumbuhkan semangat dan optimism baru sehingga tak luruh di tengah berbagai belitan. 

Kita belajar dari orang-orang desa, karena masyarakat desa barangkali kerap mengalami sulitnya hidup. Nampaknya tak neko-neko juga mencermati pola atau strategi untuk bisa bertahan  di tempa ringkihnya ekonomi keluarga.

Masyarakat desa, barangkali lebih banyak sedulur kita yang berprofesi sebagai petani kecil maupun buruh tani. Bisa kita bayangkan bagaimana pendapatan mereka, bagaimana menyikapi gagal panen atau puso, atau kala pertaniannya di serang hama penyakit, belum lagi ditindih dengan permainan tengkulak yang membeli produk pertaniannya dengan harga terlampau rendah.

Atau kita bisa berempati dengan para perajin UMKM dengan usaha kecilnya, usaha rumah tangganya dengan tenaga kerja anggota keluarga maupun kerabatnya. Tapi petani dan UMKM desa itu sepertinya tak pernah sambat, menggerutu atas penatnya ekonomi mereka. Sambat tidak menyelesaikan masalah, menggerutu juga tidak merampungkan problemanya.

Artinya apa, suka duka mereka lakoni dengan percaya diri, tetap berusaha dan selalu bersemangat, bahwa kehidupan akan lebih baik kala tak pernah mengabaikan Sang Penciptanya. Ini bagian modal mereka tetap survive. 

Selain itu, kita pun bisa belajar dari mereka dengan melakukan hal-hal yang mungkin dimata orang lain hanya menjadi debu, kecil dan tidak berharga. Tapi lewat keuletan, kerja keras dan membangun jejaring ya meski kecil-kecilan juga, nyatanya mereka selalu mampu melampaui beragam ujian ekonomi, khususnya.

Tengoklah tangan-tangan masyarakat desa, di tengah terjalnya pandemi, mereka tetap bertanam selain di lahan pertanian. Mereka juga cakap membaca peluang usaha. Sebut saja sekarang, di pedesaan tak sedikit kita menjumpai lahan-lahan sempit di tanah pekarangan maupun model hidroponik dengan tetanaman yang bernilai ekonomi. Misalnya sayuran, buah, beragam jenis bunga bahkan yang mencoba beternak ikan melalui media ember, pot, dll. Mereka bertanggungjawab atas keberlangsungan keluarganya, mulai kesehatan, pendidikan, ekonominya juga relasi sosialnya.

Bahkan kala orang-orang kesulitan mendapatkan makanan atau saat harga kebutuhan bahan pokok menaik apalagi tak sedikit yang tertimpa PHK, warga desa jauh lebih relaks menghadapi dan mengatasinya ketimbang orang kota. Masyarakat desa masih dan mau memanfaatkan makanan lokal selain beras untuk meredam kebutuhan tubuhnya. Mereka acap memanfaatkan umbi-umbian yang ada.

Kita paham, ke depan persoalan pangan tidak dapat diremehkan. Cepat atau lambat kita akan dihadapkan pada masalah pemenuhan pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, karena laju pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin cepat. Jika kita mau dan rela, kita bisa belajar dari desa-desa kita yang tersebar di rumah besar Indonesia. Tak ada rotan akar pun jadi, tak ada atau beras mahal, umbi-umbian pun sanggup menyelamatkan kita dari resesi di tengah pandemi.

Misalnya saja, palawija, umbi-umbian singkong, ubi jalar, garut, ganyong, uwi, gembili, talas, sukun, waluh dan bengkoang yang keberadaannya cukup melimpah dan mempunyai potensi dikembangkan sebagai pangan pokok maupun sebagai pangan fungsional. Di samping itu, menurut penelitian, umbi-umbian terbukti berpotensi sebagai sumber prebiotik untuk meningkatkan saluran cerna dan sistem imun. Tetapi masih banyak juga masyarakat yang beranggapan bahwa umbi-umbian sebagai makanan kelas dua. Ini keliru dan perlu diluruskan.

Kita harus rubah mindset ini, konsumsi umbi-umbian dan pangan lokal lain harus digalakkan. Harapannya, umbi-umbian dan pangan lokal tersebut dapat menjadi pangan pilihan yang bernilai tinggi dengan berbagai aplikasi, bukan sekedar sebagai alternatif pengganti. Misalnya sebagai bahan utama maupun bahan pendukung untuk produk-produk bakery, snack, biskuit, mie, bakso, bubur, sosis, nugget, serta sebagai bahan penyalut, pengental, maupun pengisi.

Industri makanan, pasar mie, dan biskuit di Indonesia cukup besar. Dari segmen biskuit, jenis cookies, wafer, dan crackers menyumbang kontribusi terbesar sebanyak 85%. Karenanya, potensi pengembangan cookies yang mengandung prebiotik dari umbi-umbian lokal cukup besar.

Selain, mendayagunakan lahan sempit dan pangan lokal, nampaknya masyarakat desa pintar dalam melihat kekurangan dirinya. Salah satunya, banyaknya produk atau potensi desa yang belum dioptimalkan, maka sewaktu mereka ada yang berjuang menenelorkan rintisan teknologi tepat guna, penting kita apresiasi.

Kita kekurangan teknologi, yaitu teknologi tepat guna yang familiar dengan warga dan biaya. Ia pun ramah dengan lingkungan dan produk yang diolah lewat teknologi tepat guna akan menaikkan nilai ekonomi produk tersebut. Jadi bukan dijual dalam versi bahan mentah, tapi diolah dulu harapannya produknya naik kelas.

Kita ambil contoh, buah melinjo bisa diolah menjadi emping dan dimodifikasi dengan teknologi tepat guna dengan varian rasa keju, rasa barbeque, dll. Atau buah mangrove bisa diolah lewat teknologi tepat guna menjadi manisan, kue, dll. Mendukung hal tersebut maka packaging juga harus menjadi perhatian. Upayakan ada semacam catatan keunggulan produk dan alamat plus nomor kontak. Dengan demikian saat masyarakat atau siapapun butuh, bisa segera mengontaknya.

Back to Nature
Pada belahan lain, saat pandemi, kala belanja di toko, mal, dan tempat perbelanjaan lain bahkan di pasar tradisional ketika ada seruan mengurangi limbah plastik, maka warga desa jauh sebelum ada anjuran itu, mereka terbiasa belanja dengan bahan lokal dari potensi desa, seperti tas jinjing dari bambu sebagaimana menjadi sesuatu yang alamiah bersal dari alam yang dilimpahkan Tuhan sebagai pengganti plastik. Atau biasa minum dengan gelas atau kendi saat sampah plastik menjadi salah satu soalan di jaman kini.

Atau saat era new normal ini, ketika destiansi wisata dibuka kembali, warga desa memanfaatkan peluang home stay atau penginapan sederhana di rumah tinggalnya, bahkan dengan tariff sangat murah. Namun demikian, mereka tetap menerapkan aturan baru di peradaban baru dengan disiplin protolokol kesehatan.

Kesulitan negeri ini tentu dirasakan masyarakat, tapi warga desa rupanya juga siap dengan merawat modal sosialnya yang diyakini mampu membalik kemurungannya. Jimpitan beras maupun bahan pangan lain menjadi bagian solusi resesi di aras pandemi ini, karena melaluinya warga yang sedang berkesusahan bisa menjadi ringan dan tetap punya kepercayaan diri menjemput masa depannya.

Hal ini sekurangnya terimplementasi dalam aktivitas jogo tonggo covid-19. Pagar mangkok jauh lebih hebat ketimbang pagar tembok. Juga ada saja pilantropi warga desa yang sharing kuota internet bagi anak-anak desa yang belajar daring. Karena dengan belajar dana tau pendidikan, warga desa percaya merekalah generasi yang akan mengubah nasib dan kisah hidup desa.

Saat yang lain berasa letih dengan harga sarana produksi pertanian, misalnya pupuk. Maka warga desa yang sadar betul tak mau terjebak pada resesi ekonomi, maka kemudian mereka melakukan praktik dan menggerakkan warga atau pemuda desa menekuni pertanian sayuran organik. Kita bisa melihat langsung dan sukses story kelompok tani ini yang mampu meraup laba tak sedikit di tengah pandemi. Sofyan di Kopeng Jawa tengah menjadi role model atas spirit dan optimism kaum muda desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun